news-card-video
9 Ramadhan 1446 HMinggu, 09 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Urgensi Reformasi Politik Tata Ruang dalam Banjir Jakarta, Bogor dan Bekasi

Galang Geraldy
Dosen Ilmu Politik UWKS
7 Maret 2025 13:29 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Galang Geraldy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Banjir di Bekasi (Sumber: Kumparan, 2025)
zoom-in-whitePerbesar
Foto Banjir di Bekasi (Sumber: Kumparan, 2025)
ADVERTISEMENT
Banjir kembali melanda kota-kota seperti Jakarta, Bogor, dan Bekasi beberapa hari terakhir. Secara umum, peningkatan intensitas dan frekuensi curah hujan tinggi selalu ditempatkan sebagai faktor utama terjadinya banjir yang telah menggenangi lebih dari 1.000 rumah dan kendaraan, serta memblokir beberapa jalan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat bahwa fenomena cuaca ekstrem ini dapat dipicu oleh perubahan iklim dan fenomena atmosfer seperti Osilasi Madden-Julian (OMJ) yang menyebabkan intensitas sangat deras mengguyur wilayah Bogor sejak 2 Maret 2025, dengan curah hujan mencapai lebih dari 110 mm per hari. Intensitas hujan yang tinggi di wilayah hulu, seperti Kota Bogor dan Kabupaten Bogor, menyebabkan aliran air meningkat ke wilayah hilir, termasuk Jakarta dan Bekasi (Kompas.com 05/03/2025).
ADVERTISEMENT
BPBD mencatat sebanyak 3.384 jiwa mengungsi akibat banjir di sekitar 114 Rukun Tetangga (RT) dan 2 ruas jalan di Jakarta (Detik.com, 5/03/2025). Sedangkan di Bekasi, banjir mencapai ketinggian hingga 3,1 meter di beberapa lokasi, merendam rumah dan fasilitas umum seperti Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bekasi yang menyebabkan pemadaman listrik dan evakuasi pasien ke gedung lain. Selain itu, stasiun kereta api di Bekasi lumpuh akibat banjir, mengganggu jadwal perjalanan dan mobilitas warga serta beberapa mal di Bekasi turut terdampak banjir, menyebabkan kerugian ekonomi dan penutupan sementara (Reuters.com, 05/03/2025).
Sebagai perbandingan situasi saat ini, terutama di Bekasi, dilaporkan sebagai yang terburuk sejak 2020, ketika banjir menewaskan 60 orang akibat curah hujan tertinggi dalam sejarah sejak pencatatan dimulai pada tahun 1866 (Reuters.com, 2025). Selain faktor cuaca, penyebab banjir di Jabodetabek juga terkait dengan kondisi infrastruktur, seperti sistem drainase yang tidak memadai, serta faktor lingkungan, termasuk alih fungsi lahan dan penurunan muka tanah.
ADVERTISEMENT
Ketimpangan dalam Kebijakan Tata Ruang
Banjir besar yang melanda Jabodetabek pada Maret 2025 tidak hanya merupakan fenomena alam akibat curah hujan tinggi, tetapi juga merupakan manifestasi dari ketidakseimbangan dalam tata kelola ruang perkotaan. Hal ini berkaitan dengan permasalahan struktural, terutama dalam hal koordinasi antarwilayah, politik tata ruang, dan hilangnya wilayah serapan air. Ego sektoral antar pemerintahan daerah dalam kebijakan pembangunan dan tata ruangnya, sehingga sulit menciptakan kebijakan pengendalian banjir yang terintegrasi. Misalnya, pembangunan di kawasan Bogor tidak selalu mempertimbangkan dampaknya bagi Jakarta. Tidak adanya regulasi yang terpadu, meskipun ada lembaga seperti Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan Komite Pengelolaan Terpadu Jabodetabekpunjur, implementasi kebijakan sering kali terhambat oleh tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Kemudian, kurangnya pengelolaan air lintas wilayah, di mana ketika hujan lebat terjadi di kawasan Puncak dan Bogor, air mengalir deras ke Jakarta tanpa ada sistem pengendalian yang memadai. Jika sistem polder dan kanal di Jakarta tidak cukup baik, maka banjir menjadi tak terhindarkan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di dalam perspektif politik tata ruang, peristiwa banjir selalu memperlihatkan bagaimana kebijakan perencanaan dan pengelolaan ruang di wilayah metropolitan Jakarta masih diwarnai oleh kepentingan ekonomi, politik, dan korporasi yang sering kali mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan. Banyak proyek properti besar dibangun di lahan yang seharusnya menjadi daerah resapan air, seperti di Jakarta Timur, Jakarta Utara, dan Bekasi. Akibatnya, air hujan tidak bisa terserap dengan baik, sehingga menyebabkan genangan dan banjir. Pembangunan tersebut berdampak pada perubahan fungsi lahan seperti konversi ruang terbuka hijau dan lahan sawah menjadi area permukiman atau komersial, telah mengurangi kapasitas resapan air.
Ketimpangan dalam distribusi ruang dan penggunaan lahan melalui Pembangunan kawasan komersial dan permukiman elit yang masif sering kali terjadi tanpa mempertimbangkan kapasitas ekologis wilayah, seperti keberadaan daerah resapan air. Perubahan fungsi lahan dari kawasan hijau dan rawa menjadi area permukiman atau industri menyebabkan berkurangnya daya serap tanah, yang akhirnya meningkatkan risiko banjir. Lebih jauh, proyek-proyek seperti reklamasi di kawasan pesisir Jakarta serta pembangunan di area ruang hijau, sempadan sungai dan daerah aliran sungai (DAS) memperparah situasi. Dinamika politik tata ruang yang lebih mengutamakan investasi dan kepentingan pemilik modal daripada daya dukung lingkungan merupakan contoh nyata dari hegemoni politik dalam produksi ruang, sebagaimana dijelaskan oleh Henri Lefebvre dalam The Production of Space (1974).
ADVERTISEMENT
Banjir yang terjadi memperlihatkan bagaimana politik ruang di Jabodetabek cenderung berpihak kepada kelas menengah atas dan investor besar, sementara kelompok masyarakat miskin kota semakin termarginalisasi. Hal ini terlihat dari ketimpangan dalam mitigasi risiko banjir seperti kawasan elit dan pusat bisnis sering kali mendapatkan prioritas dalam pembangunan infrastruktur drainase, tanggul, dan pompa air. Sebaliknya, kawasan padat penduduk di pinggiran sungai dan daerah rendah—yang dihuni oleh kelompok berpenghasilan rendah—sering kali menjadi korban utama banjir tanpa solusi jangka panjang yang efektif.perumusan kebijakan tata ruang lebih sering mengikuti logika kapitalisasi ruang ala David Harvey (Social Justice and the City, 2009), di mana ruang diproduksi dan dikendalikan oleh kekuatan modal, sementara kelas bawah dipaksa untuk bertahan dalam kondisi yang semakin rentan terhadap bencana. Persoalan klisenya, meskipun telah ada peraturan tata ruang yang mengatur tentang wilayah lindung dan resapan air, kenyataannya banyak proyek yang tetap berjalan karena adanya kepentingan ekonomi dan politik, termasuk perizinan yang dipermudah. Hal ini menjadi perhatian utama Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang menekankan bahwa hilangnya ruang terbuka hijau dan lahan sawah menjadi penyebab utama banjir di wilayah tersebut (Bogorantaranews.com, 04/03/2025).
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, hilangnya daerah resapan air sebagai contoh misalnya Puncak dan Bogor adalah daerah tangkapan air utama yang berfungsi untuk menyerap air hujan sebelum mengalir ke Jakarta dan Bekasi. Pembangunan vila, hotel, dan permukiman di kawasan ini telah menyebabkan deforestasi besar-besaran, sehingga air langsung mengalir ke hilir tanpa terserap. Hilangnya kawasan Puncak sebagai daerah tangkapan air (catchment area) menjadi persoalan serius dalam upaya pencegahan banjir di wilayah hilir. Lalu penggunaan aspal dan beton dalam pembangunan kota membuat air hujan sulit meresap ke tanah. Selain itu, ruang terbuka hijau yang bisa berfungsi sebagai area resapan air juga masih minim. Selain itu, banyak situ dan waduk yang berkurang kapasitasnya akibat sedimentasi dan pembangunan.
ADVERTISEMENT

Reformasi Struktural Penanganan Banjir

Peristiwa banjir pada awal bulan Maret 2025 ini merupakan cerminan dari problem struktural dalam politik tata ruang di Indonesia. Dominasi kepentingan ekonomi atas kebijakan tata ruang, marginalisasi masyarakat rentan, lemahnya koordinasi antar daerah, serta politisasi isu bencana memperlihatkan bagaimana tata kelola ruang di kawasan metropolitan Jakarta masih jauh dari prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial.
Maka mengatasi banjir harus berfokus pada perencanaan jangka panjang, pengelolaan wilayah yang berbasis ekologi, dan penerapan kebijakan yang konsisten. Beberapa hal yang perlu ditinjau adalah revisi kebijakan tata ruang agar pembangunan harus mempertimbangkan aspek mitigasi bencana dan daya dukung lingkungan. Terutama, menetapkan kawasan hulu sebagai zona konservasi permanen dan membatasi pembangunan vila serta permukiman baru, di saat bersamaan pengembangan pertanian berkelanjutan di kawasan hulu untuk mencegah erosi dan sedimentasi sungai yang memperparah banjir di hilir.
ADVERTISEMENT
Lalu di wilayah hilir, pembangunan tanggul dan pintu air otomatis untuk mengendalikan aliran sungai dan mencegah luapan air sebagaimana konsep restorasi dan perlindungan wilayah serapan air dengan revitalisasi waduk, situ, dan rawa yang tersisa dan sistem kanal dan sungai perkotaan untuk meningkatkan kapasitas pembuangan air. Kemudian mewajibkan setiap proyek pembangunan memiliki ruang hijau dan sistem resapan air buatan seperti biopori dan sumur resapan sampai menerapkan moratorium pembangunan di daerah rawan banjir. Konsep blue-green infrastructure ini sejatinya telah diterapkan di kota-kota seperti Singapura dan Rotterdam untuk menanggulangi banjir.
Semua itu tentu tidak lepas dari koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antarwilayah. Penting untuk mengintegrasikan kebijakan tata ruang antarprovinsi dan kabupaten/kota agar tidak terjadi tumpang tindih dalam perencanaan. Model koordinasi seperti Metropolitan Planning Organization (MPO) di AS dapat diterapkan untuk sinkronisasi kebijakan tata ruang di Jabodetabek, misalnya membentuk otoritas pengelolaan banjir lintas wilayah (misalnya, Jabodetabek Flood Management Authority).
ADVERTISEMENT
Solusi struktural dalam politik tata ruang untuk mengatasi banjir harus berorientasi pada pembangunan yang berkelanjutan, perlindungan kawasan tangkapan air, serta koordinasi lintas wilayah yang lebih baik. Tanpa perubahan mendasar dalam tata ruang dan perencanaan kota, banjir akan terus menjadi ancaman tahunan bagi Jabodetabek dan kota-kota lain di Indonesia. Karena tanpa perubahan mendasar dalam politik tata ruang, banjir di Jabodetabek akan terus berulang sebagai konsekuensi dari kebijakan ruang yang tidak berpihak pada keberlanjutan.
Terakhir tentu kita semua berharap para pemimpin kepala daerah yang baru di lantik Februari lalu, sebagai aktor politik merumuskan kebijakan tata ruang yang bersifat sinergis dan berkelanjutan menjadi prioritas utama. Bagaimanapun, persoalan banjir bukan menjadi bagian dari politik ruang yang bersifat oportunistik maupun populis semata, di mana solusi yang ditawarkan lebih hanya bersifat simbolisasi dan berjangka pendek namun perlu sebuah upaya serius dalam reformasi politik tata ruang.
ADVERTISEMENT