Melihat Pendidikan Desa Sejauh Mata Memandang

Galih Refa Sugiarto
Mahasiswa UII Yogyakarta
Konten dari Pengguna
27 Juni 2021 13:38 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Galih Refa Sugiarto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi : Sekolah di pedesaan yang ada di Indonesia, Foto : Pixabay.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi : Sekolah di pedesaan yang ada di Indonesia, Foto : Pixabay.com
ADVERTISEMENT
Filosofi Pendidikan
Begitulah penggalan lirik Lagu Desaku gubahan L Manik. Desa digambarkan menjadi tempat yang permai serta selalu dirindukan. Memang begitu seharusnya desa yang ideal, tempat tinggal yang permai dan selalu dirindukan. Namun, apakah yang terjadi hari ini memang begitu?
ADVERTISEMENT
Kita pasti sudah tidak asing dengan istilah desa atau kampung. Secara umum desa diartikan sebagai tempat atau wilayah yang letaknya secara geografis jauh dari perkotaan, biasanya dihuni oleh penduduk yang masih satu keturunan, serta sebagian besar bermata pencarian pada sektor pertanian. Saking jauhnya letak geografis desa dengan kota, kadang pemerintah daerah (Pemda) abai dengan apa pun hal yang terjadi di desa terutama pendidikan.
Carut marut masalah pendidikan seperti tidak akan ada habisnya dan seakan tidak pernah selesai. Beberapa pekan yang lalu jagad media sosial baik instagram maupun youtube dihebohkan dengan tayangan dua anak perempuan dan satu anak laki-laki menyeberangi sungai dengan bergelantungan pada keranjang bambu layaknya sedang di permainan flying fox.
ADVERTISEMENT
"Ya Allah, takut jatuh melihatnya, serem mau sekolah aja susah amat mau berangkatnya, kasihan" tegas warganet di kolom komentar.
Cuplikan video berdurasi kurang lebih satu menit itu membuat viral dan heboh warganet di kolom komentar. Akibat viralnya video itu membuat Hubungan Masyarakat (Humas) Riau turun tangan. Akun Humas Riau mengomentari pada video yang diunggah oleh akun instagram @infokemanusiaansosial.
Setelah diselidiki lebih lanjut, video tersebut tidak terjadi seperti liarnya asumsi publik. Realitanya, keranjang itu hanya dijadikan mainan oleh mereka. Sebenarnya alat yang mereka gunakan adalah alat pengangkut sawit.
Walaupun kenyataan dalam video yang disiarkan beberapa media sosial tidak terjadi seperti isu beredar. Namun, respons iba dan empati warganet terhadap pendidikan di desa atau pelosok sudah benar adanya dan tidak dibuat-buat. Seperti itulah Pendidikan Indonesia yang menyimpan banyak lubang cacat bagi Masyarakat Indonesia.
ADVERTISEMENT
Umumnya gambaran pendidikan di Indonesia dideskripsikan dengan satu model sistem pendidikan formal yang memisahkan pelajar dengan masyarakat bahkan dengan lingkungan dan alam sekitar. Sebagian besar masyarakat mengartikan pendidikan sebagai kesempatan belajar bagi warga negara di sekolah. Jika diselami lebih dalam tampaknya apa yang dipikirkan masyarakat tentang pendidikan telah seragam.
Dalam buku berjudul Sekolah itu Candu (2020:5) menjelaskan bahwa secara filosofi sekolah berasal dari kata skhole atau schola (latin) yang secara harfiah berarti "waktu luang" atau "waktu senggang". Pangkal asal muasal sekolah ditelusuri ke Zaman Yunani Kuno. Al kisah, zaman dulu Orang Yunani biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang yang pandai untuk mempertanyakan hal ihwal yang mereka rasa perlu dan butuh untuk diketahui.
ADVERTISEMENT
Lambat laun, kebiasaan mengisi waktu luang untuk mengetahui banyak hal akhirnya terus berkembang, tidak hanya dinikmati oleh lelaki dewasa dalam Masyarakat Yunani. Lantas kemudian mereka menyerahkan anak-anak nya untuk mengisi waktu luang kepada seseorang yang dianggap pandai. Anak-anak dibiarkan bermain dan belajar apa saja yang mereka anggap patut untuk dipelajari. Belajar dibuat menyenangkan. Mungkin secara konsep filosofi pendidikan itulah yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara sebagai taman siswa.
Ilustrasi : Siswa Sekolah Dasar, Foto : Pixabay.com
Melihat Pendidikan di Desa
Dalam pelaksanaannya hari ini sistem pendidikan yang dibentuk dibuat serba seragam, tidak hanya pakaian namun isi kepala pun dibuat sama. Menurut Bagir bentukan sistem sekolah sekarang masih banyak menyimpan lubang kesalahan mendasar sehingga perlu diluruskan, baik itu kesalahan secara konseptual maupun praktikal. Mulai dari kerancuan tentang tujuan pendidikan, kesalahapahaman atas hakikat proses belajar, dan kemiskinan metode belajar-mengajar. Lantas bagaimana caranya untuk memulihkan sekolah supaya dapat meluruskan kembali ke falsafah pendidikan kita?
ADVERTISEMENT
Sudah sejak lama pemerhati pendidikan berusaha untuk memulihkan sekolah. Salah satu bentukan sekolah atau pendidikan alternatif yang cukup epik ada di Desa Lawen, Yogyakarta. Sekolah itu dinamakan Salam (Sanggar Anak Alam). Sekolah itu dibentuk tahun 1988 atas keresahan Sri Wahyaningsih melihat gagalnya pendidikan karena urbanisasi yang tinggi di Kota Yogyakarta saat itu tidak diimbangi dengan keterampilan yang memadai.
Banyak penduduk desa yang akhirnya tinggal di kota dengan bekerja serabutan sebagai pemulung, pengemis bahkan tidak sedikit yang nekat melakukan tindakan kriminal seperti sebagai pencuri, perampok, dan bahkan pekerja seks komersial.
Dalam buku berjudul Sekolah Itu Apa menjelaskan bahwa Lawen bukanlah desa biasa. Lawen terletak di sekitar bukit dan akses yang penghubung yang sulit di akses. Hal itu lah yang menghambat aktivitas masyarakat saat itu kondisi jalan yang buruk dan ketiadaan listrik. Tetapi, Lawen bukanlah desa yang gersang melainkan desa yang hijau dan subur. Masyarakat sekitar juga memiliki etos kerja yang baik tapi cukup disayangkan pemahaman orang tua di Lawen saat itu tidak sekata dalam hal pendidikan.
ADVERTISEMENT
Pada waktu itu disalah satu SD yang dikunjungi oleh Wahya kondisi nya cukup memprihatinkan. Grafik jumlah siswa nya selalu turun. Penyebab nya adalah perkawinan dini, selain itu adalah akibat pemahaman orang tua berkaitan dengan pendidikan. Banyak orang tua yang berpikir bahwa sekolah tidak mampu mengubah nasib anak mereka. Alangkah lebih cepat menjadi buruh itu lebih baik daripada duduk di bangku sekolah.
Wahya bertutur bahwa apa yang dikatakan warga tidak sepenuhnya salah. Ia pun tidak menyalahkan mereka, memang benar adanya bahwa sekolah itu hanya mencetak para buruh. Lantas ia mempertanyakan (2019:4), "Apa yang salah dengan sekolah kita ? Mengapa sekolah tidak dapat menjawab persoalan hidup? Bukan kah tujuan sekolah adalah memanusiakan manusia? Itu artinya sekolah seharusnya dapat membuka kesadaran untuk memperbaiki kehidupan."
ADVERTISEMENT
Agaknya Sekolah bikinan Wahya ini melawan arus pendidikan yang ada di pikiran masyarakat secara umum. Salam memiliki cara sendiri dalam mengupayakan ekosistem belajar. Salam tumbuh tanpa ada aturan tetapi tetap disiplin. Salam tidak menerapkan displin kaku melainkan menyadarkan untuk apa kesepakatan itu dibangun dan bagaimana hal itu untuk dilakukan. Adanya kesepakatan tidak selalu berjalan mulus. Sesekali atau berulangkali terjadi pelanggaran. Dalam hal ini, Salam menghindari adanya proses konflik dan mencari siapa yang bersalah dan siapa yang harus dihukum. Pengelolaan konflik di Salam menjadi suatu proses daur belajar, yang mana setiap peristiwa adalah berkah. Maka ketika ada anak yang berkata jujur dan mengakui kesalahannya, menjadi bagian penting dari pembelajaran.
Selain tanpa aturan, Salam memiliki caranya untuk tidak berseragam. Agaknya hal ini suatu yang aneh bagi kebanyakan orang yang melihat pendidikan tanpa pakaian yang seragam. Suatu hal kecil ditilik dari hal pakaian. Peserta didik dibebaskan untuk memakai pakaian untuk belajar. Mungkin ini lah yang mendasarkan Salam pada laku pendidikannya pada konsep pendidikan merdeka yang digagas oleh Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara (2019:43) mengatakan bahwa merdeka berarti tidak hidup diperintah, tidak bergantung kepada orang lain, dan cakap mengatur ketertiban hidup nya sendiri. Salam memaknai bahwa "merdeka" itu tidak bertindak bebas semaunya tapi cakap mengatur ketertiban hidupnya sendiri.
ADVERTISEMENT
Hingga hari ini, Salam kerap menjadi sorotan media. Selain konsep belajar yang unik, Salam konon katanya menjadi ilustrasi sekolah komunitas yang berhasil mewujudkan dan keberlangsungan masih terjaga hingga kini. Tampaknya sekolah sebagai taman bermain bukan lah utopia belaka. Idealnya sekolah harusnya mampu menyenangkan bukan memberatkan atau malahan membebankan siswa untuk belajar. Karena pada dasarnya belajar adalah suatu keharusan bagi semua orang. Maka pikiran kita tentang sekolah perlu direfleksikan ulang.
Perlu diluruskan kembali pikiran kita semua apabila berbicara tentang sekolah dan pendidikan. Salam mampu menjawab bahwa sekolah tidak harus berseragam, terikat aturan, dan di ruangan dengan fasilitas meja dan kursi yang kokoh. Sekolah bisa di mana saja dan kapan saja. Pada dasarnya semua guru atau murobbi itu adalah murid atau muttarobi, dan semua murid atau muttarobi adalah guru atau murrobi. Tidak usah malu belajar pada guru atau murrobbi yang tau walau belum atau tidak memiliki sertifikasi ijazah. Ilmu itu tidak terbatas, yang terbatas adalah keinginan kita untuk belajar.
ADVERTISEMENT