Mimikri Kebudayaan Kolonial sebagai Perlawanan dalam Sejarah Sastra di Indonesia

Galih Adisurya
Mahasiswa. Sastra Indonesia - Universitas Pamulang.
Konten dari Pengguna
29 Mei 2022 14:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Galih Adisurya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Pribadi: Galih Adisurya.
zoom-in-whitePerbesar
Foto Pribadi: Galih Adisurya.
ADVERTISEMENT
Sastra dan fenomena sosial dalam masyarakat Indonesia khususnya, tidak terlepas dari peranan ideologi yang diwariskan oleh kolonial. Rentang waktu yang cukup lama pada masa penjajahan di Indonesia memberikan kesan yang mendalam dan membekas erat dalam benak masyarakat, hingga dampak tersebut melahirkan tiruan atau peminjaman kebudayaan kolonial yang kemudian melahirkan identitas kebudayaan baru.
ADVERTISEMENT
Poskolonialisme sendiri merupakan sebuah kajian yang relatif luas dan baru. Dalam kajiannya, poskolonial berusaha membongkar hasil hubungan antara kolonial dan yang dijajah. Sehingga fenomena sosial yang ada berpotensi terhadap adanya campur tangan atas bentuk kebudayaan yang diwariskan dari kolonialisme.
Dalam hubungannya, karya sastra sebagai rekam jejak dari sejarah yang ada, budaya masyarakat yang ada, sehingga karya sastra dapat dijadikan objek kajian dalam menganalisis kebudayaan yang terdapat di masa lampau atau lebih tepatnya pada era kolonial.
Poskolonialisme Sastra juga menganggap bahwa jejak-jejak kolonialisme memiliki peran yang saling berkaitan dengan sosiokultural masyarakat yang ada. Layaknya sebab dan akibat yang timbul saling melatarbelakangi.
Sebagai contoh, yakni kolonial belanda yang menjadikan karya sastra sebagai media pembentuk hegemoni untuk mendominasi pribumi dan alat propaganda pemerintah kala itu.
ADVERTISEMENT
Untuk mencapai tujuannya, pemerintah belanda mendirikan Balai Pustaka agar dapat melakukan kontrol sosial dan politik terhadap bacaan liar. Kolonial Belanda berusaha menghasilkan bahan bacaan bagi rakyat Indonesia untuk mendominasi.
Selain itu, kolonial Belanda juga melakukan sensor bahan bacaan terutama yang memiliki nuansa kritik sosial atau yang berpotensi dapat membangkitkan semangat perlawanan terhadap kekuasaan kolonial.
Fenomena atas praktik kolonial dalam menciptakan Balai Pustaka kemudian melahirkan Pujangga Baru, hal itu disebabkan adanya semangat dan ideologi para penulis yang berkeinginan untuk bebas merdeka, melawan kurungan atau kekangan atas sensor kolonial Belanda terhadap tulisan-tulisannya.
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa Pujangga Baru meniru atau meminjam beberapa elemen kebudayaan yang dilakukan kolonial Belanda: menjadikan karya sastra sebagai media atau alat propaganda kekuasaan kolonial Belanda.
ADVERTISEMENT
Pujangga Baru juga menjadikan karya sastra sebagai media atau alat propaganda yang berperan sebagai konter hegemoni atas kekuasaan dan dominasi kolonial Belanda.
Pujangga Baru berusaha untuk mengubah nasib sebagai pihak yang terjajah, dengan memperjuangkan kemerdekaannya melalui buah pikiran yang disuratkan dalam tulisannya. Hal ini ditunjukan dengan banyaknya tulisan yang berkisar tentang kebangsaan dan emansipasi wanita.
Hal tersebut berdampak baik terhadap kesadaran masyarakat, melahirkan harapan untuk membuka ruang bagi kita dalam mewujudkan terbentuknya bangsa berwatak nasionalis, dapat hidup bebas, mencintai dan menghargai yang lain sebagai wujud dari nasionalisme kebangsaan.
Maka dari itu Pujangga Baru dapat disimpulkan sebagai mimikri atas perlawanan kebudayaan yang melahirkannya dan perkembangan nasionalisme Indonesia tidak bisa dipisahkan dari imperialisme dan kolonialisme Belanda.
ADVERTISEMENT
Munculnya Pujangga Baru dalam sejarah sastra di Indonesia menandakan bahwa yang terjajah tidak selalu diam, tetapi juga memiliki kehendak untuk melawan dengan melakukan peniruan atau peminjaman berbagai elemen kebudayaan kolonial, sehingga melahirkan identitas kebudayaan baru yang mendorong perkembangan sastra di Indonesia.