Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Media Sosial: Pendorong Kreativitas atau Pembatas Ekspresi Budaya?
14 November 2024 18:57 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Galih Mahardika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Media sosial , dalam beberapa dekade terakhir, telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Sebagai sebuah ruang digital yang memungkinkan interaksi antarindividu tanpa batasan geografis, media sosial bukan hanya sebagai alat komunikasi, namun juga menjadi ruang baru untuk berekspresi, berkreasi, dan berbagi budaya. Namun, apakah kehadiran media sosial benar-benar memberi dorongan pada kreativitas, atau justru mengekang potensi asli dari masyarakat kita?
ADVERTISEMENT
Untuk memahami dampak ini, kita bisa melihatnya melalui teori Marshall McLuhan, the medium is the message — teori ini menyatakan bahwa media bukan hanya sekadar saluran, tetapi secara mendasar mengubah cara kita berinteraksi, berpikir, dan menciptakan. Media sosial di sini tak hanya menjadi jembatan bagi ekspresi budaya, tetapi juga turut membentuk dan bahkan, dalam beberapa kasus, membatasi kreativitas masyarakat.
ADVERTISEMENT
Media sosial sering kali menuntut kecepatan dan popularitas, sehingga muncul dorongan untuk menampilkan karya yang dapat menarik perhatian sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat. Hal ini berpengaruh pada munculnya fenomena “konten instan,” di mana kreativitas menjadi terburu-buru dan kadang dangkal. Banyak karya seni atau budaya yang akhirnya hanya dijadikan latar belakang estetika semata, tanpa pemahaman yang komprehensif. Alunan gamelan atau motif batik sering kali muncul sebagai latar Instagram atau TikTok, tetapi nilai filosofisnya tersisihkan. Kreativitas yang seharusnya mengandung kedalaman malah berubah menjadi sekadar visualisasi untuk menarik likes atau views.
ADVERTISEMENT
Salah satu dampak dari media sosial adalah bagaimana proses penciptaan kreatif menjadi terpecah-pecah. Dahulu, seorang penari akan melalui proses panjang untuk mendalami makna di balik setiap gerakan, dari gerakan dasar hingga yang paling kompleks. Proses ini akan mengolah ketekunan, kesabaran, dan penghargaan terhadap budaya. Namun, di era media sosial, proses tersebut cenderung dipersingkat atau bahkan dihilangkan demi mengejar hasil yang dapat segera diunggah.
Media sosial sering kali mengutamakan konsumsi cepat dan masif. Konten yang diunggah akan segera tenggelam dalam banjir konten lainnya dalam hitungan jam. Tekanan ini mendorong para kreator untuk terus menghasilkan karya dalam frekuensi tinggi agar tetap relevan di mata pengikut mereka. Akibatnya, karya yang dihasilkan bisa saja kehilangan kedalaman dan makna yang autentik, karena diciptakan untuk mengimbangi algoritma media sosial alih-alih menjalani proses kreatif yang utuh.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, media sosial juga menawarkan ruang yang belum pernah ada sebelumnya bagi para seniman untuk memperluas cakrawala mereka. Melalui media sosial, para seniman kini dapat lebih mudah berkolaborasi dengan kreator dari daerah lain, bahkan dari luar negeri. Inovasi baru dapat terjadi ketika elemen-elemen tradisional bertemu dengan unsur-unsur budaya lain, menciptakan karya-karya lintas budaya yang segar dan menarik. Platform-platform seperti YouTube, Instagram, atau TikTok telah memunculkan para kreator konten yang mengangkat tema kelokalan, seperti tari kontemporer dengan nuansa tradisional, video edukasi tentang filosofi batik, atau bahkan komedi yang mengandung elemen sindiran sosial khas yang menggunakan unsur kedaerahan.
Namun, kolaborasi lintas budaya ini juga mengandung risiko. Tanpa pemahaman yang komprehensif, kolaborasi ini bisa menjadi bentuk cultural appropriation, yaitu pengambilan elemen-elemen budaya tanpa penghormatan terhadap nilai aslinya. Alih-alih memperkaya, hal ini dapat melucuti kekayaan budaya tersebut dari maknanya, sehingga kreativitas yang muncul tidak lagi murni dari akar budaya, tetapi sekadar eksploitasi visual untuk menarik perhatian.
ADVERTISEMENT
Pengaruh media sosial terhadap kreativitas masyarakat ini menunjukkan sebuah paradoks. Di satu sisi, media sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengapresiasi dan memperkenalkan budaya mereka kepada dunia. Akan tetapi, ruang ini dibatasi oleh algoritma yang mendorong popularitas cepat dan mudah, yang berisiko mengekang proses kreatif yang sesungguhnya. Di tengah tantangan ini, masyarakat memiliki tugas untuk menyesuaikan diri tanpa kehilangan akar budaya mereka. Kreator di era digital harus mampu menemukan keseimbangan antara mengikuti arus media sosial dengan tetap mempertahankan kedalaman budaya dan nilai-nilai yang ada.
Teori McLuhan mengingatkan kita bahwa media sosial bukan sekadar saluran komunikasi, tetapi memiliki dampak yang masif dalam mengubah cara kita berkreasi. Masyarakat dihadapkan pada pilihan untuk terus melestarikan kreativitas yang mendalam dan bermakna atau terjebak dalam arus popularitas yang dangkal. Jika mereka mampu mengelola media sosial sebagai ruang pengembangan, bukan hanya ruang komersialisasi, maka daya kreativitas masyarakat di era modern akan tetap hidup dengan keaslian dan kekayaan yang utuh.
ADVERTISEMENT