Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Kota Tua, di Mana Sejarah Kolonialisme Jakarta tetap Bernapas
17 Oktober 2021 5:33 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Galih Ramandani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Kita sekarang tinggal di dunia pasca kolonial, perubahan yang baru mulai seabad yang lalu. Untuk enam abad sebelumnya, Asia merupakan benua terjajah oleh kekuatan Barat, sebuah periode yang hanya berakhir saat Timor Timur merdeka dari jajahan Portugis pada tahun 2002.
ADVERTISEMENT
Saya sendiri lahir tahun 2003, betul-betul lahir di zaman yang baru saja menghilangkan kolonialisme Barat. Mungkin karena itu, jadi gampang untuk generasi sekarang tidak terlalu memikirkan sejarah itu. Sejarah biasanya terbatas dalam buku yang lama panjang, tetapi kenyataannya adalah tidak ada aspek dunia modern yang tidak tersentuh oleh warisan kolonialisme. Mulai dari tumbuhan yang kita tanam, sampai jalan-jalan yang kita tempuh. Jejak kolonialisme mempengaruhi dunia kita secara sembunyi-sembunyi.
Tetapi ada beberapa tempat di mana jejak itu telah dilestarikan, sebagai monumen untuk generasi masa depan. Tempat-tempat di mana sejarah masih bernapas seolah hidup. Di Jakarta, tempat ini adalah sisa-sisa Batavia.
Batavia di masa lampau merupakan ibu kota Hindia Belanda, didirikan pada tahun 1619. Selama 320 tahun, Kota Batavia merupakan pusat di mana penjajah Eropa memimpin kependudukan mereka atas nusantara, di mana budak dari berbagai belahan Asia dibawa, di mana bibit kemerdekaan Indonesia pertama tumbuh. Sekarang, yang tersisa hanya sebagian kecil dari ibu kota Hindia Belanda, telah diganti oleh Jakarta yang berdiri sejak hari Kemerdekaan. Dalam area seluas 13 kilometer persegi, sisa-sisa Batavia ini dilestarikan, dan diberi nama Kota Tua.
ADVERTISEMENT
Memasuki Kota Tua tidak jauh beda dari memasuki era lain dalam sejarah Jakarta. Sebagai situs warisan, Kota Tua masih memiliki gedung-gedung Batavia, beberapa berasal dari abad ke-17. Meskipun banyak lagi gedung-gedung tersebut sudah dibusukkan oleh waktu, usaha terkini untuk melestarikan dan mengawetkan sejarah Indonesia telah membawa struktur-struktur kolonial Kota Tua kembali ke masa kejayaannya. Tentu merupakan sensasi yang menarik, dapat melewati jembatan dari dunia modern memasuki dunia kolonial yang betapa dekat dan betapa jauh. Di dalam arsitektur Kota Tua dapat terlihat sejarah negara kita diceritakan melalui penduduknya. Berbagai gedung di Kota Tua membawa gabungan antara gaya arsitektur Belanda, Tiongkok, dan Pribumi.
Di Kota Tua, berbagai gedung tetap digunakan untuk melayani kebutuhan modern. Café Batavia, gedung tertua kedua di Kota Tua, telah digunakan di berbagai titik sejarah sebagai kediaman, sebagai kantor pemerintah Belanda, dan juga sebagai warehouse. Gereja Sion, berdiri sejak tahun 1695, merupakan gereja tertua di Jakarta dan kuburannya merupakan tuan rumah mayat seorang Jenderal Hendric Zwaardecroon, yang saat dia meninggal ingin dikubur di samping orang-orang biasa.
ADVERTISEMENT
Salah satu gedung paling terkenal di Kota Tua merupakan Museum Sejarah Jakarta. Awalnya dibangun sekitar tahun 1710, gedung ini dulu dikenal dengan nama Stadhuis dan berfungsi sebagai balai kota Batavia. Setelah kemerdekaan Indonesia, gedung ini digunakan sebagai kantor gubernur Jakarta Barat, terus menjadi kantor pusat KODIM 0503, sebelum akhirnya dijadikan situs warisan pada tahun 1970. 4 tahun kemudian, Museum Sejarah Jakarta lahir sebagai tempat untuk mempresentasikan sejarah Ibu Kota Indonesia.
Memasuki Museum ini adalah memasuki Indonesia dulu dan sekarang. Sudah beberapa kali saya jalan melalui gedung ini, mengamati arsitektur interior yang dari pandangan saya eksotis sekalipun akrab. Saya berdiri di tempat yang telah berdiri lama sebelum aku lahir, dikelilingi oleh barang-barang yang dulu milik pria dan wanita yang sudah lama meninggal. Seringkali orang menulis tentang hantu atau arwah, cerita-cerita yang menyentuh hubungan rakyat dengan sejarah mengerikan yang terdapat di dunia ini.
ADVERTISEMENT
Saat saya berdiri di dalam Museum Sejarah Jakarta, saya mengerti perasaan yang ingin disampaikan oleh cerita-cerita tersebut. Saya merenungi apa yang pernah ada. Di bawah kakiku adalah lantai sama yang dijalani pegawai negeri, pedagang, dan budak. Di bawah lantai tersebut terdapat ruangan sempit dan berbau di mana tahanan politik disiksa oleh Hindia Belanda. Melihat informasi dan artefak yang dipamerkan mengingatkanku betapa lama sejarah negara ini, betapa rumit.
Kadang saya suka duduk di luar Museum Sejarah Jakarta, di alun-alun balai kota yang sekarang sering dipenuhi oleh turis dan mbak-mbak lagi senam. Sore hari saya coba membayangi bagaimana tempat ini dulu sebelum Indonesia merdeka, dunia yang saya bayangkan merupakan dunia yang tidak dikenal oleh generasi saya, sama asingnya dengan Eropa modern. Udara yang saya hirup di Kota Tua terasa beda, seolah dengan melestarikan gedung-gedung dan jalan-jalan di tempat ini, kita telah menciptakan dunia terbeku di masa lalu. Tentu ini salah, Kota Tua terus berubah demi kebutuhan modern, tetapi saya syukur memiliki monumen ini terhadap sejarah berdarah Indonesia.
ADVERTISEMENT