Konten dari Pengguna

Perang, Air Mata, dan Trauma

Ganda Febri Kurniawan
Ganda Febri Kurniawan lahir 12 Februari 1995. Saat ini sebagai Staf Pengajar dan Peneliti di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang. Menulis untuk media massa dan jurnal ilmiah.
3 April 2022 8:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ganda Febri Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ukrainian Scream in Flag for Justice (Sumber: pixabay.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ukrainian Scream in Flag for Justice (Sumber: pixabay.com)
ADVERTISEMENT
Eropa modern dibangun di atas puing-puing perang dunia di abad 20. Sebuah tragedi manusia yang melahirkan trauma dan dendam.
ADVERTISEMENT
Sudah sebulan lebih invasi Rusia ke Ukraina berlangsung, belum ada kejelasan, sampai kapan politik konfrontasi itu akan berakhir?
Sampai saat ini, media mainstream memberitakan bahwa Kyiv berulang kali mendapat serangan, dan berulang kali juga Rusia gagal menaklukkan kota tersebut. Di lain sisi, Mariupol telah hancur akibat serangan bertubi yang dilancarkan pihak Rusia, kota pelabuhan itu mengalami kerusakan yang parah, dua ribu korban jiwa telah jatuh.
Joe Biden berkali-kali mengutuk tindakan Rusia itu, tanpa sikap yang lebih berani. Mengingat konflik ini bukan sekedar pertikaian biasa, terdapat eskalasi kekuatan nuklir dari masing-masing negara. Amerika sangat berhati-hati dalam hal ini.
Konflik yang sedang berlangsung bukan hanya telah melahirkan kebencian baru dan menghidupkan sengketa lama di Eropa, tetapi negara-negara telah bersiaga untuk kemungkinan perang yang lebih luas.
ADVERTISEMENT
Setiap perang, menanggung konsekuensi nyawa manusia yang hilang. Para penggagas perang tidak pernah berpikir sampai di sana, mereka hanya memikirkan bagaimana dominasi dapat terus dipertahankan.
Melihat realitas ini, ingatan tentang Perang Dunia II (1939-1945) kembali menguat, direka ulang dengan sangat baik melalui sebuah film yang mengisahkan bagaimana perang telah menghancurkan sebagian besar harapan dan impian masyarakat di Kopenhagen, Denmark berjudul The Shadow in My Eye.
Setiap penggagas perang adalah penjahat, yang tidak berhak berbicara tentang kemanusiaan di atas puing-puing kehancuran yang telah diakibatkan.
Film itu bercerita tentang sejarah kelam Kopenhagen, yang terus diceritakan hingga hari ini. Dalam film itu, Blok Sekutu yang begitu tangkas dalam perang telah menggoreskan tinta hitam dalam sejarah Eropa, Angkatan Udara Kerajaan Inggris yang beroperasi untuk menghancurkan markas Gestapo di Kopenhagen ternyata menyerang target yang salah.
ADVERTISEMENT
Sinematografi yang begitu indah ditampilkan, drama manusia yang cukup dalam, beberapa kisah yang dibuat dalam film itu di antaranya; seorang anak remaja belasan tahun bernama Henry, yang mengalami trauma sehingga kehilangan kemampuan bicara nya. Ia menyaksikan sendiri Angkatan Udara Kerajaan Inggris yang telah membuat sopir taksi dan tiga remaja terbunuh akibat salah sasaran, waktu itu penyerangan menarget mobil Kepala Staf Hipo, polisi bentukan Nazi di setiap kota yang telah diduduki.
Itu adalah scene pertama yang ditampilkan dalam film, penyembuhan Henry melibatkan banyak peristiwa, Henry yang masuk sekolah Perancis bertemu dengan sahabat perempuan nya bernama Greta seorang gadis kecil ceria dan Eva seorang gadis pemurung yang memiliki trauma, tetapi tidak separah Henry, Eva pernah menyaksikan pembunuhan seorang mata-mata Sekutu oleh Hipo di sentral kota.
ADVERTISEMENT
Kemenangan Nazi di Kopenhagen membuat Sekutu geram, operasi demi operasi dilangsungkan untuk menghancurkan kekuatan Gestapo di kota tersebut.
Hampir setiap waktu Hipo berkeliling memburu mata-mata Sekutu dan mencari etnis Yahudi yang tersisa di Kopenhagen.
Cerita juga dibuat lebih dramatis oleh seorang Suster Katholik bernama Teresa yang juga bekerja sebagai guru di sekolah Perancis yang sedang mempertanyakan ‘eksistensi Tuhan’, ia terjebak dalam perspektif yang membingungkan, dengan jawaban sementara; ‘waktu Tuhan dan waktu manusia berjarak jauh, Tuhan memiliki sistem waktu dua ratus tahun lebih lama dari manusia’, Tuhan tidak bisa mencegah pembunuhan Nazi terhadap Yahudi karena terpancang waktu yang lama itu. Sebuah sudut pandang yang absurd.
Pada sebuah perjalanan di tengah malam yang dingin dan basah di Kopenhagen, Suster Teresa berjalan sendirian di tengah kota, berpapasan dengan beberapa orang Hipo yang berpatroli, salah satu dari Hipo turun dari mobil, menghampiri Suster malang itu, kemudian Teresa berpaling melihat tatapan Hipo yang mencengkeram; ‘bengis’, mata seorang pembunuh, dan ia berkata bahwa Hipo adalah manusia setengah iblis. Hipo bernama Freedrik itu kemudian terhentak, pergi menaiki mobil dengan pikiran yang kalut.
ADVERTISEMENT
Freedrik dan Teresa bertemu kembali di scene berikutnya, di sebuah malam, Freedrik datang ke Sekolah Perancis dan minta ditunjukan bagaimana cara menghilangkan ‘tatapan mata nya yang seperti iblis’. Mereka berdua berjalan ke Gereja, menatap Maria, berdoa kepada Yesus, sialnya Freedrik dan Teresa sempat terbawa suasana, dalam suasana yang sepi, mereka berciuman cukup lama, sampai suara ledakan menyeruak, mereka terjatuh dan perut patung Yesus mengeluarkan darah. Teresa merasa, Tuhan ada di ruangan malam itu, dalam suasana yang mencekam.
Peristiwa itu menyadarkan Teresa, bahwa Tuhan ‘eksis’, setiap saat di sekitar manusia. Beberapa hari setelah peristiwa itu, Freedrik menghilang dan memutuskan keluar dari Hipo, tangannya sudah cukup berlumuran darah.
Di sisi lain, Teresa merasa menemukan gairah baru dalam hidup, ia adalah guru dari Henry, Greta dan Eva. Hari-hari yang dilalui nya kemudian terasa lebih berwarna.
ADVERTISEMENT
Hingga pada satu hari di tahun 1945, menjelang Perang Dunia II berakhir, Kopenhagen menjadi target operasi Angkatan Udara Kerajaan Inggris, kota ini dianggap sebagai basis Gestapo yang layak dihancurkan. Peristiwa berdarah itu dikenal dengan Operasi Kartago.
Operasi itu melibatkan persenjataan canggih, lima blok pesawat tempur diturunkan, berjumlah belasan menyerbu kota Kopenhagen, menarget markas Gestapo dan memburu para Hipo.
Hingga akhirnya, pilot pesawat tanpa nama, seorang penerbang amatir, yang pernah salah sasaran menyerang sopir taksi dan tiga remaja dalam satu mobil, melakukan kesalahan yang hampir serupa. Pilot dan co-pilot ini terganggu pandangan nya karena hujan dan kaca depan yang berembun.
Pesawat yang seharusnya menjatuhkan bom ke markas Gestapo justru menyambar sutet dan oleng. Pesawat itu jatuh tepat di sekolah Perancis, tempat Henry dan kawan-kawan nya belajar, juga Teresa yang sedang dimabuk asmara.
ADVERTISEMENT
Kejadian itu kemudian mengalihkan perhatian regu penyerang di blok yang lain, mereka mengira bahwa sekolah itu adalah markas Gestapo yang telah diserang, sehingga sekaligus ingin dihancurkan oleh pesawat tempur yang canggih itu. Fatalnya, serangan itu salah sasaran, dan menewaskan 120 korban jiwa, 86 di antaranya adalah siswa sekolah.
Situasi yang menegangkan terjadi saat proses evakuasi korban, Henry, seorang anak dengan trauma mendalam yang sedang berusaha menyembuhkan rasa takut nya, dan mengembalikan kemampuan bicara selamat, Eva dalam ledakan pertama berhasil keluar dan pulang ke rumah, sedangkan Greta dan Suster Teresa terjebak di basement, di antara puing-puing bangunan yang dihancurkan melalui ledakan kedua. Mereka berdua menjadi korban.
Hipo yang segera mendatangi tempat tersebut meminta bantuan Henry untuk mencatat nama-nama anak yang ditemukan, mereka tidak tahu kalau Henry sedang kehilangan kemampuan bicara, orang tua siswa berkumpul di ruang teater, menunggu satu per satu nama anaknya disebutkan beserta keadaannya.
ADVERTISEMENT
Kondisi ini begitu menyayat hati, perang telah menciptakan penderitaan yang dalam bagi manusia tidak berdosa, warga sipil yang bahkan sama sekali tidak memiliki kepentingan pada sengketa politik. Para siswa itu juga tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi, situasi perang pada saat itu telah menjadikan Kopenhagen berlumuran darah, air mata warga sipil yang kehilangan anak nya menyadarkan kita bahwa perang tidak memberikan keuntungan sedikitpun bagi kita, meskipun kita menjadi bagian dari pemenang.
Henry, masih belum sembuh dari trauma nya, dengan terbata ia bertanya kepada korban yang nafasnya sudah hampir putus, mencatat dengan detail satu per satu nama mereka, membawa data itu ke dalam ruang teater untuk dihubungkan ke orang tua nya.
ADVERTISEMENT
Di akhir, kita hanya akan melihat tangis dampak dari Operasi Kartago yang ‘bengis’, gagal dalam perhitungan, sebuah pelajaran berharga, bahwa negara adikuasa juga bisa salah, menyebabkan penderitaan. Ini adalah kisah yang tidak pernah dibicarakan bagi kita orang-orang di Timur, kita hanya tahu, setelah perang dunia usai, Sekutu menang, Indonesia merdeka.
Seperti kata Westerling, dalam perang, seseorang harus berdiri dalam ‘posisi’, sebagai pemburu atau mangsa. Anak-anak di sekolah Perancis di Kopenhagen menjadi mangsa bagi para pemburu yang ‘ganas’, hari itu, langit kota begitu gelap dan berasap pekat, jarit dan tangis orang tua menjadi suara yang menusuk telinga, setiap kali ada korban ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa.
Eropa modern di bangun dari jeritan, air mata sisa perang, dalam bayang-bayang trauma. The Shadow in My Eye, biarlah kita terbebas dari sejarah yang memaksa kita untuk memilih, menjadi ‘pemburu’ atau ‘mangsa’ di antara kepentingan para penjahat.
ADVERTISEMENT