Papua, Mie Instan Dan Permasalahan-Permasalahan Di Baliknya

gandahutama
Saat ini saya sedang aktif mengajar di prodi Ilmu Hubungan Internasional - Universitas Pasundan Bandung.
Konten dari Pengguna
21 Mei 2024 15:36 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari gandahutama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi: Pulau Papua dan berbagai permasalahannya (design menggunakan canva.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Pulau Papua dan berbagai permasalahannya (design menggunakan canva.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belakangan tengah ramai diperbincangkan konten dengan narasi-narasi yang mengharukan terkait potret kemiskinan di Papua. Seorang anak menukar hasil kebun dengan beberapa bungkus biskuit, seorang bapak menukar hasil tangkapan ikannya dengan sekantong beras dan beberapa bungkus mie instan. Atau yang paling ramai dibicarakan, seorang influencer yang baru-baru ini berkunjung ke Papua untuk membagikan makanan. Dalam suatu podcast ia menceritakan tentang orang Papua yang tidak pernah makan daging sapi. Video-video ini kemudian ramai diperbincangkan dengan berbagai tanggapan yang berbeda. Banyak respon positif terkait pembagian makanan. Tindakan ini mungkin terlihat baik, tapi dibalik itu semua hal ini justru kian memperumit masalah pangan bagi orang Papua.
ADVERTISEMENT

Kemiskinan dan Kelaparan

Kemiskinan di Papua memang masih menjadi persoalan yang jauh dari penyelesaiannya. Dalam data BPS baik Papua maupun Papua Barat masih menjadi penyumbang angka kemiskinan terbesar di Indonesia. Kemiskinan yang terjadi di wilayah Papua diperparah dengan berbagai kesalahan Pemerintah dalam menyelesaikan persoalannya.
Banyaknya sumber daya alam yang dimiliki Papua nyatanya belum berhasil mencipatakan kesejahteraan dan membebaskan masyarakat Papua dari kemiskinan. Ironisnya masyarakat Papua justru mengalami kelaparan yang menyebabkan stunting dan kematian. Dari data elektronik pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (ePPGBM) hingga september 2023, sebanyak 2.769 balita mengalami stunting dengan prevalesni tertinggi tercatat di Kabupaten Mamberamo Raya, Supiori, dan Sarmi. Sedangkan pada Oktober hingga November, pemerintah daerah Yahukimo menetapkan status tanggap darurat bencana setelah 23 orang dari Distrik Amuma Yahukimo dilaporkan meninggal dunia akibat kelaparan. Kasus kematian yang diakibatkan kelaparan bukan kali pertama di Papua kasus ini telah terjadi berulang kali namun belum kunjung terselesaikan dengan tepat.
ADVERTISEMENT
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya bencana kelaparan di Papua, sayangnya Pemerintah mengkambing hitamkan alam sebagai penyebab terjadinya bencana kelaparan di Papua. Padahal jika ditelisik lebih lanjut, justru faktor nonalam menjadi penyebab utama terjadinya kelaparan di Papua.

Daerah Otonomi Baru (DOB)

Sejak perencanaannya, Pemekaran Papua melalui Undang-Undang (UU) tentang Daerah Otonomi Baru (DOB) telah banyak ditentang oleh orang Papua. Sebanyak 714.066 orang Papua dan 112 organisasi yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) menolak pengesahan RUU tersebut. Penolakan besar-besaran terjadi di sejumlah wilayah di Papua seperti di Jayapura, Wamena, Paniai, Yahukimo, Timika, Lanny Jaya dan Nabire. Penolakan ini bahkan mengakibatkan banyak korban dan sejumlah demonstran ditangkap polisi. Pengesahan RUU otonomi baru telah mengabaikan aturan yang tertuang dalam UU Pasal 77 UU 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua yang mewajibkan Pemerintah untuk berkonsultasi dengan rakyat Papua. Dalam Otsus, pemekaran wilayah wajib memperoleh pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP). Alih-alih mendapatkan persetujuan, MRP menyatakan bahwa pembentukan DOB dilakukan pemerintah secara sepihak dan tanpa melibatkan MRP dan orang Asli Papua (OAP).
ADVERTISEMENT
Pembentukan DOB bahkan mendapat respon keras dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Melalui juru bicara TPNPB Seby Sembom mengatakan, pihaknya menolak segala produk Jakarta di atas tanah Papua dan mengancam akan menembak mati aktor oknum pemekaran DOB dan OTSUS Jilid II di Papua. Gencarnya penolakan yang dilakukan orang Papua, mengindikasikan apa yang dilakukan pemerintah tidak menjadi representasi apa yang diharapkan orang-orang Papua itu sendiri.
Pemekaran Papua tidak berhasil menyelesaikan persoalan kemiskinan dan kelaparan yang terjadi di tanah Papua. DOB justru menjadi persoalan baru di tanah papua dan mengabaikan persoalan-persoalan yang telah lama ada. Pemekaran menjadi salah satu penyebab semakin parahnya kemiskinan yang berujung pada bencana kelaparan di Papua. Daerah-daerah di Papua tidak memiliki PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang cukup tinggi untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Secara fiskal daerah pemekaran baru akan sangat bergantung pada pemerintah pusat. Akibatnya, pembentukan provinsi baru; Papua selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan Tengah menyebabkan sumber daya pemerintah yang seharusnya dialokasikan untuk pengentasan kemiskinan dan penanggulangan kelaparan justru lebih banyak dialokasikan kepada pembangunan infrastruktur untuk daerah baru seperti pembangunan jalan dan perkantoran. Dalam hal ini, Pemerintah gagal dalam menentukan skala prioritas dalam menyelesaikan masalah di Papua.
ADVERTISEMENT

Deforestasi

Kebijakan ugal-ugalan lain yang dilakukan oleh pemerintah yaitu dengan melakukan eksploitasi hutan yang berujung pada Deforestasi di tanah Papua. Kebijakan ini juga menjadi salah satu penyebab fatal yang mengakibatkan masyarakat Papua terjebak dalam kelaparan. Berdasarkan laporan yang dirilis AURIGA pada tahun 2001 menyebutkan bahwa dalam 20 tahun terakhir, luas hutan alam di Tanah Papua telah menyusut 663.443 hektare (ha) dengan deforestasi tertinggi terjadi pada tahun 2015 yang meghilangkan 89.881 ha hutan alam tanah Papua. Besaran penyusutan hutan alam yang terjadi di tanah Papua bahkan lebih besar dari luas pulau Bali yang hanya memiliki luas wilayah 578.000 ha.
Penyebab utama terjadinya deforestasi adalah pengalih fungsian hutan menjadi lahan kelapa sawit dan pertambangan. Adapun sebab lain yaitu karena pembangunan infrastruktur, pemekaran wilayah administratif dan pengalih fungsian hutan alam menjadi hutan tanaman industri. Seperti yang terjadi pada tahun 2010, pemerintah membuat program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Esatate) dengan tujuan untuk membuka lumbung pangan baru. Alih-alih menjadi lumbung pangan baru, kebijakan ini justru membawa dampak mengerikan bagi masyarakat Papua. Melalui program MIFEE pemerintah telah membuka lahan secara meluas dengan mengalih fungsikan hutan dan lahan gambut menjadi berbagai lahan produksi pangan, energi dan hasil panen lainnya.
ADVERTISEMENT
Sejak dulu, masyarakat Papua hidup berdampingan dengan hutan. Segala penghidupan masyarakat Papua telah disediakan oleh hutan. Dari mulai sagu, buah-buahan, babi dan ikan telah disediakan hutan. Makanan yang diberikan hutan kepada masyarakat Papua justru memiliki keseimbangan gizi yang cukup dibandingkan dengan mie instan yang dibawa oleh orang non-Papua. Karbohidrat yang bisa didapatkan dari sagu, protein yang bisa didapatkan dari daging babi, serta mineral dan vitamin yang bisa didapatkan dengan muda dari sayur dan buah yang tersedia di hutan Papua.
Saat ini, hutan sebagai identitas budaya dan ruang kehidupan orang Papua telah berganti menjadi lahan sawit dan hutan industri yang menyisakan masalah HAM dan Ekologi. Sementara kompensasi-kompensasi yang diberikan tidak akan pernah sebanding dengan dampak yang didaptakan. Makanan hutan telah berganti dengan beras, mie instan, biskuit dan berbagai produk pangan lain yang berasal dari luar Papua. Sulitnya mengakses hutan membuat Orang Papua menjadi kian bergantung pada produk-produk makanan ini, padahal produk-produk ini tidak dapat mereka produksi sendiri atau didapatkan dengan harga murah sebagaimana di pulai lain di luar Papua. Sehingga banyak orang Papua yang sudah ketergantungan rela menukar apa saja yang mereka miliki dengan produk-produk yang tidak bisa mereka produksi sendiri. Tidak terlalu berlebihan jika Sophie Co, peneliti dari university of Sidney menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Papua adalah penjajahan melalui makanan atau bisa disebut sebagai gastro-kolonialisme. Menimbang apa yang terjadi, deforestasi di Papua dapat dikategorikan sebagai tindakan pemusnahan budaya (culture genocide) sebab bagi orang Papua, hutan tidak hanya sekedar sumber daya tetapi melekat sebagai identitas budaya dan ruang kehidupan yang menyimpan berbagai nilai sejarah dan sosial mereka.
ADVERTISEMENT

Keamanan

Faktor lain yang turut menjadi persoalan di Papua yang seharusnya menjadi fokus penyelesaian pemerintah yaitu permasalahan Kemanan di Papua. Permasalahan kemanan telah terjadi berlarut-larut dan mengakibatkan banyak kerugian bagi orang Papua. Di Nduga misalnya, sejak 2018 tempat tinggal yang seharusnya menyediakan rasa aman, kini telah berubah menjadi daerah operasi militer tempat konflik bersenjata anatara TNI/Polri dengan kelompok bersenjata yang mengatasnamakan diri sebagai Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang menjadi bagian Organisasi Papua Merdeka (OPM). Akibat dari konflik ini, sebanyak 45.000 warga Nduga terpaksa menjadi pengungsi dan 400 diantaranya meninggal dunia. Kebanyakan dari pengungsi memilih untuk tinggal di hutan dan sebagaian lain tersebar ke beberapa wilayah di Papua. Para pengungsi harus menghadapi berbagai permasalahan; kurangnya makanan, penyakit dan stigmatisasi terhadap mereka. Masuk hutan dituduh mata-mata pemerintah, masuk kota dianggap OPM, sehingga tidak ada lagi tempat aman bagi mereka.
ADVERTISEMENT
Konflik Nduga hanya sebagaian dari permasalahan keamanan di Papua. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (GTP-UGM) menunjukan bahwa terdapat 348 kasus yang mengakibatkan 2118 korban dengan rincian 1654 mengalami luka-luka yang mayoritas terjadi akibat tembakan hingga bacokan senjata tajam, dan 464 diantaranya meninggal dunia. Aktor utama yang terlibat dalam rentetatan kasus tersebut melibatkan masyarakat (OAP-NON-OAP) TNI-Polri dan KKB/TPNPB-OPM
Jumlah rill korban akibat permasalahan keamanan diprediksi jauh lebih banyak dari data-data yang ada. Selama ini, orang Papua harus hidup dalam ketakutan dan trauma yang mendalam. Rumah tidak pernah lagi menjadi tempat aman bagi mereka, Sekolah telah berubah menjadi kantor militer, ladang menjadi daerah yang berbahaya, sebab kapan saja peluru bisa menembak kepala mereka, entah peluru TNI atau peluru TPNPB. Gangguan kemanan yang terjadi di Papua telah membuat orang Papua kehilangan hak-hak dasar mereka sebagai manusia.
ADVERTISEMENT

Bagaimana pemerintah seharusnya bersikap?

Nestapa oarang Papua tidak cukup disimplifikasi hanya sebatas pada kelaparan atau ketidak tahuan mereka pada makanan-makan yang memang pada dasarnya bukan konsumsi umum orang Papua. Lebih jauh dari itu, orang Papua telah mengalami permasalahan struktural yang telah mereka hadapi bertahun-tahun lamanya. Kemiskinan dan kelaparan yang terjadi di Papua adalah akibat dari persoalan-persoalan yang tak kunjung terselesaikan. Hak-hak dasar orang papua sebagai manusia telah lama digantikan dengan kompensasi-kompensasi yang ala kadarnya.
ADVERTISEMENT
Sebagai bagian dari wilayah Indonesia, tidak salah memang jika pemerintah membutuhkan Papua karena sumber daya yang dimilikinya. Tapi lebih jauh dari itu, pemerintah seharusnya mempertimbangkan dampak yang akan terjadi kepada Papua dan meletakan Papua sebagai pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan, karena mengurus Papua tidak bisa dengan kacamata “Ibu Kota” mengurus Papua harus menggunakan kacamata orang Papua itu sendiri. Sementara pemerintah masih meraba-raba solusi penyelesaian permsalahan di Papua, orang Papua akan berkahir sebagai angka-angka dalam data kuantitatif korban kegagalan Pemerintah.