Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Buzzer dan Hoaks: Ancaman Tersembunyi di Dunia Maya
6 Desember 2024 15:43 WIB
·
waktu baca 1 menitTulisan dari Pattiruhu Godewyn Gania Beauty tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kampanye digital kini semakin dipengaruhi oleh buzzer yang menyebarkan informasi palsu untuk memengaruhi opini publik, terutama di kalangan Gen Z. Menurut databoks.katadata.co.id., pengguna media sosial didominasi oleh usia 18-34 tahun sebanyak 54,1%, yang berarti penggunaan sosial media didominasi oleh generasi Z. Generasi ini, yang aktif di media sosial, rentan terpapar informasi tersebut. Oleh karena itu, penting bagi Gen Z untuk lebih kritis dalam memilih informasi, menghindari penyebaran hoaks, dan memastikan bahwa keputusan mereka, terutama dalam memilih, didasarkan pada fakta yang akurat. Keaktifan mereka di platform digital menjadikan mereka salah satu pihak yang dapat mengubah arah kampanye jika mampu memilih dengan bijak dan tidak terpengaruh oleh manipulasi buzzer.
ADVERTISEMENT
Buzzer merupakan suatu jasa atau orang yang dibayar untuk mempromosikan, mengampanyekan, atau bahkan menutupi sesuatu dengan tujuan tertentu di media sosial. Awalnya penggunaan buzzer digunakan untuk kepentingan jual menjual, dengan cara mempromosikan layanan ataupun sebuah produk agar meningkatnya audiens yang bisa berdampak pada peningkatan jualan. Namun, penggunaan buzzer mulai meluas hingga menjadi salah satu komponen penting dalam ranah politik, terutama saat kampanye. Peran buzzer politik dalam kampanye adalah menyebarkan informasi dan bahkan mengubah pandangan publik melalui media sosial. Seorang pengamat media sosial bernama Jeff Stapple menyatakan bahwa kemampuan dasar seorang buzzer dalam media sosial adalah kemampuan untuk mempengaruhi orang lain, sehingga buzzer harus benar- benar mengerti apa yang disebarkan pada dunia maya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, penyalahgunaan buzzer bisa menimbulkan adanya kampanye negatif hingga black campaign melalui penyebaran informasi yang tidak berdasar. Selama kampanye Pemilu 2024, banyak contoh kasus penyebaran hoaks tentang rekam jejak calon pasangan yang ada. Seperti salah satunya adalah muncul kabar yang tidak benar mengenai proyek seni instalasi bambu yang dibangun oleh Pemprov DKI Jakarta pada 2018, yang diklaim menghabiskan dana sebesar 500 triliun rupiah. Faktanya, proyek tersebut hanya menghabiskan dana sebesar kurang lebih 550 juta rupiah yang diluruskan melalui website Kominfo. Hal ini menjadi salah satu bukti serta peran pemerintah dalam menyikapi berita hoax. Peran lainnya yang dilakukan oleh pemerintah adalah melalui pemberian sanksi tegas yang diatur dalam beberapa undang- undang, serta sosialisasi kepada masyarakat untuk dapat mengenali dan menghindari berita hoax.
ADVERTISEMENT
Menurut data dari Kominfo, setidaknya ada 12.547 konten isu hoax yang telah ditangani oleh Kementerian Kominfo sejak bulan Agustus 2018 lalu hingga akhir tahun 2023. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia kurang memperhatikan sumber dan kebenaran dari suatu informasi atau berita yang ada. Berdasarkan hasil survey Mastel tentang Wabah Hoaks Nasional, menyatakan bahwa 54% masyarakat Indonesia mengaku belum bisa mendeteksi berita hoaks dan hanya sekitar 55% di antaranya yang selalu melakukan verifikasi (fact check) atas keakuratan informasi yang mereka baca.
Dari data diatas, dapat disimpulkan bahwa kewaspadaan masyarakat Indonesia akan hoaks masih lemah. Untuk itu, berikut ini adalah cara yang bisa dilakukan oleh masyarakat, terutama Gen Z sebagai generasi melek digital untuk memastikan faktualitas suatu informasi dan mencegah penyebaran hoaks lebih lanjut :
ADVERTISEMENT