Konten dari Pengguna

Anak Muda Terlalu Sibuk Scroll Saatnya Kembali ke Buku dan Pena

Gathan Alfaraldy
Mahasiswa sarjana S1 di Universitas Pamulang dengan program studi Teknik Informatika
8 Mei 2025 16:41 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gathan Alfaraldy tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak muda bermain telepon ( sumber https://pixabay.com/id/photos/maket-telepon-iphone-telepon-biy-7702602/ )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak muda bermain telepon ( sumber https://pixabay.com/id/photos/maket-telepon-iphone-telepon-biy-7702602/ )
ADVERTISEMENT
Remaja saat ini sering kali lebih sibuk menggulir media sosial daripada membuka buku. Bayangkan, seorang remaja duduk di bangku taman, mengenakan earphone, jempolnya terus bergerak mengikuti video yang muncul di layar. Wajahnya datar, matanya kosong. Lima menit berlalu, dan ia masih terpaku pada video yang sama. Coba tanyakan pada diri sendiri
ADVERTISEMENT
Kita hidup di zaman serba cepat dan instan. Namun, semakin sedikit orang yang sabar menyelami satu halaman buku, apalagi menuangkan pikirannya melalui tulisan.

Literasi di Era Gawai Mati Suri atau Justru Berevolusi

Ilustrasi membaca ( sumber https://pixabay.com/id/photos/kobo-lampu-baca-ebook-3544072/ )
Gawai bukanlah musuh. Justru, ia dapat menjadi sarana belajar dan berekspresi yang sangat ampuh. Persoalannya, banyak orang terlalu nyaman menjadi penikmat konten dibanding menjadi pencipta makna.
Padahal, membaca dan menulis bukan sekadar tugas sekolah. Literasi adalah cara untuk memahami dunia, mengenali diri, dan menyuarakan pendapat. Ia adalah senjata di tengah kebisingan digital.
Bayangkan jika anak muda Indonesia dapat menulis ide sekeren membuat takarir media sosial. Atau membaca novel setebal Laut Bercerita dengan antusiasme seperti saat mengikuti utas horor di Twitter.
ADVERTISEMENT

Gulir Terus Namun Tak Pernah Sampai

Menurut survei, rata-rata anak muda menghabiskan lebih dari empat jam per hari di media sosial. Namun dari waktu sebanyak itu, berapa menit yang benar-benar memperkaya pikiran mereka?
Minat baca bukan soal mampu atau tidak, melainkan mau atau tidak. Sayangnya, banyak yang menganggap membaca itu membosankan dan menulis itu melelahkan. Padahal, semua bisa dimulai dari hal sederhana mulai dari menulis jurnal harian, membuat ulasan film, atau membaca satu artikel setiap hari.

Dari Buku ke TikTok Seharusnya Bisa Terhubung

Ilustrasi konten kreator ( sumber https://pixabay.com/id/photos/siniar-video-siaran-catatan-8683196/ )
Suka membuat konten di TikTok? Hebat. Namun bayangkan jika ceritamu bisa diubah menjadi kumpulan puisi atau esai reflektif yang dimuat di media.
Literasi tak harus membosankan. Membaca bisa dilakukan dari berbagai sumber. Menulis bisa dilakukan dengan berbagai gaya. Bahkan, ide konten paling viral bisa lahir dari buku yang kamu baca diam-diam sebelum tidur.
ADVERTISEMENT

Orang Tua dan Guru Tidak Cukup Hanya Menuntut

Anak-anak tidak butuh diperintah membaca. Mereka butuh diajak berdiskusi. Bukan hanya diminta merangkum, tetapi diajak berdialog tentang isi cerita dan pendapat mereka.
Lingkungan literat adalah lingkungan yang menyediakan ruang, memberi teladan, dan menumbuhkan rasa percaya diri untuk menyuarakan ide.

Media Sosial Bukan Musuh Melainkan Medan Tantangan

Ilustrasi keseimbangan ( sumber https://www.freepik.com/free-photo/still-life-books-versus-technology_36290064.htm#fromView=search&page=1&position=0&uuid=abbd86e5-0fcd-4ef6-bea8-dcc77481a68d&query=strasi+keseimbangan+antara+media+sosial+dan+buku+%28bisa+visual+setengah+ponsel%2C+setengah+buku%29 )
Media sosial dapat menjadi sarana yang luar biasa untuk membangun budaya membaca dan menulis, asalkan digunakan dengan bijak.
Ikuti akun-akun literasi yang inspiratif. Baca utas yang mencerahkan. Tulis ulasan, opini, atau pengalaman pribadi. Buat blog, podcast, atau kanal video yang menyuarakan ide-ide segar.
Jika kamu bisa viral karena joget, kamu juga bisa viral karena tulisan yang menggugah.
ADVERTISEMENT

Mari Rebut Kembali Makna dari Kata-kata

Membaca dan menulis bukan soal zaman dahulu, melainkan soal kedalaman makna. Saat dunia bergerak cepat, kamu bisa menjadi pribadi yang peka, reflektif, dan penuh empati.
Tidak harus menjadi sastrawan. Namun, coba tanyakan pada diri sendiri
Menjadi muda hanya sekali tetapi menjadi literat bisa sepanjang hayat