Konten dari Pengguna

Transisi Kendaraan Listrik: Ancaman atau Peluang bagi Penerimaan Pajak Daerah?

Gathan Alif Al Kautsar
Mahasiswa D-IV Akuntansi Sektor Publik di PKN STAN
3 Februari 2025 11:09 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gathan Alif Al Kautsar tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kendaraan Listrik (Dok. Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Kendaraan Listrik (Dok. Pixabay)
ADVERTISEMENT
Pada 12 Agustus 2019, dalam rangka mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan menekan emisi gas rumah kaca, Indonesia menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 yang diperbarui oleh Perpres Nomor 79 Tahun 2023 tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (Battery Electric Vehicle). Salah satu hal penting dalam peraturan ini yaitu mengamanatkan pembebasan atau pengurangan pajak pusat dan daerah pada kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki target yang sangat ambisius untuk penerapan kendaraan listrik di Indonesia. Indonesia menargetkan sebanyak 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit motor listrik sudah beredar di jalan pada tahun 2030, tutur Sekretaris Jenderal Kementrian energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana. Tak hanya itu, untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik, pemerintah juga menargetkan 32.000 stasiun pengisian kendaraan listrik (SPKLU) pada tahun 2030 mendatang.
Hingga April 2024, jumlah kendaraan listrik semakin menjamur, dengan jumlah kendaraan listrik mencapai 133.225 unit yang sudah beredar di jalan. Stasiun pengisian kendaraan listrik juga ikut meningkat, mencapai 2.490 unit untuk stasiun kendaraan roda empat dan 9.956 unit untuk stasiun kendaraan roda dua. Hal ini menjadi sorotan, karena capaian ini tentu masih sangat jauh dari target yang telah ditetapkan untuk tahun 2030. Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto mengungkapkan bahwa hal ini terjadi karena SPKLU masih terbatas dan hanya tersedia di kota-kota besar serta kota penyangganya.
ADVERTISEMENT
Di lain sisi, harga kendaraan listrik juga relatif mahal jika dibandingkan kendaraan konvensional. Harga kendaraan listrik yang berkisar antara Rp 569 juta dengan merk Ioniq hingga Rp 2,85 miliar dengan merk Tesla X sangat jauh dibandingkan dengan harga mobil konvensional yang berkisar antara Rp 103 juta dengan merk Daihatsu Ayla hingga Rp 533 juta dengan merk Honda Civic. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa kendaraan listrik tidak sepenuhnya terjangkau, bahkan hanya dapat dijangkau oleh kalangan menengah keatas.

Kondisi Terkini Subsidi Kendaraan Listrik di Indonesia

Fenomena ini menjadi salah satu faktor yang menghambat adopsi kendaraan berbasis listrik di Indonesia. Untuk mengompensasi hal ini, pemerintah merumuskan kebijakan subsidi khusus kendaraan berbasis listrik yang tertuang pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2023 yang kemudian digantikan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2024 yang mengatur beberapa hal, salah satunya mengatur tentang besarnya Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) ditetapkan sebesar 0% khusus kendaraan berbasis listrik.
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia memberikan subsidi terkait pajak kendaraan bermotor berbasis listrik ini sebagai bagian dari strategi Indonesia mencapai target Net Zero Emission pada tahun 2060. Langkah ini ditempuh dalam rangka mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan menekan emisi gas rumah kaca pada sektor transportasi, yang merupakan salah satu kontributor utama emisi karbon di Indonesia.

Dampak Subsidi Kendaraan Listrik terhadap Pajak Daerah

Namun, kebijakan ini berdampak pada penerimaan daerah, mengingat pajak kendaraan bermotor merupakan salah satu sumber utama pendapatan daerah tiap tahunnya. Mengutip situs Bapenda Jawa Barat, jumlah penerimaan pajak kendaraan bermotor pada semester 1 tahun 2023 mencapai Rp 4,2 triliun, sedangkan pada periode yang sama, jumlah penerimaan bea balik nama kendaraan bermotor mencapai Rp 3 triliun. Pada provinsi lain, mengutip dari situs Bapenda Kalimantan Barat, jumlah penerimaan pajak kendaraan bermotor pada tahun 2023 mencapai Rp 710,4 miliar, sedangkan pada periode yang sama, jumlah penerimaan bea balik nama kendaraan bermotor mencapai Rp 740,1 miliar. Hal ini menjadi bukti bahwa penerimaan pajak daerah, terutama pada pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor masih menjadi andalan utama untuk menunjang penerimaan daerah, yang lebih lanjut akan digunakan untuk mendanai pembangunan di daerah itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Sehubungan dengan fenomena ini, subsidi terhadap kendaraan berbasis listrik yang dicanangkan oleh pemerintah akan berpotensi untuk mengurangi sebagian besar potensi penerimaan pajak daerah, terutama dalam sektor pajak kendaraan bermotor. Dengan asumsi masyarakat yang beralih kepada kendaraan berbasis listrik sebesar 20%, jika kita ambil contoh pada Provinsi Jawa Barat, maka potensi pajak daerah yang hilang dari sektor pajak kendaraan bermotor mencapai Rp 840 miliar. Jumlah ini merupakan jumlah yang fantastis, mengingat bahwa nominal sebesar ini akan digunakan kembali untuk membangun daerah tersebut. Jumlah ini dapat berkembang lebih besar, apalagi pada daerah yang memiliki rasio peralihan pada kendaraan listrik sudah cukup besar serta telah memiliki ekosistem kendaraan listrik yang sudah lebih maju daripada daerah lainnya, seperti DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Potensi pajak daerah yang hilang ini tentu saja sangat disayangkan. Dengan jumlah yang fantastis, hal ini tentu akan mengurangi pendapatan daerah tertentu secara signifikan. Daerah kehilangan sumber pendapatan penting yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun jalan dan transportasi umum, layanan publik, serta perbaikan fasilitas umum yang rusak akibat penggunaan jalan oleh kendaraan. Jika subsidi ini terus diperpanjang, daerah akan semakin bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat.
Selain itu, berkurangnya penerimaan daerah sebagai akibat dari adanya subsidi terhadap pajak kendaraan berbasis listrik ini menimbulkan efek domino. Karena pendapatan daerah yang berkurang akibat hilangnya pajak kendaraan bermotor kendaraan listrik, pemerintah daerah bisa terdorong untuk menaikkan pajak atau retribusi lainnya, atau bahkan mencipatakan pajak baru yang membebani sektor lain, yang pada akhirnya akan berdampak negatif bagi masyarakat secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Hilangnya penerimaan pajak daerah akibat subsidi ini bukan hanya berdampak pada pendapatan asli daerah (PAD), tetapi juga menimbulkan pertanyaan lebih luas mengenai efektivitas kebijakan subsidi dalam rangka percepatan penerapan kendaraan listrik ini. Di sisi lain, kendaraan berbasis listrik sendiri masih menuai berbagai kritik, terutama terkait klaim keberlanjutannya serta profil penerima subsidi yang cenderung tidak tepat sasaran.
Ironisnya, kendaraan berbasis listrik tidak sepenuhnya bebas dari emisi dan efek negatif lainnya. Baterai kendaraan listrik menggunakan material seperti litium, nikel, kobalt, dan grafit yang harus ditambang dalam jumlah yang besar, sehingga berpotensi merusak ekosistem dan mencemari air serta tanah. Proses produksi baterai ini juga menciptakan emisi karbon yang sangat besar, sebagai contoh peleburan nikel berpotensi menghasilkan limbah asam yang mengandung logam berat, yang jika tidak dikelola dengan baik, dapat mencemari ekosistem perairan. Selain itu, jika listrik yang digunakan dalam produksi dan pengisian daya kendaraan listrik masih berasal dari pembangkit batu bara, maka tetap akan menghasilkan emisi dan tidak akan mengurangi ketergantungan pada sumber daya tak terbarukan.
ADVERTISEMENT
Profil penerima subsidi yang cenderung tidak tepat sasaran juga merupakan hal krusial yang menjadi pertimbangan. Harga kendaraan berbasis listrik yang masih jauh lebih mahal dibanding kendaran berbahan bakar minyak (BBM), membuat kendaraan listrik hanya bisa terjangkau oleh masyarakat menengah keatas. Jika tujuan subsidi adalah untuk membantu masyarakat beralih ke energi ramah lingkungan, maka subsidi pada transportasi publik listrik akan lebih efektif dibandingkan memberikan keringanan pajak kendaraan pribadi milik orang kaya.
Kendaraan berbasis listrik kini juga sudah menjadi lifestyle atau gaya hidup orang dengan ekonomi menengah keatas. Banyak pembeli kendaraan listrik menggunakan mobil ini sebagai kendaraan kedua atau ketiga, bukan sebagai kendaraan utama untuk mengurangi emisi. Kendaraan listrik kerap kali dianggap sebagai simbol status sosial, bukan kebutuhan yang benar-benar menggantikan kendaraan konvensional. Jika tujuan utama kebijakan net zero emission adalah mengurangi polusi, pemerintah seharusnya mendorong pengurangan jumlah kendaraan pribadi, bukan malah memberikan insentif yang justru meningkatkan jumlah kendaraan di jalan.
ADVERTISEMENT

Alternatif Solusi untuk Pemerintah

Oleh karena itu, subsidi kendaraan listrik sebaiknya dialihkan ke sektor yang lebih krusial, seperti pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial, yang memiliki dampak lebih luas bagi masyarakat. Kesehatan dan pendidikan yang berkualitas menjadi dua kunci penting agar Indonesia bisa maju pada tahun 2030, tutur Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Pendidikan merupakan salah satu investasi jangka panjang yang menentukan masa depan bangsa. Sektor kesehatan di negara kita juga masih menghadapi beberapa kendala, seperti kurangnya rumah sakit, tenaga medis, serta obat yang terbatas. Alih – alih memberikan subsidi kepada pemilik kendaraan listrik yang mayoritas berasa dari kalangan ekonomi atas, dana tersebut lebih baik dialokasikan untuk peningkatan akses pendidikan bagi masyarakat miskin, peningkatan kesejahteraan tenaga pendidik, perbaikan rumah sakit, dan peningkatan layanan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu.
ADVERTISEMENT
Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa kebijakan anggaran berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Dalam kondisi di mana masih banyak sektor yang membutuhkan perhatian serius, subsidi kendaraan listrik seharusnya tidak menjadi prioritas utama. Investasi di sektor pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial akan memberikan dampak jangka panjang yang lebih signifikan dibandingkan sekadar memberikan insentif bagi kepemilikan kendaraan listrik.