Konten dari Pengguna

Begitu Mudahnya Menaklukkan Bandara Soekarno-Hatta

13 November 2020 18:26 WIB
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gatot Raharjo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Habib Rizieq Syihab berbicara kepada para pendukungnya saat tiba di bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Selasa (10/11). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Habib Rizieq Syihab berbicara kepada para pendukungnya saat tiba di bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Selasa (10/11). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Bandara Internasional Soekarno-Hatta adalah bandara terbesar di Indonesia, baik dari sisi kapasitas maupun jumlah pergerakan penumpang yang bisa dilayani.
ADVERTISEMENT
Dengan tiga terminal yang dimiliki, bandara ini memiliki kapasitas layanan 42 juta pergerakan penumpang per tahun. Sedangkan jumlah pergerakan penumpang per tahun yang dilayani pada kondisi normal, di luar kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini, bisa mencapai lebih dari 60 juta pergerakan penumpang (berangkat, datang dan transit).
Bandara yang menjadi pintu gerbang utama Indonesia tersebut dalam kondisi normal biasanya melayani lebih dari 1.000 penerbangan tiap hari, atau sekitar 60-70 persen penerbangan di nasional. Bisa dikatakan, penerbangan nasional sangat bergantung pada Bandara Soekarno-Hatta.
Bandara ini juga banyak mendapat penghargaan nasional dan internasional. Paling baru, pada 11 November kemarin, mendapatkan Airport Health Accreditation (AHA) dari Airport Council International (ACI). Di tingkat Asia Tenggara, hanya bandara ini dan bandara Changi Singapura, yang merupakan bandara terbaik di dunia, yang mendapatkan penghargaan tersebut.
ADVERTISEMENT
Namun sehari sebelumnya, Bandara Soekarno-Hatta “takluk”. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Novie Riyanto menyebut setidaknya ada 263 penerbangan mengalami keterlambatan terbang atau delay hingga 1-4 jam. Akibatnya 5.951 calon penumpang pesawat terdampak penerbangannya. Jika pada hari tersebut terdapat 556 penerbangan, lebih sedikit dari normal karena terdampak pandemi Covid-19, maka hampir 50 persen penerbangan yang terganggu.
Selain itu, karena sifat penerbangan yang resiprokal dan kontinyu antar 2 bandara, keterlambatan di satu bandara juga akan menyebabkan keterlambatan di bandara lain. Misalnya: pesawat yang dipakai terbang dari Jakarta menuju Surabaya, juga akan dipakai terbang dari Surabaya menuju Bali dan sebagainya. Jadi tentu saja penerbangan lanjutan tersebut juga akan mengalami delay.
ADVERTISEMENT
Timbul pertanyaan, kenapa bandara yang sebesar dan seramai itu, bisa tiba-tiba takluk, dan hampir setengah penerbangannya terganggu?
Apa penyebabnya?
Sejauh ini, dari pengamatan penulis ada beberapa penyebab.
Yang pertama adalah kegiatan sosial politik masyarakat yang berdampak pada operasional bandara. Menurut beberapa pemberitaan. Masyarakat banyak masyarakat yang memarkirkan kendaraannya di jalan tol Sudiyatmo yang menjadi akses utama dari dan ke bandara ini sehingga menimbulkan kemacetan panjang dan parah.
Yang kedua, kondisi akses dari dan ke bandara yang hanya mempunyai satu akses utama (jalan tol) dan beberapa akses lain yang relatif kecil.
Ketiga, kurangnya koordinasi antar stakeholder yang menangani sarana dan prasarana transportasi dari dan ke bandara ini.
Mari kita analisa.
Penyebab pertama, kegiatan sosial politik masyarakat tentu saja bukan ranah dari penerbangan. Namun hal tersebut harus diantisipasi oleh sektor penerbangan, karena ternyata bisa berpengaruh pada operasional penerbangan.
ADVERTISEMENT
Penyebab kedua, akses dari dan ke bandara. Selama ini akses utama hanya dari jalan tol Sudiyatmo yang mungkin melayani 90 persen pergerakan dari dan ke bandara. Ada beberapa akses jalan kecil yang berujung ke jalan masuk arah depan bandara.
Di belakang, ada beberapa pintu masuk kecil, yaitu perimeter selatan dan utara serta pintu M1. Kondisi perimeter selatan dan utara yang panjangnya masing-masing sekitar 4 km itu hanya dapat dilalui 2 mobil dan sepeda motor (2 arah) sehingga jika ada tambahan volume kendaraan, akan terjadi macet parah.
Sedangkan pintu M1, sampai saat ini telah ditutup oleh PT Angkasa Pura II karena alasan keamanan. Mengingat jalan dari pintu M1 menuju bandara melewati bawah taxiway. Walaupun ditutup, AP II menyediakan tempat parkir kendaraan dan shuttle bus menuju terminal.
ADVERTISEMENT
Sementara itu jalan Marsekal Suryadarma yang berada tepat di belakang bandara, kondisinya juga tidak terlalu lebar dan sudah padat kendaraan. Jika ada pengalihan kendaraan dari akses utama di depan bandara menuju belakang bandara, dapat dipastikan terjadi kemacetan yang parah dan panjang.
Penyebab ketiga, karena kurangnya koordinasi antar stakeholder. Sebenarnya,selain akses di atas, ada akses kereta bandara dari tengah kota Jakarta. Akses kereta bandara ini sebenarnya adalah akses yang paling bebas hambatan. Namun sayangnya, pada 10 November tersebut, dengan alasan operasional, PT Railink yang menyelenggarakan kereta bandara tersebut justru menyetop operasional kereta hanya sampai ke Stasiun Batu Ceper, tidak sampai ke Bandara. Penyetopan tersebut dilakukan pukul 05.40 WIB sampai 10.10 WIB. Kereta baru ada di Bandara Soekarno-Hatta pukul 10.40 WIB. Padahal pada pagi hari adalah jam sibuk bandara, kenapa justru kereta bandara yang bebas hambatan tersebut justru dihentikan?
ADVERTISEMENT
Apa dampaknya?
Jika penerbangan dari Bandara Soekarno-Hatta adalah 60 persen dari penerbangan nasional, tentu saja dampak lanjutan dari delay di bandara ini bagi penerbangan nasional akan sangat besar. Dan karena penerbangan juga mempunyai dampak yang besar pada perekonomian, maka bisa dipastikan perekonomian nasional juga akan terganggu.
Mari kita coba hitung secara kasar.
Data dari, pada kuartal II (April-Juni) tahun 2020, Biro Pusat Statistik mencatat bahwa kontraksi negatif-80,23 persen dari penerbangan (saat itu jumlah penerbangan sangat minim bahkan hampir mencapai nol persen) akan ikut menyebabkan kontraksi minus pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan sebesar -30,84 persen dan berkontribusi dalam-5,32 persen kontraksi minus pertumbuhan perekonomian nasional pada periode tersebut.
Jika penerbangan bermasalah 50 persen pada hari itu, kemungkinan juga dapat menjadi salah satu penyebab kontraksi minus setengah dari sektor transportasi (-15 persen) dan perekonomian nasional (-2,7 persen).
ADVERTISEMENT
Apakah angka itu valid? Tentu saja tidak. Hanya gambaran kasar. Namun jangan dilupakan bahwa transportasi sangat berpengaruh pada sektor-sektor lain seperti perdagangan dan pariwisata. Ketiadaan transportasi bisa menyebabkan sektor perdagangan dan pariwisata juga terganggu. Jadi jangan dianggap remeh.
Sedangkan dampak pada faktor keselamatan dan keamanan penerbangan serta bisnis maskapai dan kepentingan masyarakat, lebih banyak lagi.
Dari sisi keselamatan penerbangan, kru pesawat (pilot dan awak kabin) yang terdampak kemacetan dan mungkin harus berjalan kaki menuju bandara bisa terkena stress dan dapat berdampak pada kinerja.
Dari sisi keamanan, adanya kerumunan orang non penumpang dalam jumlah besar di bandara merupakan hazard dan bisa saja dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk berbuat kejahatan. Padahal bandara itu termasuk objek vital negara yang harus diamankan dan aturan keamanan penerbangan sudah diatur secara internasional.
ADVERTISEMENT
Yang paling terdampak memang sisi bisnis maskapai dan layanan serta kenyamanan pada penumpang. Kerugian maskapai sudah pasti karena mereka harus mengatur delay tersebut di berbagai kota  termasuk mengatur dan melayani penumpangnya yang terdampak. Juga mengatur jam terbang kru yang pasti terpangkas, padahal tiap kru (pilot dan awak kabin) punya jam terbang tertentu.
Jika pesawatnya sudah terlanjur disiapkan dan ternyata delay, juga berarti terjadi pemborosan avtur. Jika ada penumpang yang membatalkan penerbangan, berarti load factor pesawat berkurang dan ini berarti timbul biaya operasional.
Bagi penumpang, tentu saja kerugian waktu. Karena sebenarnya penumpang itu membeli tiket penerbangan adalah membeli tiket kedatangan. Penumpang sudah menjadwalkan sampai di tujuan jam berapa dan kemudian lanjut ke acara selanjutnya. Jika delay, berarti acara-acara selanjutnya bisa ikut delay juga.
ADVERTISEMENT
Bagaimana solusinya?
Kegiatan sosial politik masyarakat serta akses dari dan ke bandara tentu bukan ranah dari pengelola bandara. Semua itu ranah pemerintah pusat dan daerah untuk mengendalikannya. Kegiatan tersebut harusnya sudah bisa diantisipasi secara lebih baik sebelum sampai ke bandara oleh pihak-pihak terkait. Mengingat bandara adalah objek vital nasional yang sebenarnya di dalamnya tidak boleh dilakukan kegiatan sosial politik yang dapat mengganggu operasional bandara. Kalaupun sudah sampai ke bandara, pihak bandara seharusnya dapat mengalokasikan masyarakat tersebut ke satu area di mana untuk menghindari hazard keamanan serta meminimalkan kerugian operasional penerbangan dan kenyamanan penumpang.
Terkait sarana dan prasarana akses darat dan kereta memang bukan domain PT Angkasa Pura II sebagai pengelola bandara, domain pemerintah pusat dan daerah. Akses ke bandara idealnya tidak hanya satu, seharusnya ada beberapa tergantung ramainya operasional bandara. Untuk bandara Soekarno-Hatta, sekarang sedang dibangun lagi lagi jalan tol menuju bandara. Diharapkan jalan tol ini segera terwujud dan segera bisa difungsikan. Untuk lalu lintas dari belakang bandara, seyogyanya jalan Marsekal Suryadarma dan perimeter selatan dan utara dirapikan dan dilebarkan. Lalu lintasnya diatur lebih baik sehingga tidak terjadi kemacetan. Pintu M1, kalaupun tetap ditutup, harus disiapkan shuttle bus yang sewaktu-waktu volume dan frekuensinya bisa ditambah untuk antisipasi jika terjadi lonjakan penumpang.
ADVERTISEMENT
Akses kereta bandara juga harus lebih diperhatikan dan dikoordinasikan. Sebagai sarana transportasi yang bebas hambatan dan lebih aman, seharusnya jika ada peristiwa seperti tanggal 10 November tersebut, jangan justru dihentikan. Namun tetap harus dijalankan dengan protokol tertentu. Misalnya hanya dikhususkan buat penumpang pesawat yang sudah punya tiket serta kru bandara dan pesawat.
Untuk itu koordinasi antar stakeholder yang berkepentingan di bandara memang harus ditingkatkan lebih erat. Harus ada orkestrasi dengan konduktor yang baik, yang dalam hal ini dapat dilakukan oleh Kementerian Perhubungan sebagai regulator transportasi nasional.
Kita beruntung bahwa kejadian kemarin itu pada saat operasional penerbangan di bandara sedang turun akibat pandemi. Bisa dibayangkan jika terjadi pada saat operasional Bandara Soekarno-Hatta dalam kondisi normal, tentu akan sangat parah dampaknya baik nasional maupun internasional.
ADVERTISEMENT
Semoga tidak terjadi lagi kejadian serupa, baik di Bandara Soekarno-Hatta maupun bandara-bandara lain di Indonesia.
***
Gatot Raharjo
Analis independen bisnis penerbangan nasional