Konten dari Pengguna

Mencegah Stimulus Tarif Pesawat dari Pemerintah Salah Sasaran

26 Februari 2020 20:27 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gatot Raharjo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah saat ini sedang menyiapkan berbagai stimulus untuk meminimalisir dampak penyebaran Virus Corona COVID 19 di berbagai sektor. Termasuk di antaranya sektor penerbangan yang juga mempunyai dampak lanjutan di sektor pariwisata.
ADVERTISEMENT
Sesuai hasil Rapat Terbatas hari Selasa ( 25/2) di Jakarta yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo, seperti yang ada dalam siaran pers Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan siaran pers Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, insentif untuk wisatawan mancanegara, berupa alokasi dana sebesar Rp298,5 miliar. Terdiri dari Insentif Airlines dan Travel Agent, Insentif dalam skema Joint Promotion, kegiatan promosi pariwisata serta familiarization trip (famtrip) dan influencer.
Sedangkan stimulus untuk wisatawan domestik, berupa pemberian diskon 30 persen untuk kuota 25 persen kursi di setiap penerbangan ke 10 tujuan wisata.
Stimulus akan dimulai pada bulan Maret hingga Mei 2020 di 10 kota destinasi wisata yaitu Denpasar, Batam, Bintan, Manado, Yogyakarta, Labuan Bajo, Belitung, Lombok, Danau Toba dan Malang.
Pesawat-pesawat milik maskapai nasional sedang parkir di bandara.
Selain itu, juga akan ada tambahan diskon sebesar 15,8 persen Avtur dari Pertamina. Serta 5,64 persen diskon tarif penerbangan (PJP2u/PSC dan NAV) dari pengelola bandara (AP1 dan 2) serta Airnav.
ADVERTISEMENT
Jadi, nantinya penumpang akan menikmati diskon antara 40-50 persen dari tarif riil yang berlaku untuk 25 persen dari total kursi yang tersedia dari tiap penerbangan.
Waspada penyimpangan
Yang patut menjadi perhatian adalah penyebutan tarif riil penerbangan dalam rilis tersebut. Hal ini mengingat bahwa tarif yang berlaku di penerbangan domestik, yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 106 tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri, tidak mengenal tarif riil (satu harga) untuk satu rute penerbangan. Namun yang ada adalah tarif batas atas (tba) dan tarif batas bawah (tbb).
Tba adalah 100 persen untuk maskapai layanan penuh, 90 persen untuk layanan menengah dan 85 persen untuk maskapai tanpa layanan. Sedangkan tbb adalah sebesar 35 persen dari tba masing-masing maskapai sesuai jenis layanannya.
ADVERTISEMENT
Tba dan tbb diformulasikan dengan memperhatikan daya beli masyarakat dan kesehatan maskapai. Jika tiket dijual dengan tba, diasumsikan masyarakat masih kuat membeli. Sebaliknya jika dijual dengan tbb, maskapai tetap mendapatkan keuntungan.
Maskapai bisa menjual tarif penerbangan di antara tba dan tbb. Dalam kenyataannya, maskapai menjual tiket dengan tarif bervariasi disesuaikan situasi dan kondisi saat itu.
Misalnya anda sekeluarga akan terbang dari Jakarta ke Surabaya pada hari Minggu depan, anda beli tiket sejak hari Selasa, istri beli tiket pada Rabu, anak-anak anda beli tiket pada hari Kamis dan Jumat, maka harganya bisa jadi berbeda walaupun untuk penerbangan yang sama.
Dalam dunia marketing, tiket pesawat masuk dalam barang perishable atau tidak tahan lama. Tiket harus terjual beberapa saat sebelum penerbangan dilakukan. Tiket tidak dapat dijual lagi setelah itu.
ADVERTISEMENT
Jadi, maskapai pun pasti akan selalu mencari jalan agar tiket selalu terjual, minimal hasil penjualan bisa menutup ongkos produksi (BEP). Jika tidak, maka akan jadi kerugian bagi maskapai tersebut.
Jadi maskapai biasanya menjual tiket lebih murah saat masih jauh dengan jadwal penerbangan untuk menarik penumpang dan semakin mahal saat semakin dekat jadwal penerbangan. Namun bisa juga harga dibanting jika mendekati deadline jadwal terbang jika ternyata pendapatan belum memenuhi BEP. Tiket dijual murah agar bisa menutupi biaya.
Bagi maskapai berjadwal, jadwal penerbangan harus ditepati (dijalankan), karena kalau tidak akan kena sanksi dari regulator (pemerintah).
Terkait stimulus di atas, pemerintah tentu harus cermat mengawasi agar stimulus tepat pada tujuannya, mengingat yang dipakai adalah uang rakyat melalui APBN.
ADVERTISEMENT
Menurut Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Novie Riyanto, stimulus yang diberikan oleh pemerintah bertujuan untuk meningkatkan sektor pariwisata nasional dengan meningkatkan minat masyarakat untuk melakukan perjalanan wisata di Indonesia terutama ke wilayah destinasi prioritas.
Jadi tujuannya ke masyarakat melalui maskapai. Yaitu agar masyarakat mendapat tiket murah sehingga mau melakukan penerbangan wisata. Sedangkan maskapai juga tidak rugi dan tetap bisa mendapatkan pendapatan sesuai tba-tbb yang telah ditetapkan pemerintah.
Untuk itu pemerintah harusnya memberikan tarif acuan bagi maskapai dan kemudian mengawasi secara ketat untuk menerapkan stimulus tersebut. Jangan hanya menyebutkan tarif riil yang sebenarnya tidak ada, dan kemudian menyerahkan acuannya pada maskapai.
Jika tidak ada acuan dan pengawasan dari pemerintah, maka stimulus tersebut bisa jadi tidak tepat sasaran.
ADVERTISEMENT
Bisa saja maskapai memakai acuan tba dan kemudian menguranginya dengan stimulus 30 persen sehingga menjual tiket dengan tarif 70 persen. Padahal sesuai aturan di atas, tarif maskapai adalah tba 100 persen hingga tbb 65 persen (35 persen dibawah tba). Jadi jika dijual 70 persen (dari tba), maka itu berarti bukan diskon karena masih dalam koridor tarif tba-tbb yang ditetapkan pemerintah.
Jika ingin mencapai tujuan secara maksimal, tentunya yang harus jadi acuan adalah tbb, sehingga masyarakat benar-benar merasakan harga murah dan maskapai juga tidak dirugikan karena masih mendapatkan pemasukan sebesar tbb karena diskonnya sudah ditutup stimulus dari pemerintah.
Selain itu, tiket diskon ini juga harus ditawarkan pada kesempatan pertama. Dengan demikian tiketnya akan terserap sempurna oleh masyarakat. Jika tiket diskon ditawarkan diakhir mendekati jadwal penerbangan, bisa saja tiket tidak terserap sempurna atau cuma terserap sebagian.
ADVERTISEMENT
Memang pengawasan di lapangan menjadi tugas berat bagi pemerintah. Tidak mudah mengawasi pergerakan sales maskapai penerbangan yang dinamis. Namun itu tetap harus dilakukan karena kebijakan publik yang dilakukan saat ini menggunakan uang rakyat melalui APBN. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan yang membawahi operasional transportasi udara yang paling bertanggung jawab melaksanakannya.
Stimulus mendasar
Sebenarnya, jika berbicara terkait stimulus pemerintah terhadap sektor penerbangan dalam hal ini maskapai, yang sesungguhnya lebih diperlukan adalah stimulus seperti yang dijanjikan pemerintah melalui Menko Perekonomian pada Juni 2019 lalu.
Pada saat itu, Pemerintah menjanjikan insentif untuk menurunkan sewa pesawat, pembebasan biaya masuk sparepart dan biaya pemeliharaan serta perawatan pesawat.
Selain itu yang dibutuhkan maskapai domestik adalah harga jual avtur yang kompetitif di seluruh Indonesia. Hal ini mengingat bahan bakar menyumbang sekitar 40 persen biaya operasional maskapai. Jika harga avtur bisa ditekan, biaya juga akan lebih rendah sehingga bisa mengurangi harga jual tiket.
ADVERTISEMENT
Semua itu sebenarnya akan bisa berlangsung otomatis jika nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar AS diperkuat. Karena semua transaksi sewa pesawat, suku cadang dan avtur semuanya berdasarkan dollar AS.
Jika stimulus-stimulus mendasar ini bisa dipenuhi, pemerintah tidak perlu memberi stimulus diskon harga tiket yang terlalu besar pada saat ada bencana seperti Virus Corona ini, karena maskapai nasional sudah lebih kuat secara ekonomi.