Vaksin Indonesia, Kenapa Diangkut Singapura?

Konten dari Pengguna
3 Februari 2021 14:20 WIB
Tulisan dari Gatot Raharjo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang pekerja bekerja di fasilitas pengemasan pembuat vaksin Sinovac Biotech. Foto: Thomas Peter/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pekerja bekerja di fasilitas pengemasan pembuat vaksin Sinovac Biotech. Foto: Thomas Peter/REUTERS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Indonesia kembali mendatangkan vaksin COVID-19 buatan perusahaan farmasi asal China, Sinovac Life Sciences Co. Ltd pada Selasa, 2 Februari 2021. Vaksin sebanyak 11 juta dosis tersebut diangkut oleh maskapai penerbangan Singapore Airlines dengan rute Beijing–Singapura–Jakarta.
ADVERTISEMENT
Kedatangan vaksin tentunya adalah kabar baik. Namun sayangnya, kabar baik itu juga disertai sejumlah pertanyaan: kenapa justru vaksinnya diangkut oleh maskapai negara tetangga? Apakah tidak ada maskapai nasional yang sanggup, selain Garuda yang sudah beberapa kali dipakai mengangkut vaksin?
Singapore Airlines atau dikenal sebagai SQ, sesuai namanya, bukanlah maskapai dari China atau Indonesia sehingga tidak bisa melayani penerbangan reguler langsung dari China ke Indonesia PP. Pada saat pengangkutan vaksin ini, SQ menggunakan pesawat Airbus A350-941 dengan nomor penerbangan SQ 0801 dari Beijing, China ke Singapura. Kemudian dilanjutkan SQ956 dari Singapura ke Jakarta. Mengingat bahwa sampai saat ini Indonesia masih menutup pintu bagi warga asing (sesuai SE Satgas Penanganan Covid-19 no. 5/ 2021), kecuali dengan syarat-syarat tertentu, dapat dipastikan penerbangan SQ 956 tidak membawa banyak penumpang. Bahkan mungkin tidak ada penumpangnya sama sekali. Jadi penerbangannya reguler dengan rasa carter.
ADVERTISEMENT
Apakah maskapai Indonesia tidak ada yang sanggup membawa vaksin COVID-19 dari China ke Indonesia? Garuda sudah membuktikan sanggup. Maskapai swasta yang penulis hubungi juga menyatakan, “Lebih dari sanggup!” Namun, lanjutnya, sampai saat ini tidak ada permintaan atau koordinasi dari pemerintah terkait transportasi vaksin COVID-19 ini.
Padahal penerbangan dari China ke Indonesia dapat dilayani dengan pesawat Boeing B737-800 NG/ 900 ER, B777 atau Airbus A330 dan A320 yang banyak dimiliki oleh maskapai Indonesia.
Ada maskapai swasta seperti NAM Air yang telah membuktikan sanggup mengangkut vaksin untuk didistribusikan di daerah Kalimantan Barat dengan pesawat ATR 72-600.
Lalu, kenapa harus memakai maskapai asing? Apakah biayanya lebih murah? Biaya penerbangan sebenarnya tidak ada yang murah. Biaya penerbangan juga berbeda antar satu negara dengan negara lain. Ada banyak faktor yang mempengaruhi biaya penerbangan, yaitu internal dan eksternal. Internal adalah pengelolaan operasional maskapai, misalnya terkait armada pesawat, sumber daya manusia, konsep manajemen seperti layanan penuh atau low cost dan hal-hal operasional lain seperti kondisi traffic penerbangan, kondisi bandara, kondisi cuaca dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sedangkan faktor eksternal seperti persaingan usaha, pasar, regulasi, iklim sosial politik dan pertumbuhan ekonomi nasional. Termasuk di faktor eksternal itu adalah nilai tukar mata uang terhadap dolar AS. Karena hampir semua transaksi internasional maskapai berbasis dolar AS, seperti misalnya beli dan sewa pesawat, beli sparepart, biaya pemeliharaan dan lainnya. Sedangkan pemasukan maskapai lebih banyak dari mata uang dalam negerinya.
Membandingkan biaya yang dikeluarkan maskapai Singapura dan Indonesia dengan demikian tidak bisa apple to apple. Jika memakai ukuran Indonesia, justru penerbangan SQ dari China ke Indonesia itu bisa jadi mahal karena harus transit dan penumpang yang diangkut sedikit.
Penerbangan langsung dari Indonesia ke China langsung PP, menurut salah seorang direktur maskapai nasional kepada penulis, biayanya sekitar Rp 1,8 – 2 Miliar. Uang sebesar itu tentu sangat dibutuhkan oleh maskapai nasional dalam situasi yang sulit saat ini.
ADVERTISEMENT
Kalau ternyata SQ dapat menjual penerbangannya lebih murah dari maskapai Indonesia, selain hal-hal di atas, kemungkinan juga karena strategi bisnis dan akibat dukungan pemerintah Singapura kepada maskapai nasionalnya tersebut. Dan hal inilah yang perlu dicermati pemerintah Indonesia.
Pada saat pandemi COVID-19 ini, semua maskapai penerbangan global terkena dampak yang sangat parah, termasuk Singapore Airlines dan maskapai-maskapai Indonesia. SQ beruntung karena pemerintah Singapura beberapa kali berkomitmen membantu baik dari sisi keuangan maupun yang lain agar maskapainya mampu bertahan.
Sementara maskapai Indonesia tidak seberuntung itu. Selain kepada Garuda group yang merupakan maskapai BUMN, pemerintah, baik itu melalui Kementerian Perhubungan maupun kementerian lain, tidak terlihat memberikan komitmen bantuan kepada maskapai swasta nasional. Maskapai diminta berusaha sendiri dengan diperbolehkan mengangkut kargo di kabin. Pemerintah menganggarkan bantuan justru pada penumpang berupa penggratisan passenger service charge (PSC) di 13 bandara daerah tujuan wisata pada akhir tahun 2020 lalu. Di awal tahun 2021, PSC gratis itu tidak ada lagi.
ADVERTISEMENT
Pada awal pandemi di tahun 2020, pemerintah bahkan membatasi kapasitas pesawat menjadi 50 persen, meningkat 70, dan baru pada awal tahun 2021 ini mencabut pembatasan ini dengan alasan untuk menjaga jarak antar penumpang. Padahal, di penerbangan global, tidak ada pembatasan tersebut dan penerbangan tetap dinyatakan sehat karena adanya sirkulasi dalam pesawat yang sanggup menyaring virus hingga lebih 99 persen.
Jika pemerintah tidak dapat membantu secara langsung pada maskapai penerbangan nasional, setidaknya bisa membantu secara tidak langsung dengan cara yang lebih elegan. Contohnya adalah dengan mengerahkan maskapai nasional dalam pengambilan vaksin dan pendistribusiannya ke daerah-daerah, daripada memakai maskapai asing.
Masalah biaya, jika dianggap lebih mahal dari maskapai asing, sebaiknya dapat dikesampingkan dulu demi kepentingan yang lebih besar yaitu masa depan maskapai nasional. Kementerian Perhubungan sebagai pembina penerbangan nasional tentunya dapat melakukan koordinasi lebih dini dan lebih baik untuk transportasi vaksin ini, baik untuk pengambilan maupun distribusi ke seluruh penjuru tanah air.
ADVERTISEMENT
Kementerian Perhubungan juga dapat menjadi jembatan bagi maskapai nasional untuk meyakinkan kementerian atau stakeholder lain seperti Kementerian BUMN, Kementerian Kesehatan, Satgas Penanganan COVID dan lainnya tentang kesiapan maskapai penerbangan nasional.
Dengan demikian, maskapai dapat bantuan napas untuk bertahan pada masa pandemi yang masih sangat panjang, seperti lari marathon ini. Daripada uang dari pemerintah keluar diberikan pada maskapai asing, lebih baik diolah di dalam negeri.
Ingatlah bahwa sektor penerbangan sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Penerbangan adalah pendukung bagi sektor perekonomian, pariwisata, sosial budaya hingga pertahanan keamanan. Jika dibiarkan dan tidak diurus dengan baik, akan lebih banyak maskapai yang bertumbangan. Dan dampaknya akan sangat pahit bagi bangsa Indonesia.
-Gatot Raharjo-
Analis independen bisnis penerbangan nasional
ADVERTISEMENT