Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Malapraktik dalam Model Kerja Outsourcing
22 Juni 2023 18:24 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Gede Artha Sastra Kusuma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Praktik outsourcing merupakan kontinuitas perbudakan dalam kapitalisme modern. Hal ini dimaksudkan sebagai bentuk alegori terhadap banyaknya malapraktik yang terjadi dalam pelaksanaan model kerja outsourcing. Outsourcing adalah bentuk kerja sama yang mengalihkan sebagian pekerjaan kepada pihak ketiga (penyalur kerja) dalam rangka membagi beban dan efisiensi perusahaan induk (pemberi kerja).
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu, hubungan industrial dalam perjanjian kerja bukanlah antara perusahaan induk dengan pekerja secara langsung, melainkan perusahaan induk dengan perusahaan penyalur kerja, yang selanjutnya akan dieksekusi oleh pekerja dalam perusahaan penyalur kerja tersebut. Dengan demikian, perusahaan induk dapat berfokus pada core business dengan menyerahkan non-core business kepada pihak ketiga.
Meskipun dipandang sebagai model industrial yang menekankan efisiensi, berbagai studi mengenai pelaksanaan outsourcing menunjukkan berbagai tindakan malapraktik yang merugikan pekerja. Dengan berubahnya kerangka hubungan industrial dari yang biparti (pemberi kerja-pekerja) menjadi triparti (pemberi kerja-penyalur kerja-pekerja), maka kehadiran pihak ketiga juga mengubah alur pertanggungjawaban antara pemberi kerja dan pekerja.
Semula, pekerja bertanggung jawab secara langsung kepada pemberi kerja melalui kualitas dan kuantitas pekerjaan yang dilaksanakan, sedangkan pemberi kerja bertanggung jawab kepada pekerja dalam hal pengadaan jaminan kerja. Namun, kehadiran perusahaan outsourcing selaku penyalur kerja menempatkannya subordinat terhadap pemberi kerja, tetapi superordinat terhadap pekerja-nya.
ADVERTISEMENT
Dualitas posisi tersebut menjadikan perusahaan outsourcing dianggap sebagai pihak yang ‘cukup’ untuk pengadaan perjanjian kontrak dengan pemberi kerja, tetapi juga menempatkan pekerja ‘at his mercy’, karena pekerja tidak memiliki posisi apa pun untuk turut menempatkan kepentingannya dalam negosiasi. Hal tersebut menimbulkan gap antara pemberi kerja dan pekerja yang dapat dieksploitasi oleh perusahaan penyalur kerja terhadap pekerja-nya.
Bentuk eksploitasi yang marak terjadi antara lain: sangat lemahnya posisi relatif pekerja terhadap keputusan sepihak perusahaan outsourcing, pemotongan gaji oleh perusahaan, dan absennya serikat pekerja mengingat status keanggotaan pekerja yang tidak tetap. Ketiga kondisi tersebut menimbulkan berbagai permasalahan dalam praktik pelaksanaan outsourcing dengan tingkat keterlibatan pemberi kerja dan penyalur kerja yang variatif dalam upaya eksploitasi terhadap pekerja-nya.
ADVERTISEMENT
Salah satu permasalahan tersebut pun terjadi di dalam salah satu perguruan tinggi yang menyewa jasa non-core business dari perusahaan outsourcing. Berawal dari isu ketidaksesuaian gaji yang dicantumkan dalam kontrak dengan yang diterima, ternyata terdapat pemotongan gaji pekerja untuk BPJS di atas empat persen sebagaimana yang ditentukan. Setelah terjadi dinamika dalam isu ini, pemberi kerja dan penyalur kerja memberikan respons berupa perubahan regulasi dan pengubahan kontrak untuk menyesuaikan nominal gaji dan rinciannya.
Melalui investigasi lebih lanjut, hanya sedikit pihak yang mengetahui bahwa pemotongan gaji tersebut merupakan bentuk ketidaksesuaian praktik outsourcing dengan regulasi pemerintah. Kebanyakan pekerja menganggap pemotongan tersebut sebagai bentuk kerja sama yang sedemikian rupa dalam hubungan industrial antara perusahaan penyalur kerja dan pekerja.
ADVERTISEMENT
Pengangkatan isu tersebut pun segera mendapat perhatian dari pemberi kerja dan penyalur kerja. Pihak penyalur kerja sempat mengadakan sweeping terhadap pekerja yang diduga mengangkat isu tersebut untuk perihal penelitian. Di sisi lain, pihak pemberi kerja juga menyediakan data untuk memverifikasi kejadian tersebut. Sayangnya, terdapat kejanggalan dari data informan tersebut setelah dilakukan verifikasi terhadap nominal kontrak yang diterima oleh pekerja.
Selain itu, investigasi terhadap isu tersebut juga memperlihatkan malapraktik outsourcing lainnya, yang meliputi: pemberhentian pekerja secara sepihak, tidak terbentuknya serikat pekerja, dibatasinya akses informasi serta kebebasan berpendapat. Hal penting yang perlu disorot adalah dibatasinya akses informasi pekerja mengenai jajaran manajemen penyalur kerja di lingkungan pemberi kerja, tempatnya bekerja. Segala informasi yang perlu diketahui oleh pekerja hanya didapatkan melalui instruktur lapangan, secara implisit juga membatasi akses pekerja terhadap manajemen penyalur kerja, terlebih lagi akses pekerja terhadap orang-orang yang mewakili pemberi kerja.
ADVERTISEMENT
Kasus tersebut mengindikasikan bahwa permasalahan dasar mengenai kerangka hubungan industrial antara pemberi kerja-penyalur kerja-pekerja menyebabkan terjadinya gap besar antara pemberi kerja dan pekerja selaku dua pihak utama dalam hubungan industrial, yang ditandai dengan ketidaksesuaian informasi mengenai nominal gaji kotor dan pemotongannya dari pihak pemberi kerja. Gap tersebut kemudian dieksploitasi oleh perusahaan penyalur kerja dengan mencantumkan nominal gaji kotor yang tidak disertai rincian lengkap, memunculkan nominal yang berbeda dari kesepakatan antara pemberi kerja dengan penyalur kerja.
Absennya pekerja yang telah diwakilkan oleh perusahaan penyalur kerja dalam tahapan negosiasi juga menimbulkan ketidaktahuan rincian yang seharusnya didapatkannya. Terlebih dengan mekanisme sweeping untuk mencegah bocornya isu tersebut, perusahaan penyalur kerja menunjukkan kontrolnya terhadap pekerja sebagai upaya preventif sekaligus koersif terhadap tindakan yang dinilai mengancam reputasi baik perusahaan.
ADVERTISEMENT
Faktor lain yang menarik dari kasus ini adalah absennya peran negara dalam kewajibannya terhadap jaminan perlindungan hak-hak buruh. Dalam pemikirannya terhadap hubungan industrial, Burawoy (1982) menjelaskan konsep industrial state yang menekankan intervensi negara sebagai regulator dan pengawas dalam segala bentuk hubungan industrial antara pemberi kerja dan pekerja. Sebetulnya, negara dapat dianggap hadir dalam bentuk perguruan tinggi selaku pemberi kerja tersebut.
Namun, pihaknya baru memberikan respons terhadap isu pemotongan gaji setelah isu tersebut menjadi bahan penelitian. Selain itu, pemindahan kewenangan mengenai alokasi dana oleh pemberi kerja kepada penyalur kerja mengisyaratkan adanya kesepakatan mengenai mekanisme hubungan kerja antara pemberi kerja dengan penyalur kerja, tanpa melibatkan unsur pekerja kendati substansi yang dibahas lebih berdampak pada pekerja. Selain itu, absennya keberadaan serikat pekerja yang umum terjadi pada pekerja outsourcing membuat pengaruh perusahaan penyalur kerja tidak dapat dibatasi (unchecked).
ADVERTISEMENT
Melalui kerangka industrial state dari Burawoy, kasus tersebut memberikan gambaran mengenai elemen yang perlu hadir dalam hubungan industrial outsourcing, yakni: negara, serikat pekerja, dan keterlibatan unsur pekerja. Negara, melalui instansinya, perlu hadir sebagai regulator dan pengawas yang memfasilitasi keberadaan serikat pekerja dan keterlibatan pekerja.
Serikat pekerja, sebagai organisasi penekan, berfungsi untuk menjadi checker dan evaluator terhadap segala kebijakan antara pemberi kerja dan penyalur kerja serta mengawasi jalannya pelaksanaan outsourcing untuk memastikan terpenuhinya hak-hak pekerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan menerima laporan pelanggaran dari pekerja. Negara dan serikat pekerja menjadi basis bagi keterlibatan pekerja yang aktif dalam tahapan negosiasi sehingga menghasilkan kesepakatan kerja yang menjadi win-win solution bagi setiap pihak yang terlibat.
ADVERTISEMENT