Konten dari Pengguna

Pendidikan Yang Tidak Memerdekakan

I Gede Sutrawan
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Mataram
2 Juni 2024 0:47 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Gede Sutrawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Depan Universitas Gadjah Mada (Dok.Pribadi/I Gede Sutrawan)
zoom-in-whitePerbesar
Depan Universitas Gadjah Mada (Dok.Pribadi/I Gede Sutrawan)
ADVERTISEMENT
Pendidikan adalah suatu elemen penting dalam membangun suatu peradaban bangsa. Hal tersebut juga sudah jelas ditegaskan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu ikut serta dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
ADVERTISEMENT
Namun beberapa terakhir ini, dunia pendidikan tinggi kembali menuai polemik. Kali ini terkait banyaknya calon mahasiswa yang ingin mengundurkan diri karena tidak mampu membayar uang Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Pemenuhan hak-hak pendidikan mahasiswa menjadi isu krusial. Di satu sisi, biaya pendidikan tinggi atau UKT setiap tahunya mengalami kenaikan. Sementara, kondisi ekonomi masyarakat yang menurun pasca Pandemi Covid-19 membuat para orangtua mengalami kesulitan membayar biaya anaknya. Akibat hal tersebut, mahalnya UKT menjadi beban bagi mahasiswa yang rentan secara ekonomi. Persoalan UKT dan hak pendidikan mahasiswa adalah isu yang selalu muncul. Jika tidak dibenahi akar persoalanya, UKT yang melebihi beban mahasiswa akan memjadi peristiwa buruk dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.
Terbaru, naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri telah memicu gelombang protes dari banyak mahasiswa di berbagai daerah. Bahkan, ada yang sampai mengalami kenaikan UKT hingga mencapai 500 persen. Kenaikan UKT ini tidak terlepas dari penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nomor 2 Tahun 2024 Tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada PTN di lingkungan Kemendikbudristek.
ADVERTISEMENT
Sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) buka suara terkait Keputusan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Pertama, Universitas Indonesia menyatakan akan mengikuti panduan dari Dirjen Diktiristek tersebut. kedua, Universitas Gadjah Mada menyatakan akan membatalkan kenaikan UKT untuk calon mahasiswa baru tahun akademik 2024/2025. Ketiga, Universitas Negeri malang menyatakan akan tunduk dengan Keputusan dari Kemendikbudristek. Dan Keempat, Institut Teknologi Bandung menyatakan masih mempelajari Keputusan Kemendikbudristek tersebut.
Namun demikian, kenaikan biaya operasional pendidikan memang tidak dapat dihindari. Ketika solusinya adalah dengan menaikan biaya pendidikan akan mendapatkan sorotan publik. Hal tersebut wajar karena biaya kuliah yang semakin mahal memberatkan mahasiswa atau keluarganya terutama yang berasal dari kelompok ekonomi menegah ke bawah. Pendidikan tinggi juga semakin sulit dijangkau masyarakat, apalagi alokasi beasiswa untuk program Kartu Indonesia Pintar tahun 2022, misalnya, per tahun hanya 200.000 mahasiswa atau sekitar 6 persen mahasiswa dari kelompok kelas bawah (Kompas, 2024).
ADVERTISEMENT
Respon Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi
Polemik kenaikan UKT juga direspon oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Penidikan Tinggi, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tjitjik Sri Tjahjandarie menyebut biaya kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaran pendidikan dapat memenuhi standar mutu. Selain itu, ia juga menyampikan bahwa pendidikan tinggi adalah tertiary education, artinya tidak seluruh lulusan SMA, atau SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Melainkan sifatnya pilihan.
Namun pernyataan tersebut menuai banyak kontroversi di kalangan masyarakat. Pandangan tersebut cenderung tidak berbasis pada fakta di masyarakat. Padahal kenyataannya bagi masyarakat Indonesia, pendidikan tinggi adalah kunci untuk masa depan yang lebih baik. Realitasnya biaya pendidikan tinggi negeri yang melambung telah menghambat banyak keluarga di Indonesia untuk menapatkan pendidikan yang layak. Tentunya pandangan tersebut tidak didukung oleh analisis data dan hanya akan memperparah ketidakpuasaan publik.
ADVERTISEMENT
Pandangan tersebut menisyaratkan bahwa pendidikan hanya berlaku bagi masyarakat kelas atas. Namun sebagian masyarakat kelas atas, yang sudah terlahir dari keluarga dengan ekonomi baik akan menganggap pendidikan sebagai sesuatu yang tidak wajib. Tetapi hal tersebut bertolak belakang dengan masyarakat dari kelas menengah bawah. Masyarakat kelas menengah bawah menganggap bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari kemiskinan, kesengsaraan dan lainnya.
Maka daripada itu, akses ke pendidikan tinggi adalah hak yang harus dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya bagi mereka yang mampu membayar biaya mahal. Kedepannya pemerintah perlu menunjukan komitmen nyata untuk memastikan pendidikan tinggi tidak lagi menjadi beban berat bagi masyarakat. Program beasiswa, dan subsidi biaya pendidikan yang adil harus menjadi prioritas utama.
ADVERTISEMENT