Konten dari Pengguna

Kembalikan Fitrah Mudik

I Gede Alfian Septamiarsa
Pranata Humas Ahli Muda - Sub Koordinator Komunikasi Pimpinan Biro Administrasi Pimpinan Setdaprov Jatim
28 Maret 2025 11:27 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Gede Alfian Septamiarsa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto koleksi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto koleksi pribadi
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Saya tidak menyebut namanya. Tapi ini nyata. Seseorang mengaku tidak bisa mudik, karena kendala biaya. Tabungan yang dikumpulkannya belum cukup untuk biaya pulang ke kampung halaman. Seseorang tersebut lebih memprioritaskan biaya pendidikan sang anak yang harus dibayarkan kisaran Juni atau Juli mendatang.
Cerita inilah yang membuat terharu. Siapa pun pasti rindu kampung halaman. Suasana Lebaran di kampung kelahiran akan berbeda dengan di kota. Sejenak, mereka merelakan tak merasakan Lebaran di kampung hanya untuk mementingkan pendidikan sang anak.
Beda lagi dengan seseorang juga pernah dengar ceritanya. Orang ini punya tabungan. Cukup untuk pulang kampung. Bahkan lebih. Namun, rencana pulang kampung dibatalkan hanya karena belum memiliki mobil.
ADVERTISEMENT
Bisa dikatakan bahwa fenomena mudik yang seperti ini harus dilakukan dengan kondisi serba mewah dan baru, sehingga jika tidak ada yang di bawah mudik, pemudik mengurungkan niat.
Mudik Lebaran (foto ilustrasi : Freepix)
Satu alasan yang membuat geregetan adalah, dia tidak memiliki sesuatu untuk dipamerkan ketika berkumpul dengan sanak saudara di kampung halaman. Mudik telah berubah menjadi ajang menunjukkan simbol status sosial dan ekonomi. Tampaknya demam flexing sedang melanda. Merelakan tak berkumpul dengan keluarga hanya karena malu tak punya mobil.
Sontak membuat pertanyaan dalam hati, apakah prinsip hedonisme sering tersirat pada mereka yang hendak pulang kampung. Fenomena yang tabu untuk dibahas, tapi ini sebuah fakta yang ada di depan mata.
Saya yakin, prosentase pemudik yang pulang kampung karena rindu lebih besar daripada mereka yang hedonisme. Tapi, meski sedikit, hedonisme tetap menjadi ancaman. Kita tidak tahu lagi, bisa jadi lima tahun ke depan, orang akan mudik hanya untuk menunjukkan materi di depan sanak saudara. Karena prinsip flexing sudah menjamur di ekosistem perkotaan. Semoga saja tidak seperti itu !!!.
ADVERTISEMENT
Istilah "mudik lebaran" baru mulai populer pada tahun 1970-an, ketika Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia menjadi magnet bagi penduduk desa yang beramai-ramai merantau untuk mencari pekerjaan atau kehidupan yang lebih baik.
Kemudian setelah beberapa tahun tinggal, para perantau atau pendatang itu merindukan kampung halamannya. Sehingga dari kondisi tersebut, muncul fenomena pulang ke kampung halaman berbodong-bondong dari para pekerja di Jakarta yang dikenal sebagai “mudik lebaran”.
Sejatinya mudik lebaran itu menjadi tradisi yang menggerakkan berbagai hal untuk dapat berkumpul, bersatu, dan bersilaturahmi. Dimana semuanya dapat saling berkomunikasi. Yang sebelumnya menjauh, saat mudik lebaran bisa didekatkan dan berkomunikasi kembali.
ADVERTISEMENT
Komunikasi dengan keluarga pun dapat berjalan dengan baik ketika mudik lebaran berlangsung. Untuk itu budaya flexing atau hedonisme sebaiknya dihindari agar mudik lebaran sesuai dengan maknanya.
Mari kita menghargai mempertahankan tradisi yang masih relevan dan mengembangkannya dalam konteks modernitas.
Penulis : I Gede Alfian Septamiarsa, S.Sos, M.I.Kom
Jabatan : Pranata Humas Ahli Muda Biro Administrasi Pimpinan Setda Prov. Jatim