Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Sarwo Becik
17 Februari 2025 15:00 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Athoillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kami tiba di vila pukul setengah dua siang dan hal pertama yang saya lakukan, alih-alih melepas jaket atau rebahan di kamar, adalah membuka laptop dan menyambungkan jaringan wifi. Bukan karena ada berkas penting yang harus segera saya bereskan. Urusan pekerjaan dapat ditunda nanti-nanti. Hal maha penting yang harus segera saya lakukan, bahkan dengan menenggang tekanan kandung kemih yang sudah membuncah sejak keluar dari terminal Arjosari, adalah membuka aplikasi whatssapweb dan mengabari istri bahwa saya sudah sampai dengan selamat dan tidak kurang suatu apa di tempat tujuan. Itu penting. Sangat penting. Kalian akan tahu alasannya setelah menikah. Terutama jika kalian cukup beruntung mendapat perempuan seperti istri saya.
ADVERTISEMENT
Jaringan wifi tersedia tapi saya tidak dapat menemukan passwordnya. Saya sudah mencari berkeliling tapi hasilnya nihil. Ia tidak terlihat di meja ruang tamu, pada kotak penyimpanan kartu nama. Ia tidak juga terlihat di samping televisi, pada dinding di mana tata tertib dan pengumuman-pengumuman penting ditempelkan. Saya menelusuri lagi tempat-tempat itu beberapa kali dengan lebih teliti. Siapa tahu saya telah melewatkannya. Sebab, rasanya tidak mungkin pengusaha vila menyediakan jaringan wifi di tempatnya dan membiarkan penyewa menebak sendiri paswordnya.

Saya baru mendapatkan password itu beberapa waktu kemudian, setelah Abah Yai datang dan melihat kesulitan yang saya alami. Beliau menempati vila sebelah bersama keluarga dan santri-santri putri. Infomasi soal password wifi itu rupanya dapat dengan mudah ditemukan di sana. Segera saya ketik di laptop: sarwobecik, dengan huruf kecil semua. Eureka! Leptop saya tersambung. Pesan dengan cepat terkirim dan saya akhirnya dapat melakukan hal-hal penting lainnya. Saya harus bergegas ke kamar mandi.
ADVERTISEMENT
Perkara mengirim pesan itu seharusnya bisa menjadi sangat mudah seandainya saya tidak dengan sengaja meninggalkan ponsel di rumah. Anda tahu, hari ini, jika ada orang dewasa bepergian tanpa membawa ponselnya kemungkinannya ada dua: pertama dia bukan orang yang cukup penting sehingga tidak perlu selalu standby menerima panggilan dari kolega; kedua dia tidak punya cukup uang untuk membelikan ponsel bagi seluruh anggota keluarganya. Saya masuk katagori yang pertama dan juga yang kedua.
Saya datang ke vila ini bersama santri-santri Pondok Pesantren Nurussaqqaf, Suci, Manyar, Gresik, dalam rangka menjalankan agenda rekreasi tipis-tipis dan sekaligus tadabbur alam, merenung-renungkan keindahan ciptaan Allah Swt. Abah Yai (Kiai Muhammad Hasyim), sang pengampu pondok, mengutus saya menjadi pemateri sekaligus pendamping perjalanan bagi santri-santri putri. Hari itu semua peserta berangkat naik kendaraan umum menuju Lokasi acara. Dan untuk menghindari pertemuan antara santri putra dan santri putri di terminal atau semacamnya, mereka dibagi menjadi beberapa gelombang keberangkatan. Gagasan untuk naik kendaraan umum itu menurut saya bagus sekali. Selain untuk efisiensi anggaran -dari budget yang memang pas-pasan -juga untuk melatih kemandirian para santri.
Saya dan Mas Diki diutus menyertai santri putri. Namun, sepanjang perjalanan agaknya fungsi pendamping itu telah gagal saya jalankan. Sebab, dari sekian yang ada dalam rombongan, justru sayalah orang yang paling butuh didampingi. Hari itu adalah kali pertama saya naik kendaraan umum lagi setelah sekian tahun. Hari itu juga kali pertama saya naik Transjatim. Momen itu mengingatkan saya pada kejadian tahun 2008 ketika saya pertama kali naik Transjakarta, dalam rangkaian perjalanan paling nekat dari Babat menuju Banten nebeng truk. Terminal Bungurasih sudah jauh berbeda dari apa yang tergambar dalam ingatan saya. Dan jika saya ditinggalkan sendirian di sana kecil kemungkinannya saya bisa pulang tanpa bantuan.
ADVERTISEMENT
Begitu sampai di vila, Abah Yai membebaskan para santri untuk bermain hingga pukul 16:30. Mereka semuanya, tanpa terkecuali, langsung menceburkan diri di kolam renang. Santri putri berenang di kolam satunya. Letaknya bersisihan, tapi ada dinding pemisah setinggi dua meter di antara kedua kolam itu. Dan dalam kegiatan berenang itu, balkon vila sengaja dikunci. Sehingga baik santri putra atau santri putri tidak dapat saling melihat.
Ketika mereka semua bersenang-senang di kolam renang saya menyeduh kopi dan rebahan di ruang televisi sambil melihat Netvlik. Sebenarnya saya membawa celana pendek untuk berenang. Tapi hingga pulang celana itu tetap terlipat rapi di dalam ransel. Dalam usia saya saat ini saya merasa cukup senang hanya dengan melihat anak-anak itu bersenang-senang. Masa-masa ke-e-Mas-an saya sudah lama berlalu. Buktinya, sekarang setiap kali pergi ke konter atau swalayan orang-orang memanggil saya “Pak”.
ADVERTISEMENT
Sesekali saya keluar, duduk di kursi teras, nyebat, sembari melihat puncak gunung yang dinaungi awan-awan. Sore itu suasananya teduh dan sejuk. Seperti habis hujan. Seperti di Jepang. Tentu saya belum pernah ke sana. Tapi begitulah selamanya gambar Jepang dalam benak saya. Entahlah, mungkin saya terpengaruh novel Kawabata. Saya teringat anak-anak saya di rumah. Kapan-kapan saya harus mengajak mereka ke tempat seperti ini -tentu setelah saya dapat membelikan ponsel untuk masing-masing mereka.
Materi saya dimulai pukul 16.30. Itu bukan materi yang penting. Hanya sekedar pelengkap kegiatan. Saya menyampaikan materi tentang pentingnya membuat personal narrative. Harapannya, setelah liburan ini masing-masing dari mereka akan dapat membuat catatan yang mengesankan tentang pengalaman mereka selama berlibur. Beberapa santri terlihat antusias mengikuti materi. Buktinya, banyak juga yang mengajukan pertanyaan. Sayangnya, saya sedang tidak dalam kondisi terbaik yang dapat saya bayangkan dalam menyampaikan materi. Kondisi semacam itu pernah saya alami di beberapa tempat. Hanya sekali atau dua kali. Selebihnya, saya lebih banyak merasa kecewa setelah memberikan materi.
Setelah materi santri-santri melaksanakan jama’ah shalat maghrib dan isya’ dalam jama’ taqdim, lalu bersama-sama membaca ratibul haddad. Kemudian mereka melantunkan shalawat nabi. Saya sudah kehabisan tenaga pada saat itu, sehingga tidak bisa membersamai mereka menyelesaikan kegiatan. Saya turun dan rebahan saja di kamar. Hingga Abah Yai turun dan mengajak saya berbincang di teras.
ADVERTISEMENT
Saya cukup lama mengenal Abah Yai. Sejak di pondok dulu beliau sudah dikenal sebagai santri yang memiliki visi yang jauh ke depan. Dan dengan segala upayanya beliau mampu mewujudkan visi tersebut. Hari ini sebagaian dari visi itu sudah dapat terlihat. Beliau memiliki rencana dan harapan yang besar bagi santri-santrinya. Beliau menceritakan bagaimana upayanya dalam mengantarkan seorang santri hingga dapat berangkat ke Mesir.
Beliau pamit untuk istirahat pada pukul sebelas malam. Santri-santri putra masih pesta barbeque di taman. Aroma daging bakar merebak hingga ke teras depan. Mereka mungkin tidak akan tidur malam ini. Sayang, jauh-jauh ke vila hanya untuk pindah tidur.
Hal yang cukup menarik dari liburan ini saya temukan justru ketika mengingat kembali password wifi yang diberikan oleh Abah Yai: sarwo becik. Dua kata dalam Bahasa Jawa yang berarti senantiasa dalam kebaikan. Sebelum berangkat Abah Yai membariskan semua peserta dan memberi wejangan agar selama liburan mereka menjaga etika, etiket dan memegang teguh syariat Islam. Apapun yang terjadi. Dan wejangan itu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan pulang, di dalam Transjatim, salah seorang santri putri tidak kebagian tempat duduk. Saya memintanya untuk duduk di kursi saya. Sebab, perjalanan Bungurasih-Bunder cukup jauh. Namun dia menolak. Betapapun keras saya membujuk bocah perempuan itu kukuh menolak, dan akhirnya malah memilih duduk berdesakan bersama dua temannya. Betapa kolotnya, begitu saya pikir saat itu. Namun kemudian saya sadari, itu bukan sikap kolot. Bocah itu punya prinsip dan dia menjaganya dengan teguh.
Begitulah liburan ini dimulai dan kemudian diakhiri, semuanya dalam suasana dan dengan mempertahankan hal-hal yang baik.