Konten dari Pengguna

Social Media Fatigue: Ketika Gen Z Lelah Bersosial Media

Gemma Athaya Putri
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga yang memiliki antusiasme dan ketertarikan dalam menambah wawasan mengenai isu-isu sosial, utamanya isu terkait pendidikan dan kesehatan
14 April 2023 20:30 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gemma Athaya Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bermain sosial media. Foto: photobyphotoboy/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bermain sosial media. Foto: photobyphotoboy/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Apakah kita hanyalah konsumen dari media sosial? Apabila dilihat, kita bukan hanya konsumen dari konten-konten yang disajikan dalam media sosial, tetapi kita juga partisipan dalam membuat konten-konten tersebut. Baik konten yang dibuat sedemikian rupa agar ia sesuai dengan algoritma media sosial tertentu atau konten pribadi yang disebarkan sebagai bagian dari manifesto kehidupan seseorang, aliran konten satu dan lainnya terus bermunculan.
ADVERTISEMENT
Belum lagi dengan model algoritmanya yang akan mengkurasi konten yang ditampilkan dalam beranda kita, sehingga kemungkinan kita untuk tetap menggulir dan tetap menggunakan media sosial tersebut bertambah. Tanpa disadari, sudah selang waktu dua jam sejak pertama kali menggunakan membuka media sosial tersebut.
Sesungguhnya apa yang diberikan media sosial kepada penggunanya? Menurut opini Boyd (2014) dalam artikelnya yang membahas tentang keterhubungan media sosial dan pengaruhnya terhadap kehidupan sosial remaja mengatakan bahwa media sosial memberikan penggunannya persistence, visibility, spreadability, dan searchability.
Pada awalnya hal-hal tersebut memberikan dampak positif bagi penggunanya, seperti yang dirasakan ketika menggunakan media sosial pertama kalinya, ia memberi penggunannya lingkungan yang memberi kemudahan dalam bersosialisasi, berbagi informasi, serta kemudahan berinovasi dan berjejaring terutama dalam dunia kerja. Kehadiran media sosial memberikan keterbukaan dalam berjejaring dan berbagi informasi, namun dibalik keterbukaan tersebut terdapat harga yang perlu dibayar.
ADVERTISEMENT
Ilusi privasi di dunia yang sangat terbuka dan terkoneksi membuat pengguna media sosial merasakan social media fatigue atau kelelahan bermedia sosial. Tidak ada yang sepenuhnya tersembunyi di dunia virtual. Ketika kita meletakkan sesuatu di internet, selamanya ia akan menjadi jejak digital kita.
Selain itu, dalam bermedia sosial keterbukaan dalam mengekspresikan diri membuka kemungkinan bagi penggunanya untuk membentuk kesan tersendiri atas persona yang ingin dicapai dalam kehidupannya, sehingga muncul keinginan untuk menciptakan suatu kepribadian tertentu melalui kurasi konten yang disajikan oleh algoritma media sosial tersebut.
Namun, hal ini berimbas pada kenyataan bahwa media sosial tidak sepenuhnya nyata dan apa yang kita lihat untuk membantu meningkatkan kepercayaan diri serta persepsi diri justru menjadi bumerang dan memunculkan kecemasan dan insekuritas akibat rasa “ketidakberhasilan” yang dialami ketika seseorang merasa tidak sesuai dengan definisi-definisi tertentu yang ada di media sosial.
ADVERTISEMENT
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hongjun Yang dan Shengtai Zang (2022), terkait hubungan antara social media fatigue serta akibatnya terhadap privasi, persepsi diri, dan harga diri menunjukkan bahwa lingkungan media sosial merupakan predikator stress ketika menggunakan teknologi. Lingkungan media sosial mendukung penggunanya untuk membagikan informasi pribadi ketika berinteraksi dengan pengguna lain.
Selain itu lingkungan media sosial yang kompleks ini mendorong penggunanya untuk mempresentasikan dirinya sedemikian rupa agar sesuai dengan beragamnya audiens dalam media sosial. Hal ini kemudian menyebabkan pengguna media sosial berusaha untuk melakukan self-censorship terhadap informasi atau data yang diterima ataupun diberikan kepada audiens, self-censorship ini kemudian menyebabkan rasa kecemasan dan lelah yang berlebihan ketika pengguna menggunakan media sosial.
ADVERTISEMENT
Kelelahan menggunakan media sosial ini sangat dirasakan oleh generasi muda saat ini. Berdasarkan demografi penelitian yang dilakukan Yang dan Zang di atas, demografi utama dari penelitian mereka berada pada rentang umur 19-25 tahun dengan persentase 73,2%. Rentang umur tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna media sosial adalah generasi milenial dan generasi Z.
Kedua generasi ini mengalami sebagian besar hidupnya bersama dengan pesatnya kemajuan teknologi, internet, dan tentu saja, media sosial. Keberadaan media sosial dalam kehidupan kedua generasi tersebut menyebabkan gaya hidup yang sangat terkoneksi dengan berbagai komunitas serta kehidupan yang dibayang-bayangi rasa takut tertinggal pesatnya informasi yang ada di dunia media sosial.
Interkonektivitas terus-menerus yang dialami kedua generasi tersebut menjadi sangat melelahkan hingga akhirnya muncul keinginan untuk memiliki kehidupan yang tidak melulu bergantung pada media sosial. Semua ingin kembali ke waktu di mana internet belum menjadi bagian besar dari kehidupan generasi tersebut. Munculah cetusan untuk melakukan detoks sosial media, yaitu mengurangi penggunaan media sosial dengan benar-benar lepas dari penggunaannya.
ADVERTISEMENT
Detoks sosial media digadang-gadang menjadi upaya mengurangi ketergantungan pengguna media sosial serta meningkatkan rasa awareness terhadap lingkungan kita yang umumnya luput dari perhatian ketika sedang larut dalam media sosial. Umpamanya seperti seorang pengguna narkoba yang mengikuti program rehabilitasi, detoks sosial media mengubah pola pikir kita untuk lebih terbuka terhadap kehidupan yang sedang kita alami.
Kenyataannya, media sosial tetap menjadi bagian besar dari kehidupan kita dan untuk melawannya perlu lebih dari sekadar detoks media sosial. Meskipun keinginan-keinginan untuk tinggal tanpa media sosial, perlu diakui bahwa kehadirannya telah memberi banyak kemudahan bagi kita untuk berinteraksi tanpa terbatas ruang dan waktu. Memang, media sosial mengubah kita menjadi makhluk hipersosial yang terus-menerus terpapar dengan berbagai macam konten dari berbagai belahan dunia, sehingga wajar bagi kita untuk merasa kewalahan menghadapi banjir informasi.
ADVERTISEMENT
Tapi, apakah mungkin jika hidup kita tidak berdampingan dengan keberadaan media sosial?