Konten dari Pengguna

Perjuangan Panjang: Sembuhkan Luka di Hati Anak

Gendis Putri
Mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara Angkatan 2024 Jurusan Jurnalistik
2 Desember 2024 15:57 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gendis Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perundungan yang menyebabkan trauma pada seorang anak (Sumber: https://pixabay.com/photos/bullying-woman-face-stress-shame-3096216/)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perundungan yang menyebabkan trauma pada seorang anak (Sumber: https://pixabay.com/photos/bullying-woman-face-stress-shame-3096216/)
ADVERTISEMENT
Senja Mendung Menemani Perjalananku Menjemput Anak
Jarum jam menunjuk angka 12, lalu perlahan bergeser ke angka 1. Sinar matahari yang biasanya menyilaukan, hari ini terasa redup, seakan malu-malu mengintip dari balik awan kelabu. Angin sepoi-sepoi membawa serta aroma tanah basah dan daun-daun layu.
ADVERTISEMENT
Bunyi 'tuk' dari suara lembut logam bertemu logam saat pintu mobil terkatup. Aku menginjak pedal gas, perlahan meninggalkan rumah. Rintik hujan mulai menyapa, menari-nari di atas kaca mobil. Aku menggeser wiper, mencoba menerawang lebih jelas ke depan. Jalanan yang biasanya ramai, kini terasa lengang. Lampu jalanan menyala redup, seolah turut bersedih. Sesekali, suara gemuruh samar terdengar dari kejauhan.
Satu jam sebelumnya, suara dering telepon membuyarkan aktivitasku. Layar menyala, menampilkan nama kepala sekolah anakku. Aku meraih ponsel yang tergeletak di meja.
“Assalamualaikum, Bu. Ada apa, ya?”
“Waalaikumsalam, Bu. Tadi kakak main hujan-hujanan. Tolong dijemput sekarang.”
Luka Batin Lebih Dalam dari Lebam di Leher
Sepuluh menit, waktu yang cukup untuk menikmati perjalanan siang menuju sekolah. Mobil melaju perlahan, meninggalkan jejak di jalanan yang mulai ramai. Aku memarkir kendaraan di tempat biasa, sebuah posisi di depan sekolah.
ADVERTISEMENT
Sambil menunggu, mataku menyusuri setiap sudut. Dua sosok anak kecil mulai terlihat dari kejauhan, semakin jelas seiring langkah mereka mendekat. Akhirnya, tiba mereka di samping mobil, tangan kecil meraih gagang pintu mobil untuk masuk.
Mereka duduk di kursi tepat di belakangku. Wajah anak perempuanku terlihat bahagia akhirnya pulang, tetapi beda halnya dengan anak laki-lakiku. Wajah dia terlihat murung dan matanya terlihat sembab.
Tiba-tiba anak perempuanku celetuk, "Ma, tadi kakak nangis. Aku lihat kakak dicekik, juga."
Aku yang mendengar itu tersentak kaget. Aku menengok ke belakang untuk melihat ke arah anak laki-lakiku. Terlihat samar-samar lebam merah di lehernya.
"Kakak dicekik sama siapa?!" kataku dengan nada panik dan marah. Seketika dia menangis kencang. Aku sadar, ada sesuatu yang tidak beres. Aku langsung turun dari mobil untuk pergi ke kantor kepala sekolah untuk mempertanyakan hal ini.
ADVERTISEMENT
Sesampainya aku di sana, aku malah diberi jawaban yang tidak memuaskan. Kepala sekolahnya hanya berkata bahwa kakak main hujan-hujanan dan dia tidak mengetahui alasan di balik bekas lebam di leher kakak.
Hatiku hancur berkeping-keping, amarah dan kesedihan bercampur aduk dalam dada. Ini bukan sekadar masalah kecil, melainkan luka mendalam yang sulit disembuhkan untuk kakak.
Siapa yang Melindungi Anak Kita di Sekolah?
Kehidupan rumah kami berubah sejak kejadian itu. Kakak yang biasanya ceria kini menjadi pendiam.
Aku baru mengetahui kronologinya saat berhasil membujuk kakak untuk bercerita. Saat itu, kakak sedang menggunting kuku bersama gurunya di taman sekolah. Namun, suasana berubah drastis saat seorang satpam, yang selama ini dianggap kakak sebagai teman dekat, tiba-tiba menghampiri dengan wajah merah padam. Karena merasa akrab, kakak tak sengaja melontarkan candaan kecil. Tak disangka, candaan itu justru memancing kemarahan satpam itu. Seketika satpam itu mengamuk dan menyeretnya masuk ke dalam sekolah dengan mengapit leher kakak. Kakak yang masih kecil tentu saja ketakutan dan memberontak. Sayangnya, tidak ada yang membela dan menolongnya saat itu.
ADVERTISEMENT
Sekolah yang seharusnya menjadi tempat penuh keceriaan, kini menjadi bayang-bayang menakutkan bagi kakak.
Setiap kali kami melewati sebuah sekolah, wajahnya langsung pucat pasi. Pandangannya menunduk, seakan berusaha menghindar dari ingatan buruk. Bahkan, sekadar melihat seragam sekolah saja sudah cukup membuatnya gemetar ketakutan. Trauma yang dialaminya begitu dalam, hingga menyelimuti setiap sudut kehidupannya.
Hatiku tercabik antara amarah dan kekhawatiran. Sekuat tenaga, aku ingin membela kakak. Jalur hukum sempat terlintas di benakku, tetapi kata-kata suamiku membuatku tersadar. Dia benar, perkara ini bisa saja semakin memperburuk trauma yang sudah mendarah daging di hati kakak. Bersama suamiku, kami sepakat untuk memberikan dukungan terbaik bagi kakak, salah satunya dengan membawanya ke psikolog.
Dari Bayang-bayang Masa Lalu Menuju Masa Depan Cerah
ADVERTISEMENT
Dua tahun sudah berlalu, waktu yang panjang bagi kakak untuk berjuang melawan trauma masa lalunya. Setiap minggunya, ia dengan setia mengunjungi psikolog di Bintaro. Perjalanan panjang menuju kesembuhan ini tidak mudah, tetapi kakak tidak pernah menyerah. Kami sekeluarga selalu mendukungnya dan berharap suatu saat nanti, kakak bisa benar-benar bebas dari bayang-bayang masa lalu.
Enam bulan setelahnya, kakak memiliki keinginan untuk kembali belajar. Kami memilih homeschooling agar ia bisa belajar dengan santai dan nyaman tanpa harus khawatir dengan lingkungan sekolah yang dulu membuatnya trauma.
Di lingkungan yang baru dan penuh kasih sayang, kakak perlahan mulai membuka diri. Ikatan yang terjalin dengan guru dan teman-temannya semakin erat.
Waktu berlalu begitu cepat hingga kakak telah menginjak bangku SMA.
ADVERTISEMENT
Keputusan untuk bersekolah di sekolah swasta dekat rumah adalah langkah yang tepat. Di sana, ia bisa bersekolah bersama adik-adiknya, menciptakan kembali kehangatan keluarga dalam suasana belajar yang menyenangkan. Luka masa lalu perlahan memudar, digantikan oleh semangat baru untuk meraih masa depan yang cerah.
Sekarang, kakak telah sepenuhnya bangkit dari keterpurukan. Kehadiran teman-teman yang baik di sampingnya menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaan. Keberhasilannya diterima di universitas impiannya di daerah Jawa Tengah menjadi bukti bahwa ia telah melampaui masa-masa sulit. Kehidupan barunya di kampus akan menjadi awal dari babak baru yang penuh harapan.