Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.92.0
Konten dari Pengguna
Sejarah Islamic Center Jakarta, Berdiri di Bekas Lokalisasi Terbesar
20 Oktober 2022 13:23 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Generasi Milenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebakaran terjadi di Jakarta Islamic Center pada Rabu (19/10) pukul 15.23 WIB. Dilaporkan Kasudin Gulkarmat Jakarta Utara, Rahmat Kristanto, objek yang terbakar adalah kubah masjid.
ADVERTISEMENT
Mengutip kumparanNEWS, Kepala Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) DKI Jakarta, Satriadi Gunawan menyebut api sukses dijinakkan tim Damkar dengan 21 unit mobil kebakaran dibantu 80 personel seluruh dinas Damkar di DKI.
Hingga kini, belum diketahui penyebab pasti dari kebakaran tersebut. Dugaan awal, kebakaran diakibatkan proyek pengelasan bagian kubah Jakarta Islamic Centre (JIC).
Sejarah Islamic Center
Menyusul pemberitaan soal kebakaran, tak sedikit yang penasaran dengan sejarah Islamic Center. Mengutip dari situs resmi Islamic Center, Jakarta Islamic Center merupakan area yang mencakup masjid sekaligus pusat pengkajian dan pengembangan Islam di Ibu Kota.
Dibangun di atas lahan 10 hektare, JIC terkenal dengan arsitektur indahnya. Area yang berada di Kramat Jaya Raya, Tugu Utara, Koja, Jakarta Utara tersebut kerap dikatakan sebagai mahakarya perubahan struktur sosial.
ADVERTISEMENT
Bagaimana tidak, sebelum mulai dibangun pada 2001, tepatnya era Gubernur Sutiyoso, kawasan Kramat Tunggak, Tanjung Priok, Jakarta Utara itu identik sebagai tempat lokalisasi terbesar di Asia Tenggara.
Dulunya Lokalisasi
Lokalisasi Kramat Tunggak aslinya adalah Panti Sosial Karya Wanita (PKSW) Teratai Harapan Kramat Tunggak. Awalnya, pada 1970-an, panti sosial itu dibuka untuk jadi wadah para perempuan eks prostitusi mengasah keterampilan dan keluar dari dunia malam.
Namun, kenyataan tak sesuai harapan. Perkumpulan para eks prostitusi justru jadi kesempatan bagi mucikari untuk menggeluti kembali profesi lama mereka. Alhasil, dari yang tadinya panti sosial, berubah jadi Lokalisasi Kramat Tunggak.
Peristiwa tersebut melahirkan keputusan kontroversial dari eks Gubernur Jakarta Ali Sadikin. Agar tidak tersebar, Kramat Tunggak resmi ditetapkan sebagai lokalisasi melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta No. Ca.7/I/13/1970 per 27 April 1970 tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi/Relokasi Wanita Tuna Susila.
ADVERTISEMENT
Dari yang awalnya 300 orang pada 1970-an, hingga sebelum ditutup pada 1999, jumlah pekerja seks meningkat hingga lebih dari 5 kali lipat yakni 1.615 orang. Mucikarinya pun meningkat, dari 76 hingga 258.
Semuanya tinggal di 277 unit bangunan dengan total 3.546 kamar di atas lahan seluas 109.435 meter pesegi, terdiri dari sembilan Rukun Tetangga (RT).
Ulama dan Warga Desak Pemerintah Tutup Lokalisasi
Tumbuh dan berkembangnya lokalisasi secara pesat jelas meresahkan masyarakat dan lingkungan sekitarnya ketika itu. Puncaknya, ulama dan masyarakat mendesak pemerintah menutup lokalisasi.
Penelitian oleh Dinas Sosial dan Universitas Indonesia pun dilakukan menyusul gejolak penolakan masyarakat terhadap lokalisasi. Hasilnya, pada 1997, mereka menyarankan untuk agar lokalisasi ditutup.
Keluar kemudian SK Gubernur KDKI Jakarta No. 495/1998 tentang penutupan panti sosial tersebut, selambat-lambatnya akhir Desember 1999. Nah, 31 Desember 1999, Lokalisasi Kramat Tunggak pun resmi ditutup melalui SK Gubernur KDKI Jakarta No. 6485/1998.
ADVERTISEMENT
Pembangunan Masjid dan Terciptanya Islamic Center
Setelah melakukan pembebasan lahan, Gubernur H. Sutiyoso menggagas ide membangun Islamic Centre. Sebuah Forum Curah Gagasan pada 2001, mengundang seluruh elemen masyarakat, dilangsungkan untuk mengetahui sejauh mana dukungan terhadap ide itu.
Dukungan semakin kuat pada 24 Mei 2001. Gagasan membangun Jakarta Islamic Centre (JIC) pun mendapat respons positif dari Azyumardi Azra, Rektor UIN Syarif Hidayatullah saat itu.
Pembangunan Masjid Raya Jakarta Islamic Centre pun mulai berjalan, menghabiskan biaya Rp700 miliar, termasuk untuk gedung sosial budaya dan rangkaian bangunan wisma atau penginapan kantor bisnis.
Semakin gencar rencana Islamic Center pada 2002, mulai dari konsultasi dengan masyarakat, ulama, praktisi, hingga akhirnya dijadikan master plan. Studi Komparasi ke Islamic Centre di Mesir, Iran, Inggris, dan Perancis pun dilakukan.
ADVERTISEMENT
Masih di tahun yang sama, dilakukan perumusan Organisasi dan Manajemen JIC. Pada tahun itu juga, Masjid Raya Jakarta Islamic Centre selesai dan dipakai pertama kali untuk salat Jumat berjemaah.
Pada 2003, keluarlah SK Gubernur KDKI No. 99/2003 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre).
Menyusul pelantikan Badan Pengelola Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta pada April 2004 melalui SK Gubernur KDKI Jakarta No. 651/2004. Hingga kini, JIC masih berdiri dengan harapan menjadi pusat peradaban Islam di Indonesia dan Asia Tenggara. (bob)