Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Di Samping Budaya Patriarki: Realitas Toxic Masculinity
17 Oktober 2024 18:11 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Genie Izdihar Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pernahkan Anda menyadari mengenai stigma dan pertanyaan dalam kehidupan sehari-hari; “Loe cowok, tapi kok cengeng?” atau “Harusnya yang memimpin, tuh, cowok”? Berdasarkan stigma dan pertanyaan tersebut, apa tanggapan yang muncul dalam benak Anda? Apakah Anda menyadari adanya ketimpangan hak antara pria dan wanita?
ADVERTISEMENT
Stigma tersebut merupakan salah satu contoh budaya patriarki yang telah lama menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Menurut KBBI, patriarki merupakan perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu. Budaya patriarki biasanya mengacu pada stigma mengenai pria yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan dominan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari politik hingga keluarga.
Secara tidak langsung, patriarki mendorong aturan yang mengharuskan pria menahan emosi mereka dan menunjukkan kekuatan fisik atau mental sebagai tanda kekuasaan. Kekuatan dan dominasi dianggap sebagai ciri khas maskulinitas. Pria diberikan pola asuh oleh lingkungan terdekat, yaitu keluarga, bahwa untuk dianggap sebagai "pria sejati” harus menunjukkan kekuasaan dan menahan emosi seperti kesedihan atau ketakutan. Pola ini membentuk konsep toxic masculinity, di mana merupakan tekanan budaya bagi pria untuk berperilaku agresif, kurang empati, dan menjadi dominan untuk mendapatkan pengakuan dan membuktikan maskulinitas mereka.
ADVERTISEMENT
Kekerasan dalam rumah tangga sering kali merupakan akibat dari toxic masculinity yang didorong oleh patriarki. Dalam hal ini, wanita dan anak-anak sering menjadi korban karena mereka dianggap sebagai pihak yang lebih lemah, dan pria yang terjebak dalam ekspektasi patriarki dan pola pikir toxic masculinity ini menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mempertahankan dominasi. Sistem patriarki memperkuat gagasan bahwa pria harus memegang kendali dalam hubungan, yang pada akhirnya memicu berbagai bentuk kekerasan dan penindasan.
Tidak hanya berdampak pada masyarakat, toxic masculinity juga merugikan pria secara pribadi, terutama dalam hal kesehatan mental bahwa pria harus selalu tampak kuat dan tidak boleh menunjukkan kelemahan. Tekanan ini membuat banyak pria terjebak dalam pola perilaku di mana mereka menekan emosi mereka, yang akhirnya memicu gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan bahkan meningkatkan risiko bunuh diri. Tekanan untuk "menjadi kuat" dan "tidak lemah" ini merupakan bentuk penindasan yang secara langsung dihasilkan oleh sistem patriarki.
ADVERTISEMENT
Untuk mematahkan pola ini, kita perlu mengawali dari akarnya—patriarki. Salah satu cara yang efektif adalah melalui pendidikan yang mengedepankan kecerdasan emosional dan pemahaman tentang gender. Dengan mengajarkan anak laki-laki sejak dini bahwa menunjukkan emosi adalah hal yang sehat dan bahwa maskulinitas tidak harus diukur dari kekuasaan atau kekuatan fisik, kita dapat membentuk generasi pria yang lebih terbuka dan empatik. Masyarakat harus memberikan ruang bagi pria untuk mengekspresikan perasaan mereka tanpa takut dihakimi atau dianggap "kurang laki-laki." Ini bisa dicapai melalui kampanye kesadaran gender untuk melahirkan kembali makna dari maskulinitas yang sehat dan terbuka.
Media dan industri hiburan juga berperan besar dalam membentuk persepsi tentang maskulinitas. Patriarki selama ini memperkuat stereotip maskulin melalui anggapan bahwa pria adalah sosok yang kuat, agresif, dan tidak emosional. Media perlu menampilkan dan memberi pengaruh terhadap agar pria tidak takut dalam menunjukkan empati dan emosi.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, mengatasi toxic masculinity dan patriarki membutuhkan perubahan besar yang melibatkan semua pihak. Pria dan wanita harus bersama-sama menantang norma-norma patriarki yang membatasi kebebasan emosional dan menciptakan ketidaksetaraan gender. Dengan pemberian ruang bagi pria untuk menjadi diri mereka tanpa tekanan dari aturan-aturan yang merugikan, kita dapat membangun lingkungan masyarakat yang lebih terbuka, sehat, dan setara bagi semua orang.
Referensi: