Konten dari Pengguna

Korupsi dan Lemahnya Sistem Integritas Nasional

Gennta Rahmad Putra
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Andalas
7 Oktober 2023 21:52 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gennta Rahmad Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Korupsi. Foto: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Persoalan mengenai korupsi seakan tidak ada habisnya di republik ini. Tidak berlebihan jika korupsi juga termasuk ke dalam budaya di Indonesia. Sepanjang sejarah mulai dari sebelum berdirinya Republik sampai kepada era pasca reformasi korupsi masih marak terjadi.
ADVERTISEMENT
Seperti yang terjadi pada masa Orde Baru, korupsi sudah menjadi suatu kebiasaan para elite politik dan koloni Soeharto untuk memperkaya diri sendiri. Orde Baru sangat identik dengan praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN).
Praktik KKN yang marak terjadi pada Orde Baru tersebut juga menjadi permasalahan serius yang ditandai dengan berakhirnya rezim itu pada Mei 1998. Berbagai catatan dan tuntutan yang harus segera dilakukan selama transisi demokrasi membawa semangat baru. Reformasi politik yang terjadi di Indonesia tampaknya membawa gairah tersendiri untuk melakukan redemokratisasi.
Berbagai perubahan peraturan, revisi Undang-Undang dan amandemen UUD 1945 dilakukan untuk memperbaiki sengkarut pada masa transisi ke demokrasi tersebut. Hal yang paling menggembirakan adalah berdirinya lembaga independen negara yang khusus menangani permasalahan korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2002.
ADVERTISEMENT
Lewat pendirian lembaga tersebut lewat UU Nomor 30 Tahun 2002, membawa harapan yang besar untuk menangani persoalan korupsi di Indonesia. Namun, lebih dari dua dekade pasca reformasi politik tampaknya permasalahan korupsi sepertinya tidak ada habisnya. Walaupun telah berdiri lembaga khusus seperti KPK yang sering melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), pelaku korupsi seperti tidak ada jeranya.
Jika dibandingkan dengan Orde Baru, pelaku tindak pidana korupsi pada era pasca reformasi lebih marak lagi. Aktor yang terlibat dalam KKN pada masa Orde Baru lebih kepada mereka yang menjadi kelompok koloni Soeharto. Sedangkan pada masa reformasi yang telah diberlakukan otonomi daerah dan desentralisasi politik, permasalahan korupsi juga ikut terdesentralisasi.
Artinya bahwa persoalan korupsi bukan hanya di level nasional saja, melainkan juga marak dilakukan oleh aktor atau pejabat yang ada di daerah. Lihat saja buktinya ada berapa banyak bupati yang menjadi tersangka korupsi pada tahun 2023 ini.
ADVERTISEMENT
Belum lama ini di level nasional juga terjadi kasus korupsi yang melibatkan menteri Presiden Jokowi. Total saat ini sudah enam menteri Jokowi yang terjerat kasus korupsi. Terakhir dugaan kasus korupsi oleh Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang juga menambah catatan buruk tindak pidana korupsi di Indonesia.
Para Menteri yang seharusnya melaksanakan tugas sesuai dengan bidang dan tupoksinya malah terjerumus ke tindakan yang merugikan negara dan rakyat Indonesia. Lantas, apa yang sesungguhnya terjadi di Indonesia saat ini? Mengapa kasus korupsi begitu marak dan hampir melibatkan seluruh sektor?
Pertama, dilihat dari kasus yang terjadi mulai dari kasus korupsi yang melibatkan pejabat lokal di daerah sampai kepada menteri di kabinet, hal ini tidak terlepas dari biaya politik yang tinggi. Contohnya saja pilkada yang sebentar lagi dilakukan pada November 2024. Pelaksanaan pilkada merupakan hal yang paling marak terjadi adalah money politics (politik uang).
ADVERTISEMENT
Politik uang berhubungan dengan ongkos politik yang tinggi untuk memenangkan kursi kekuasaan di daerah. Sehingga dengan ongkos yang tinggi tersebut, para pejabat di daerah melakukan korupsi sebagai bentuk pengembalian modal biaya kampanyenya.
Kedua, masih adanya celah yang lemah dan hal ini memberikan kesempatan bagi pejabat publik untuk melakukan tindak pidana korupsi. Seperti sistem kebijakan transparansi yang belum optimal dan adanya kesempatan untuk melakukan penyelewengan dana dari proyek yang sedang dilakukan.
Ketiga, hal yang paling mendasar adalah sifat kerakusan yang ada pada diri manusia. Hilangnya moral dan rasa malu di kalangan pejabat publik yang melakukan tindak pidana korupsi. Sifat merasa belum cukup merangsang mereka untuk terus memperkaya diri dengan berbagai cara, termasuk dengan melakukan korupsi.
ADVERTISEMENT
Keempat, efek jera untuk terpidana kasus korupsi yang masih belum memberikan ketakutan. Vonis ringan yang sering dijatuhkan hakim untuk terpidana korupsi. Seperti data yang dikeluarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2021.
Total ada 1.282 perkara dan 1.404 terdakwa korupsi yang ditangani KPK dan kejaksaan, rata-rata hukuman bagi para koruptor tersebut sebanyak 3 tahun 5 bulan penjara. hal inilah yang menjadi pokok persoalan utama mengapa pejabat publik tidak jera dalam melakukan tindak pidana korupsi.
Lantas, apa yang harus dilakukan supaya tindak pidana korupsi dapat di atasi dengan maksimal? Korupsi terjadi erat kaitannya dengan integritas diri. Integritas lahir dari komitmen pada diri sendiri untuk melakukan suatu tindakan dengan baik, jujur dan bertanggung jawab. Individu yang tidak memiliki integritas yang baik rentan melakukan tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
Pejabat publik yang melakukan korupsi sudah menjadi barang pasti bahwa integritas dalam dirinya tidak ada. Berkaitan dengan integritas diri, tidak cukup hanya dilakukan dari dalam diri sendiri saja. Melainkan diperlukan komitmen bersama yang mempengaruhi seluruh lingkungan untuk menjadikan integritas sebagai sistem hidup bersama. Untuk itu kita mengenal istilah Sistem Integritas Nasional (SIN).
Sistem Integritas Nasional (SIN) merupakan komitmen seluruh pihak dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam mengintegrasikan integritas sebagai sebuah sistem. Kerja sama dan saling menjaga keutuhan dan kepentingan negara supaya terlepas dari tindak pidana korupsi. SIN melibatkan seluruh elemen negara tanpa terkecuali. SIN memiliki tiga bagian yaitu pondasi, pilar/tiang penyangga dan atap.
Pondasi mengacu kepada sistem politik, ekonomi, dan sosial budaya. Pilar/tiang penyangga terdiri dari banyak elemen yang melibatkan seluruh lembaga negara, organisasi-organisasi, dunia bisnis, masyarakat dan sebagainya. Sedangkan atap adalah hasil akhir atau output yang dicapai berupa integritas nasional tersebut.
ADVERTISEMENT
Jika melihat dari ketiga bagian SIN di atas maka timbullah pertanyaan, sudah seberapa jauh dan kuat SIN tersebut dapat mengatasi persoalan korupsi yang sistemik di Indonesia saat ini? Hal yang menjadi cukup miris adalah pilar atau tiang penyangga dari SIN tersebut. Bagaimana mau membuat semacam komitmen yang kuat terhadap SIN, jikalau aktor-aktor yang terlibat kasus tindak pidana korupsi melibatkan berbagai sektor?
Lihat saja berapa banyak anggota DPR yang menjadi tersangka korupsi, para menteri di kabinet yang juga terlibat korupsi, dalam dunia hukum seperti hakim dan jaksa pun juga tidak luput dari tindak pidana korupsi. Persoalan ini menjadi permasalahan serius yang pada akhirnya menghasilkan kelemahan pada SIN itu.
Kasus korupsi berjemaah, seperti kasus korupsi Menteri Kominfo Jhonny G. Plate yang melibatkan banyak sektor menjadi bukti dari lemahnya SIN. Mengapa tidak? Pilar-pilar dari SIN yang seharusnya menjaga komitmen dan menjadi kunci utama untuk menghasilkan SIN yang kuat dan berkualitas justru yang menjadi biang kerok dari sengkarutnya permasalahan korupsi di Indonesia saat ini.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, dengan melihat kepada kasus korupsi yang terjadi saat ini sudah saatnya untuk mengevaluasi SIN secara menyeluruh. Diperlukan komitmen bersama seluruh pihak, khususnya lembaga tinggi negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dalam menegakkan SIN yang kuat dan berkualitas.
SIN sangat membutuhkan komitmen yang kuat dan tegas dari semua pilar yang ada untuk menjaga kualitas dan daya tahan. Sehingga hal yang tidak kita inginkan seperti saat ini yang terjadi adalah SIN masih lemah dan itulah yang mengakibatkan tindak pidana korupsi masih marak terjadi di Indonesia.