Konten dari Pengguna

Pemilu 2024, Demokrasi untuk Rakyat atau Elite?

Gennta Rahmad Putra
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Andalas
9 Oktober 2023 21:14 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gennta Rahmad Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Partai Peserta Pemilu Foto: Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Partai Peserta Pemilu Foto: Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun 2024 menjadi pesta demokrasi terbesar dalam sejarah Indonesia. Dalam tahun yang sama pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) diselenggarakan.
ADVERTISEMENT
Rabu, 14 Februari 2024, pemilu serentak antara pemilihan presiden dan wakil presiden serta pemilihan anggota legislatif. Dilanjutkan dengan pilkada di pengujung tahun 2024. Sungguh 2024 menjadi tahun bagi pesta demokrasi terbesar yang ada di Indonesia.
Berbagai persiapan telah dilakukan KPU sebagai penyelenggaraan pemilu. Partai politik dan elite politik pun juga sibuk melakukan safari politik guna membangun koalisi dan mencari bakal calon (cawapres).
Ada tiga nama yang selalu mencuat ke hadapan publik yang telah dideklarasikan sebagai bakal calon presiden (bacapres), yaitu Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo.
Dari ketiga nama tersebut, baru Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang telah mendeklarasikan diri sebagai pasangan bakal calon capres-cawapres dari Koalisi Perubahan.
ADVERTISEMENT
Dilihat dari semua pembicaraan publik dan pemberitaan nasional sampai daerah, tidak terlepas dari dinamika politik menjelang pemilu 2024. Sehingga tidak berlebihan jika pemilu 2024 lebih menonjolkan kepentingan elite yang akan berkontestasi.
Partai politik disibukkan dengan lobi politik untuk membangun koalisi. Para bakal capres juga disibukkan dengan safari politik guna mencari dukungan dan menambah elektabilitas menjelang pemilu.
Pemberitaan juga tidak terlepas dari fenomena janji-janji politik para bakal capres kepada publik mulai dari yang masuk akal sampai yang absurd untuk dilakukan sekalipun.
Ilustrasi Alat Peraga Kampanye (APK) di Banda Aceh. Foto: Zuhri Noviandi/kumparan
Temperatur politik menjadi panas ketika pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar mendeklarasikan diri sebagai bakal capres-cawapres. Manuver politik yang dilakukan oleh Muhaimin Iskandar dan partainya PKB sangat mengejutkan publik.
ADVERTISEMENT
Ditambah lagi dengan respons partai Demokrat yang keluar dari Koalisi Perubahan. Hal ini disebabkan kekecewaan partai Demokrat kepada Anies Baswedan yang tidak memilih Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres pendampingnya.
Fenomena ini seakan memberikan semacam realita politik yang cukup mengecewakan. Manuver politik yang dilakukan oleh elite dan partai politik lebih menonjolkan nuansa kepentingan dan kekuasaan.
Elite dan partainya dengan mudah berpindah koalisi hanya karena kepentingannya untuk mendapatkan kursi jabatan. Hal inilah yang tercermin ketika Muhaimin Iskandar memutuskan menjadi cawapres pendamping Anies Baswedan.
AHY dan partai Demokrat juga demikian. Kepentingan dan ambisi politiknya untuk dapat menjadi cawapres Anies Baswedan tidak terpenuhi, maka langsung memutuskan untuk berpindah koalisi.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi manuver politik sah-sah saja dalam politik, karena hal tersebut yang membuat politik terasa cair dan dinamis. Akan tetapi, di sisi lain manuver politik yang dilakukan oleh elite dan partai politik lebih menonjolkan ketidakdewasaan dalam demokrasi.
Seharusnya elite dan partai politik menjaga komitmen awalnya dan juga menjaga konstituen mereka. Namun, hal ini sangat jauh dari yang seharusnya dilakukan.
Pemilu 2024 merupakan pesta demokrasi bagi seluruh rakyat. Seluruh rakyat yang sudah memiliki hak pilih bebas mengekspresikan dirinya untuk melakukan pemilihan atas hak pilihnya sendiri. Untuk itu pemilu harus menjadi demokrasi yang diperuntukkan kepada rakyat.
Ilustrasi mencoblos saat pemilu. Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin
Pemilu harus menjadi ajang refleksi atau perenungan bersama atas semua pencapaian selama ini. Bagi elite dan penguasa, apakah selama periode sebelumnya sudah berhasil memenuhi janji dan tugas atau sebaliknya?
ADVERTISEMENT
Begitu juga bagi rakyat sebagai pemilih, apakah hasil dari pilihan kemaren sudah dapat memenuhi semua kepentingan dan aspirasi selama ini? Jika tidak, apa hal selanjutnya yang bisa diharapkan dalam pemilu 2024 nanti.
Seperti itulah seharusnya dalam menyikapi setiap pemilu yang akan diadakan. Perenungan yang dilakukan baik dari elite atau penguasa dan juga rakyat sebagai pemilih harus sadar akan posisi, fungsi dan hak. sehingga pemilu nanti jauh dari kesan demokrasi hanya untuk elite bukan untuk rakyat.
Pemilu bukan hanya ajang berkontestasi dan bersaing dalam memperebutkan hati pemilih saja. Pemilu harus lebih dari itu, karena hasil dari pemilu nanti akan menentukan nasib bangsa Indonesia ke depannya.
Cara pandang kita terhadap pemilu bukan hanya persoalan tingkat partisipasi atau secara garis besar demokrasi prosedural saja. Melainkan, pemilu harus menjadi terselenggaranya nilai-nilai demokrasi subtantif dengan baik: menjamin hak kebebasan individu, kebebasan menyuarakan pendapat, terbebas dari intervensi politik dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Sehingga pemilu nanti di samping tingkat partisipasi yang meningkat, kualitas dari hasil pemilu juga harus meningkat. Jangan sampai hasil dari pemilu nanti di luar ekspektasi seluruh rakyat Indonesia.
Maka dari itu, kerja sama seluruh pihak untuk memastikan pemilu memang sesuai dengan semboyannya yakini langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luberjurdil). Mulai dari KPU sebagai penyelenggara, elite dan partai politik sebagai peserta pemilu dan rakyat sebagai pemilih harus sadar akan fungsi, tugas dan haknya.
Ilustrasi Partai KPU Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Hal yang perlu ditekankan di sini adalah kepada elite dan partai politik. Elite dan partai politik jangan hanya menjadikan pemilu sebagai sarana untuk mempertahankan kekuasaan dan merebut kekuasaan saja.
Elite dan partai politik harus sadar akan tugas dan fungsinya. Mencatat semua janji dan komitmen politik kepada pemilih jika terpilih nanti. Memastikan semua janji dan komitmen tersebut harus direalisasikan dengan baik selama lima tahun ke depan. sehingga dengan itu pemilu jauh dari anggapan demokrasi untuk elite saja.
ADVERTISEMENT
Sebagai solusi untuk memastikan pemilu 2024 nanti sebagai demokrasi untuk rakyat, ada sebuah istilah yang dinamakan dengan demokrasi deliberatif (Habermas dalam F Budi Hardiman, 2009).
Demokrasi deliberatif berbicara mengenai komunikasi intersubjektif yang melibatkan seluruh pihak untuk mencapai sebuah konsensus. Mengaktifkan ruang publik sebagai sarana untuk menyampaikan pendapat dan kepentingan guna mencapai sebuah kata sepakat (konsensus). Melakukan musyawarah mufakat dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan.
Komunikasi intersubjektif ini melibatkan seluruh pihak, bukan hanya elite dan partai politik sebagai penguasa saja, tetapi publik secara keseluruhan harus dilibatkan. Mengingat kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan sudah seharusnya kedaulatan rakyat harus diutamakan.
Aspek deliberatif ini sangat baik jika dilakukan oleh elite dan partai politik untuk melibatkan rakyat dalam membangun janji dan komitmen politik saat masa kampanye mendatang.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi antara elite, partai politik, dan rakyat sebagai pemilih dapat memberikan sebuah keputusan akhir yang sangat baik. Apalagi kalau elite dan partai politik tersebut berhasil mendapatkan kursi kekuasaan nantinya.
Maka rakyat sebagai pemilih (konstituennya) sudah mendapatkan komitmen sebelumnya yang dirumuskan secara bersama-sama. Hanya dengan itulah demokrasi akan bertumbuh dan kedaulatan rakyat memang betul-betul ditegakkan.