Konten dari Pengguna

Politik Hukum dan Demokrasi Menjelang Pemilu 2024

Gennta Rahmad Putra
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Andalas
16 Oktober 2023 21:00 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gennta Rahmad Putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
DPR RI gelar Rapat Paripurna Khusus dan Rapat Paripurna ke-4 Masa Sidang I Tahun 2023-2024, Selasa (29/8/2023). Foto: Zamachsyari/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
DPR RI gelar Rapat Paripurna Khusus dan Rapat Paripurna ke-4 Masa Sidang I Tahun 2023-2024, Selasa (29/8/2023). Foto: Zamachsyari/kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilihan umum (pemilu) 2024 tak terasa sudah semakin dekat. Tinggal beberapa hari lagi tepatnya tanggal 19 Oktober nanti pendaftaran calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) sudah mulai dilakukan.
ADVERTISEMENT
Situasi politik tanah air akhir-akhir ini semakin panas. Mulai dari tindak pidana korupsi yang menjerat (eks) Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limp dan cawe-cawe politik Presiden Joko Widodo yang semakin membingungkan.
Terakhir, isu mengenai gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batasan umur capres-cawapres. Dampak dari isu-isu politik akhir-akhir ini menjadi bagian dalam politik hukum dan demokrasi di Indonesia.
Fenomena korupsi yang menjerat eks menteri pertanian Syahrul Yasin Limpo yang ditangani dengan sangat cepat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa pihak menghubungkannya dengan politik. Apalagi KPK juga mengendus adanya aliran dana dari Syahrul Yasin Limpo ke Partai Nasdem.
Terlepas dari semua itu yang namanya tindak pidana korupsi tetaplah suatu kriminalitas yang merugikan negara. Hanya saja momentum korupsi ini berbarengan dengan kondisi politik Indonesia yang tengah mempersiapkan diri untuk pemilu 2024.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya isu politik mengenai dukungan presiden Joko Widodo pada pemilu 2024 nanti mengarah kepada siapa. Pastinya presiden Jokowi belum menjelaskan dan menyebutkan siapa calon yang akan ia dukung pada pemilu 2024.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku Dewan Pembina Projo memberi sambutan pada Rakernas Projo ke-VI di Indonesia Arena, GBK, Jakarta, Sabtu (14/10/2023). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Akan tetapi, beberapa waktu lalu dukungan dari sukarelawan Jokowi bagi Prabowo semakin bertambah. Kali ini datang dari Projo yang diketuai oleh Budi Arie Setiadi yang mendeklarasikan diri di halaman rumah Prabowo.
Di samping itu juga, terdapat isu Projo terbelah. Hal ini ditandai dengan ada juga kelompok Projo yang mendukung Ganjar pada pemilu 2024. Terlepas dari dinamika dan dualisme Projo di atas, implikasi sebenarnya ada pernyataan Presiden Jokowi mengenai cawe-cawe dalam politik.
Presiden Jokowi mengatakan bahwa cawe-cawe dalam politik untuk kepentingan bangsa dan negara. Di satu sisi, keputusan Presiden Jokowi untuk cawe-cawe dalam politik menjelang pemilu 2024 kalau betul untuk kepentingan bangsa dan negara adalah hal yang sangat baik: mengawal dan memastikan proses pemilu 2024 berjalan dengan baik dan egaliter.
ADVERTISEMENT
Namun, di sisi lain yang tampak ke hadapan publik hari ini cawe-cawe kelihatan ambigu untuk dimengerti. Penyebabnya adalah lebih banyak isu politik hari ini yang mengarah kepada dukungan presiden terhadap salah satu calon presiden untuk pemilu 2024.
Tentunya hal ini menjadi perhatian juga oleh beberapa pihak mengenai dukungan presiden, salah satunya Projo yang menyatakan dukungan terhadap Prabowo. Dari fenomena itu sebenarnya maksud cawe-cawe dalam politik tersebut kental bernuansa politik praktis ketimbang untuk kepentingan bangsa dan negara.
Akhir-akhir ini presiden Jokowi beserta keluarganya cukup disorot oleh banyak pihak. Pertama, sejak bergabunganya putra bungsu presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan dengan waktu yang sangat cepat. Kaesang di angkat sebagai ketua umum PSI.
Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep saat berkunjung ke Kantor Persatuan Gereja Indonesia (PGI), di Jakarta, Selasa (3/10/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Sesudah itu, putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang juga sebagai Wali Kota Solo ini kerap diisukan menjadi cawapres pendamping Prabowo pada pemilu 2024 nanti. Narasai-narasi mengenai dinasti politik Jokowi menggema ke hadapan publik. apalagi yang menjadi isu hangat adalah penantian putusan MK mengenai gugatan ambang batas usia capres dan cawapres.
ADVERTISEMENT
Isu seputar MK tidak lepas dari keputusan saja. Keberadaan Ketua MK Anwar Usman sebagai adik ipar presiden Jokowi ini juga menjadi pokok permasalahan oleh sejumlah pihak. Faktor kekeluargaan ini nantinya ditakutkan akan bias terhadap hasil keputusan MK.
Tepat hari ini, keputusan MK mengenai batas usia capres dan cawapres mengabulkan permohonan uji materi UU Pemilu yang dimohonkan oleh Almas Tsaqibbirru. MK memutuskan menambah frasa baru dalam pasal 169 huruf q di UU 17 tahun 2017 tentang Pemilu.
Sebelumnya pasal tersebut berbunyi "Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun", sekarang menjadi "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah".
ADVERTISEMENT
Sebelumnya banyak pihak yang mulai berspekulasi mengenai keputusan MK tersebut. Namun, beberapa pihak memang betul seperti dugaannya MK mengabulkan sebagian dari permohonan uji materi tersebut. Hal ini menjurus kepada isu Gibran sebagai cawapres prabowo pada pemilu 2024 nanti.
Secara usia, Gibran memang belum berusia 40 tahun. Tetapi berdasarkan keputusan MK yang terbaru, Gibran dapat menjadi cawapres dikarenakan pernah menjadi Wali Kota Solo. fenomena ini yang kerap dihubungkan oleh sejumlah pihak mengenai kondisi politik hukum Indonesia akhir-akhir ini.
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman membacakan putusan batas usia Capres-cawapres di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (16/10/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Terlepas dari keputusan MK tersebut, seluruh pihak wajib menerima keputusan MK karena itu bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat. akan tetapi menariknya isu ini dapat dibungkam dengan kondisi politik hukum Indonesia menjelang pemilu 2024 nanti.
ADVERTISEMENT
Politik hukum sebagaimana dimaksud dalam (Mahfud MD, 2020) menjelaskan bahwa konfigurasi politik akan menentukan karakter produk hukumnya. Kondisi politik Indonesia menjelang pemilu 2024, khususnya partai politik tengah mencari dan memantapkan posisi dalam sebuah koalisi.
Akan tetapi berkaca kepada hasil pemilu 2019 kemarin, keberadaan oposisi dalam rezim kedua Jokowi sangat sedikit. Sejak bergabungnya Gerindra dan PAN ke kursi pemerintahan, maka hanya tinggal Demokrat dan PKS di DPR yang masih menyatakan diri sebagai pihak oposisi.
Konfigurasi politik semacam ini yang menyebabkan kekuatan politik pemerintah sangat kuat. hal ini juga mengacu kepada mayoritas dukungan fraksi di DPR terhadap pemerintah. maka tidak heran jika beberapa RUU yang disahkan menjadi UU seperti UU Ibu Kota Negara IKN dan UU Aparatur Sipil Negara ASN dan RUU lainnya dikebut oleh DPR untuk disahkan secepatnya.
ADVERTISEMENT
Fenomena diangkatnya Asrul Sani dari fraksi PPP yang juga Wakil Ketua MPR ini sebagai hakim MK menggantikan Wahiduddin Adams yang akan pensiun pada 2024 nanti juga menjadi masalah. Terlepas dari berhenti atau mengundurkan diri dari jabatan wakil MPR RI, hal ini sama saja dengan hilangnya independensi dalam dunia hukum.
Asrul Sani di gedung DPR. Foto: Irfan Adi/kumparan
Seharusnya pemilihan hakim MK yang dipilih terlepas dari intervensi politik, atau setidaknya berasal dari kalangan akademisi non partai. Akan tetapi, publik tidak dapat berkata banyak. Memang saat ini eranya sistem politik di Indonesia yang menonjol adalah peranan partai politik.
Partai politik memang bagian dalam infastruktur politik, tetapi juga ikut menentukan eksistensi dari suprastruktur politik (lembaga negara). Partai politik lewat DPR menentukan siapa hakim MK, panglima TNI, pimpinan KPK dan berbagai pimpinan instansi dan lembaga lain tidak terlepas dari peranan partai politik.
ADVERTISEMENT
Semua pokok persoalan inilah yang menjadi kondisi dari politik hukum Indonesia hari ini. Hukum sudah menjadi alat bagi politik dan dampaknya akan sangat terasa terhadap kemunduran demokrasi ke depannya jika hal ini tidak segera di atasi.
Tentunya lewat momentum pemilu 2024, harapan besar terjadinya perbaikan dalam politik hukum dan demokrasi lebih baik untuk ke depannya.