Konten dari Pengguna

Kisah Hidup: Perjuangan Melepas Jeratan Trauma Psikologis

Genta Ramadhan
Alumni S-1 Sejarah Universitas Gadjah Mada
3 Maret 2023 7:12 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Genta Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi trauma. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi trauma. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Hidup bersama trauma ibarat duri dalam daging. Tidak semua penyintas trauma memiliki ketangguhan mental untuk menjinakkan trauma. Ironisnya masih banyak stigma negatif masyarakat terhadap penyintas trauma akibat kurangnya edukasi masyarakat tentang kesehatan mental.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini bertujuan untuk menceritakan kisah hidupku sebagai penyintas trauma yang belum pernah diceritakan sebelumnya. Selain itu, tulisan ini bermaksud untuk mengedukasi masyarakat agar sadar dengan isu kesehatan mental. Lebih dari 10 tahun saya berjuang melawan trauma (luka batin) dengan seorang diri.
Aku harap pembaca mau mendengarkan kisah kehidupanku dengan saksama tanpa menghakimi dan menyudutkanku dengan kedok nasihat dan motivasi. Selain itu, tujuan tulisan ini untuk menyemangati dan memberikan dukungan para penyintas gangguan mental lain bahwa masih ada harapan kembali menjadi manusia seutuhnya.
Belum lama ini aku sudah bercerita kepada psikolog lewat aplikasi Halodoc. Aku mulai menceritakan semua trauma masa kecil yang telah terjadi. Sebelumnya aku belum pernah bercerita jujur kepada psikolog/psikiater karena masalah finansial, takut keluhanku dianggap lebay, dan prasangka buruk lainnya.
ADVERTISEMENT
Semua beban mental aku pikul seorang diri karena aku tidak mau dianggap lemah dan bahkan sering membohongi diri sendiri. Pada akhirnya, aku gagal dan sadar bahwa aku berhak meminta bantuan demi keselamatan diri.
Aku dibesarkan oleh lingkungan keluarga militer. Profesi ini sampai sekarang menjadi profesi idaman, tetapi juga memiliki risiko pekerjaan yang besar. Selain itu, saya acapkali mendengar stereotip masyarakat bahwa tentara itu orangnya disiplin, keras, dan tegas.
Anggapan itu mungkin benar tetapi tidak semua orang memiliki karakter demikian. Aku tidak mempermasalahkan anggapan orang tersebut. Toh, aku sadar bahwa aku tidak pernah bisa memilih lahir dari orang tua siapa.
Awal traumaku tumbuh ketika saya menginjak usia SD. Sumber trauma terbesarku berada pada keluarga. Jadi, aku sering mendengar pertengkaran mereka, berupa bentakan dan ucapan kasar waktu malam hari. Meskipun tidak sering terjadi, tetapi ingatanku atas peristiwa masih terekam sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Belum lagi kekerasan verbal yang aku terima dari keluargaku sendiri, baik ketika aku berbuat salah maupun tidak. Kalau aku berbuat salah masih bisa diterima tetapi cara penyampaian mereka tentang kesalahanku tidak tepat.
Aku sering dibentak dengan ucapan kasar dan merusak self esteem diriku. Sampai sekarang mereka belum menyadari dan mengakui tindakan bodoh mereka terhadap aku. Perkataan itu lah membuat saya tidak berharga dan berpikir aku tidak seharusnya hidup di sini.
Ilustrasi perempuan sedih susah move on. Foto: Shutterstock
Meskipun peristiwa tersebut sudah berlalu, ingatan trauma terus menari-nari dalam pikiran dan aktivitas keseharianku. Perih emang. Pengalaman traumatis pada masa kecil mempengaruhi kondisi fisik dan psikisku secara signifikan.
Aku sering merasa waspada dengan bahaya yang mengintai. sakit perut secara tiba-tiba, jantung berdebar, dan kekhawatiran yang berlebihan. Selain itu, aku gampang sensitif, gampang lelah walaupun tidak banyak beraktivitas, frustrasi, merasa bersalah, overthinking, mati rasa emosional, sulit konsentrasi, berpikir, dan mengambil keputusan.
ADVERTISEMENT
Aku pun kesulitan merencanakan tujuan hidup, tidak mengetahui kelebihan/potensi diri, dan mengalami isolasi sosial. Aku terlalu takut jika ditolak dan kesulitan menetapkan batasan diri. Pikiranku hanya memikirkan dan meratapi kekurangan diri. Bahkan aku pernah berpikir bahwa dunia tidak apa-apa jika aku tiada.
Pengalaman traumaku ini juga berdampak pada cara bergaulku. Aku sulit terbuka dan mempercayai orang lain. Keengganan itu timbul karena aku takut dihakimi dan dijauhi saat menceritakan pengalaman buruk.
Aku bisa gembira di tengah keramaian, tetapi saat sendirian aku sering menangis tanpa sebab dan tidak bergairah. Secara tidak sadar, aku membiarkan orang lain berlaku kasar padaku. Di saat itu, saya sering membanding-bandingkan diri dengan kebahagiaan orang lain. Makin hancur lah harga diriku.
ADVERTISEMENT
Kini waktu terus berjalan. Aku butuh sosok teman yang bisa menyemangati dan menerima diriku apa adanya. Di usia 20-an ini, umur saya bisa dikatakan belum dewasa, tetapi bukan (lagi) remaja. Aku terjebak dalam pusaran ketidakpastian hidup. Selain itu, aku juga menanggung beban trauma yang belum pulih. Aku ingin keluar dari lingkaran setan ini tetapi rasanya sulit.
Hal yang bisa aku pelajari dari pengalaman traumatis ialah masa lalu mustahil diubah, tetapi bisa dipelajari. Semua perlakuan keluarga dan orang lain yang tidak mengenakkan memang berada di luar kendaliku. Semua orang pasti pernah berbuat kesalahan.
Namun, respons menyikapi kesalahan orang itu pilihan. Mulai sekarang aku perlahan mencoba untuk mengontrol diri dan menyayangi diri sendiri. Aku juga tidak membiarkan orang lain melabrak batasan diri dan prinsip hidup yang dibuat. Selain itu, aku juga butuh dan mencari support system yang ikhlas membantu dan menerimaku apa adanya.
ADVERTISEMENT
Jika kewalahan aku tidak sungkan meminta bantuan kepada ahli profesional. Kelak ketika hidup berkeluarga, aku tidak mau menebarkan luka batin kepada anak-anak dan pasangan hidup. Yang tidak kalah pentingnya, aku selalu berharap kepada Allah karena Dia tidak pernah meninggalkan dan mengecewakan hamba-Nya.
Salah satu kelebihan yang aku dapatkan setelah menjalani masa sulit adalah aku tidak menghakimi permasalahan orang. Aku bisa bercerita kisah ini memang pengalaman hidup. Bila ada orang yang mau berkeluh kesah, aku siap mendengarkan dan memberikan dukungan moril.
Teruntuk penyintas trauma karena perlakuan kasar dari anggota keluarga, bencana alam, perundungan, perang, dan lain-lain, Anda tidak sendirian. Aku tidak tahu seberapa hebat perjuangan kalian menghadapi lika-liku kehidupan. Yang pasti Anda ini hebat dan mampu bertahan hidup sampai kini. Masih ada tantangan hidup yang siap menanti kita.
ADVERTISEMENT