Standar Ganda yang Menyebalkan Namun Candu

Genta Ramadhan
Mahasiswa PPG Prajabatan Gel 1 Tahun 2024.
Konten dari Pengguna
7 Maret 2024 10:24 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Genta Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan bingung. Foto: Ronnachai Palas/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan bingung. Foto: Ronnachai Palas/Shutterstock

Penyakit standar ganda adalah pangkal dari ketidakadilan.

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tulisan ini merupakan hasil refleksi penulis setelah menjalani lika-liku kehidupan. Ternyata, masih ada praktik standar ganda yang masih lestari di lingkungan sekitar, mulai dari keluarga, masyarakat, hingga bernegara.
ADVERTISEMENT
Bahkan secara tak sadar, kita berulang kali melakukan standar ganda. Secara objektif, penulis menyadari standar ganda merupakan akar dari ketidakadilan. Bahkan penulis dengan tegas mengatakan standar ganda sama dengan munafik.
Secara definitif, standar ganda adalah penilaian, reaksi, perkataan, dan tindakan yang tidak adil kepada kelompok tertentu pada kasus yang sama. Sebagai contoh nyata, Indonesia merupakan negara paling religius dan dermawan.
Namun, Indonesia juga menyadang predikat negara yang paling barbar di dunia dalam penggunaan media sosial. Apakah ini sebuah paradoks atau kenyataan?
Contoh standar ganda yang terdekat di sekitar kita adalah kita sering mengkritik orang lain dengan dalih 'membawa kebaikan'. Ketika kita dikritik maka kita marah dan menganggap orang lain ikut campur dengan urusan pribadi. Memang sebagian diri kita sulit membedakan manakah kritik yang membangun dan menghujat.
ADVERTISEMENT
Masih ada contoh nyata standar ganda yang tidak terhitung. Silakan Anda kemukan di kolom komentar.

Kepentingan Menjadi Panglima

Tidak ada moral baku yang pasti untuk mengadili apakah tindakan manusia itu benar atau salah. Semuanya berawal dari faktor kepentingan. Politik pun juga merupakan permainan kepentingan.
Karena kepentingan itu lah, kebiasaan standar ganda makin lestari dan terkesan seperti candu. Dengan segala intrik, manusia rela melabrak ukuran moral universal demi mewujudkan kepentingannya. Bahkan mereka menjustifikasi diri dan atribut yang melekat pada dirinya untuk melakukan tindakan yang merugikan kepada sebagian yang lain.
Mungkin kita sudah paham betapa bobroknya sistem politik di Indonesia. Konflik agraria menjadi contoh sempurna politik standar ganda di Indonesia. Ketika pemilik modal merampas tanah penduduk lokal, tindakan itu dianggap ekspansi modal dan bisnis. Sementara, ketika penduduk melawan kezaliman pemilik modal (karena memperjuangkan haknya) dianggap perusuh. Ironi bukan?
ADVERTISEMENT
Penulis menyajikan contoh standar ganda lain. Ketika para buruh melakukan demo besar-besaran, pemerintah cepat-cepat menaikkan UMR karena buruh memiliki peran vital dalam roda perekonomian. Sebaliknya, ketika guru honorer melakukan demo agar pemerintah memperhatikan kesejahteraan dan nasib mereka, pemerintah setengah hati merespons tuntutan mereka.
Percayalah standar ganda yang terdapat di dunia ini betul-betul merugikan namun membawa efek candu bagi orang yang memiliki kepentingan.

Mewujudkan Keadilan

Adil merupakan obat penawar dari segala bentuk standar ganda. Untuk mewujudkannya, butuh kesadaran diri dan kematangan emosi agar individu sadar dengan konsekuensi atas pikiran, perkataan dan perbuatan. Tidak kalah penting adalah kawal ego. Mematikan ego mustahil dilakukan, tetapi mengendalikan ego diri masih bisa diupayakan.