Jessica Wongso; Sianida, Opini Publik, dan Reformasi Hukum

Georgius Benny
Political Analyst
Konten dari Pengguna
13 Oktober 2023 14:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Georgius Benny tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ice Cold Murder, Coffee and Jessica Wongso. Foto: Dok. Netflix
zoom-in-whitePerbesar
Ice Cold Murder, Coffee and Jessica Wongso. Foto: Dok. Netflix
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Begitulah bunyi adagium hukum yang cukup populer yang mempunyai arti keadilan harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh. Adagium ini tepat untuk menggambarkan kasus yang ramai dibicarakan di Indonesia pada periode tahun 2016 lalu, yaitu kasus kopi sianida yang melibatkan Jessica Kumala Wongso dengan Wayan Mirna Salihin.
ADVERTISEMENT
Kasus ini kembali mencuat ke permukaan pasca dirilisnya film dokumenter Netflix yang berjudul Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso. Dokumenter ini mengangkat kembali salah satu kasus hukum terbesar dan terpopuler di Indonesia yang dulu menyita perhatian publik.
Setiap hari selama 10 bulan, seluruh stasiun televisi tidak berhenti memberitakan dan menayangkan jalannya persidangan Jessica Wongso yang disangkakan sebagai pembunuh dari Wayan Mirna menggunakan sianida yang dituang dalam kopi.
Namun, yang menarik dari dokumenter ini adalah alur yang digambarkan. Pada awal cerita, ingatan kita disegarkan kembali dengan kejadian tahun 2016 beserta kronologinya. Dalam awal cerita ini pula, Jessica Wongso digambarkan sebagai orang yang harus bertanggung jawab terhadap kematian Mirna Salihin.
Penggambaran tersebut berubah total di pertengahan hingga akhir film. Dengan dihadirkannya penasihat hukum Jessica Wongso, yaitu Otto Hasibuan, Djaja Surya Atmadja sebagai saksi ahli yang menyatakan kemungkinan Mirna meninggal bukan karena sianida, hingga kesaksian dari berbagai pihak yang menyatakan bahwa proses pengadilan memang sengaja diarahkan untuk membuat Jessica bersalah.
Jessica Wongso, tersangka pembunuhan berencana. Foto: Reuters/Beawiharta
Kasus ini pun ramai dibahas kembali dan banyak opini publik yang menganggap bahwa Jessica tidak bersalah atas kematian Mirna. Kasus ini pun menjadi menarik untuk dibahas lebih jauh, khususnya jika kita menggunakan sudut pandang urgensi reformasi peradilan pidana di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pemahaman yang coba dibangun melalui dokumenter tersebut adalah bahwa terdapat berbagai kejanggalan yang mengarah kepada potensi bahwa Jessica tidak membunuh Mirna menggunakan sianida. Hal ini sekaligus menunjukkan dua hal kepada kita, yaitu begitu besarnya pengaruh dan tekanan opini publik dalam kasus ini serta urgensi reformasi peradilan pidana di Indonesia.
Pertama, mengenai opini publik. Pada saat itu, media amat berperan dalam membangun persepsi publik yang mengarah kepada Mirna meninggal karena sianida dan bukti situasi menunjukkan bahwa satu-satunya yang berkemungkinan membunuh Mirna adalah Jessica.
Hal ini disebabkan gerak-gerik Jessica yang mencurigakan seperti menyusun tas sedemikian rupa seolah untuk menutup akses kamera pengawas ke meja tempat kopi dihidangkan.
Media berperan menyebarkan dan membangun opini publik, terlebih kasus ini begitu mengundang perhatian publik sehingga menjadi makanan empuk bagi media untuk terus memberitakan kasus ini. Porsi pemberitaan yang tidak seimbang juga turut menyumbang faktor pembentukan opini publik untuk menyudutkan Jessica.
ADVERTISEMENT
Opini publik diarahkan kepada framing bahwa Mirna meninggal karena sianida yang dituang ke dalam kopi dan Jessica adalah pembunuhnya. Framing inilah yang terus-menerus diberitakan sehingga menciptakan fenomena post-truth yang akhirnya memengaruhi pikiran publik.
Ilustrasi kopi hitam. Foto: Toshiko/kumparan
Publik yang kadung menganggap kematian Mirna disebabkan keracunan sianida dan Jessica sebagai pelakunya menciptakan tekanan yang begitu besar bagi penegak hukum. Polisi, jaksa, dan pengadilan diarahkan oleh opini publik untuk mengadili kasus ini ke arah yang diinginkan oleh publik, meskipun bukti-bukti yang dihadirkan tidak kuat untuk membuat Jessica bersalah.
Terlebih, dengan digunakannya fisiognomi sebagai salah satu argumen yang dibangun dalam persidangan. Fisiognomi adalah ilmu membaca karakter wajah seseorang. Ahli fisiognomi yang dihadirkan membentuk persepsi publik bahwa raut wajah Jessica menunjukkan bahwa ia adalah orang yang jahat.
ADVERTISEMENT
Jalannya proses pengadilan sudah diarahkan oleh opini publik untuk menyudutkan Jessica. Rasa keadilan publik adalah menghukum Jessica seberat-beratnya, meskipun hal tersebut belum tentu ialah sebuah kebenaran. Pada akhirnya, majelis hakim menjatuhi Jessica vonis 20 tahun penjara.
Pengaruh opini publik dalam proses pengadilan juga dapat kita temukan dalam kasus pembunuhan Brigadir Josua yang dilakukan oleh Ferdy Sambo. Richard Eliezer yang sudah mengaku dan terbukti menembak Josua justru mendapat dukungan dari opini publik karena ia jugalah yang membongkar skenario Sambo dalam kasus ini.
Opini publik yang mendukung Eliezer menyebabkan rasa keadilan yang harus dipenuhi adalah menghukum Eliezer seringan-ringannya atau bahkan membebaskannya. Pada akhirnya, Eliezer hanya dijatuhi hukuman dua tahun penjara.
Terdakwa Richard Eliezer tiba di ruang sidang untuk menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (15/2/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Dua kasus ini menunjukkan bahwa opini publik memegang peranan penting dalam menentukan keputusan hukum yang akan diambil oleh pengadilan. Opini publik baik itu dukungan maupun penolakan dapat begitu mempengaruhi pola dan alur persidangan yang menentukan keputusan akhir dari majelis hakim.
ADVERTISEMENT
Permasalahan berikutnya dalam kasus ini ialah urgensi akan reformasi hukum, khususnya peradilan pidana di Indonesia. Dalam dokumenter, Erasmus Napitupulu (Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform) menegaskan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia memberikan kekuasaan yang besar bagi penegak hukum untuk menentukan siapa yang bersalah sehingga terjadi ketidakseimbangan dalam proses pengadilan.
Mengutip pendapat Wakil Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Profesor Eddy Hiariej yang menyebutkan bahwa hukum di Indonesia memasuki fase hukum modern yang bersifat netral.
Sayangnya, kenetralan hukum modern tidak bisa menjamin bahwa yang menang adalah yang benar dan yang kalah adalah yang salah. Hal ini disebabkan karena hukum adalah seni berinterpretasi. Keputusan akhir hukum bergantung kepada bagaimana argumen-argumen dibangun.
ADVERTISEMENT
Sistem peradilan pidana di Indonesia terlalu memberatkan terdakwa, sekalipun ada potensi bahwa ia tidak bersalah. Dalam kasus Jessica Wongso, pengadilan begitu berpihak dan sudah membentuk pola pikir yang memberatkan Jessica.
Jessica Kumala Wongso. Foto: Reuters/Beawiharta
Meskipun banyak bukti-bukti langsung yang tidak bisa dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum, seperti botol sianida yang digunakan ataupun bukti konkret adanya kandungan sianida yang dapat menyebabkan kematian di dalam tubuh Mirna.
Hal ini jelas bertentangan dengan asas in criminalibus, probationes bedent esse luce clariores yang memiliki arti dalam perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya.
Kombinasi antara tekanan opini publik dan sistem peradilan pidana yang memberatkan terdakwa menjadi harga yang harus dibayar oleh Jessica Wongso yang dalam kasus ini bisa dikatakan sebagai martir. Ia bersalah karena harus ada orang yang bertanggung jawab atas kematian Mirna Salihin.
ADVERTISEMENT