Konten dari Pengguna

Jokowi, Richard Nixon, dan Skandal Demokrasi

Georgius Benny
Politics and Public Policy Enthusiast
18 September 2023 14:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Georgius Benny tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Richard Nixon. Foto: AFP/MICHAEL EVSTAFIEV
zoom-in-whitePerbesar
Richard Nixon. Foto: AFP/MICHAEL EVSTAFIEV
ADVERTISEMENT
Richard Nixon bisa dibilang sebagai salah satu Presiden Amerika Serikat yang paling tenar, namun ketenaran tersebut datang dari salah satu skandal demokrasi terbesar sepanjang sejarah Amerika Serikat, yaitu skandal watergate yang terjadi pada tahun 1972.
ADVERTISEMENT
Watergate adalah skandal di mana Nixon sebagai Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik yang masih aktif menjabat terlibat dalam upaya penyadapan Partai Demokrat. Skandal ini melibatkan pejabat dari lembaga negara seperti James McCord dari CIA.
Penyadapan ini sebagai upaya untuk memenangkan kembali Richard Nixon dalam pemilihan presiden. Nixon pun kembali memenangkan pemilihan presiden di tahun 1972 setelah mengalahkan calon presiden dari Partai Demokrat, George McGovern.
Publik Amerika Serikat awalnya menutup mata terhadap skandal ini. Meskipun kembali memenangkan pemilu, Nixon akhirnya harus mengundurkan diri setelah Kongres membentuk komite penyelidikan yang menguak fakta bahwa Gedung Putih terlibat dalam skandal watergate.
Watergate menjadi salah satu skandal demokrasi terbesar sekaligus peristiwa politik paling menggemparkan di Amerika Serikat karena melibatkan seorang presiden secara langsung. Kasus ini merupakan penyalahgunaan kekuasaan eksekutif yang turut menyeret lembaga intelijen negara.
ADVERTISEMENT
Puluhan tahun kemudian, Indonesia mengikuti jejak Amerika Serikat, namun bukan dalam konteks pemajuan demokrasi, melainkan skandal demokrasi. Pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut bahwa dirinya memegang data intelijen terkait partai politik adalah sebuah ancaman bagi demokrasi Indonesia. Sayangnya, sedikit yang menyadari bahaya tersebut.
Foto Hires Presiden Jokowi Menyampaikan Pidato Kunci dalam Acara Kompas100 CEO Forum Tahun 2022, Istana Negara, Jakarta, Jumat (2/12/2022). Foto: Muchlis Jr/Biro Pers Sekretariat Presiden
Presiden Jokowi yang sering dikritik terlalu cawe-cawe urusan pemilihan presiden 2024 mendatang justru mengeluarkan pernyataan bahwa dirinya memegang data intelijen mengenai pergerakan partai politik. Informasi intelijen tersebut rentan disalahgunakan, terlebih Jokowi adalah presiden yang masih aktif menjabat.
Intelijen bersama dengan kepolisian, militer, pengadilan dan berbagai lembaga negara lainnya merupakan state apparatus. Louis Althusser, seorang filsuf politik, membagi state apparatus menjadi dua jenis, yaitu Repressive State Apparatus (RSA) dan Ideological State Apparatus (ISA).
ADVERTISEMENT
RSA atau dalam Bahasa Indonesia adalah aparat represi negara adalah alat represi milik negara untuk menegakkan status quo dominasi kelas masyarakat tertentu atas kelas masyarakat lainnya. Sementara ISA atau dalam Bahasa Indonesia adalah aparat ideologi negara adalah alat penanam ideologi negara kepada individu dan masyarakat.
Intelijen merupakan bagian dari aparat represi negara sehingga fungsi-fungsi dan kerja-kerja intelijen dapat dijadikan senjata penguasa untuk menalukkan "lawan-lawannya". Itulah yang Jokowi lakukan dengan Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (BAIS), hingga intelijen dari kepolisian terhadap partai politik.
Pernyataan Jokowi yang membuka fakta bahwa dirinya berpotensi mengendalikan partai politik lewat data intelijen merupakan permasalahan besar bagi demokrasi Indonesia. Dengan data dan informasi tersebut, Jokowi dapat mengetahui, mengendalikan, menginstruksikan, bahkan merepresi partai politik untuk bergerak sesuai keinginannya.
ADVERTISEMENT
Sulit dimengerti apa maksud Jokowi membuka fakta tersebut. Bisa jadi Jokowi sedang show off forces atau pamer kekuatan. Jokowi berusaha mengirim sinyal bahwa dirinya memegang kendali terhadap partai politik dalam menentukan arah gerak menuju pemilu 2024. Sinyal tersebut juga dapat berpotensi menjadi gertakan bagi partai politik untuk tunduk padanya jika tidak ingin informasi rahasia dari intelijen digunakan sebagai alat represi.
Terlebih Jokowi mengungkapkan hal tersebut di depan Ketua-Ketua Umum Partai Politik seperti Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, Muhaimin Iskandar, hingga Prabowo Subianto dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional Sekretariat Nasional Jokowi. Jelas bahwa Jokowi punya maksud tersendiri menyampaikan hal tersebut. Pesan Jokowi itu dapat diterjemahkan sebagai "With Me or Against Me".
Tindakan Jokowi tersebut merupakan skandal demokrasi besar yang terjadi pasca reformasi. Namun, sama seperti awal skandal watergate oleh Richard Nixon, publik tidak menyadari betapa bahayanya tindakan tersebut. Minimnya atensi publik terhadap tindakan Jokowi bisa dianggap sebagai pengaruh dari penilaian yang bias.
ADVERTISEMENT
Survei dari Indikator Politik Indonesia mencatatkan tingkat penerimaan publik atau approval rating terhadap kepemimpinan Jokowi mencapai angka 81 persen pada Agustus 2023. Tingginya angka ini berpotensi menyumbang bias dalam penilaian publik terhadap tindakan Jokowi yang merusak demokrasi.
Selain itu, penilaian publik juga dapat dipengaruhi oleh tindakan Jokowi yang tidak terlihat sebagai sebuah skandal politik. Levitsky dan Ziblatt dalam How Democracies Die menyebutkan bahwa:
Jika dulu Nixon mengendalikan operasi watergate untuk mengamankan kemenangannya dalam pemilihan presiden, kini Jokowi butuh kepastian bahwa pasca selesai menjabat, dirinya tetap memegang kendali dalam peta politik nasional.
Ada alasan mengapa Jokowi begitu cawe-cawe dalam agenda partai politik menuju pemilu 2024. Jokowi ingin mengamankan legacy yang sudah ia bangun selama 10 tahun menjabat, khususnya proyek-proyek yang masih akan berjalan pasca dirinya selesai menjabat, seperti mega proyek Ibu Kota Negara (IKN).
ADVERTISEMENT
Kepentingan inilah yang membuat Jokowi menjadi "dalang" bagi partai politik yang adalah "wayang". Dalang akan menentukan alur cerita, peran, dan detail dari pertunjukkan. Jokowi ingin memastikan bahwa semua berada di dalam kendalinya.
Jokowi, yang pada awal masa kepresidenannya, sering disebut sebagai "boneka" atau "petugas partai" kini menjelma sebagai kingmaker dan dalang dalam lakon politik Indonesia menuju pemilu 2024.
Kerusakan demokrasi paling besar dalam sejarah dimulai dengan diabaikannya norma-norma dasar dalam politik. Kini, Jokowi sebagai presiden aktif berpotensi melahirkan kerusakan demokrasi Indonesia di ujung masa jabatannya.