Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Kampus Merdeka dan Senjakala Gerakan Mahasiswa
21 Maret 2022 14:56 WIB
Tulisan dari Georgius Benny tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kebijakan Kampus Merdeka yang digagas Mas Menteri Nadiem Makarim menjadi salah satu isu utama yang sedang hangat diperdebatkan oleh mahasiswa di berbagai kampus. Kebijakan Kampus Merdeka ini membagi mahasiswa menjadi dua kubu, yaitu kubu pertama yang mendukung serta kubu kedua yang menolak.
ADVERTISEMENT
Kebijakan Kampus Merdeka sebenarnya terbagi ke dalam beberapa koridor kebijakan seperti Magang Bersertifikat Kampus Merdeka (MBKM); dipermudahnya kampus untuk membuka program studi baru yang sesuai dengan kebutuhan pasar; hingga dipermudahnya kampus untuk meningkatkan statusnya menjadi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH). Namun, yang menjadi polemik utama bagi mahasiswa serta menjadi potensi senjakala gerakan mahasiswa adalah Magang Bersertifikat Kampus Merdeka.
Kampus Merdeka dan Permasalahannya
Dilansir dari situs kampusmerdeka.kemdikbud.go.id, kegiatan magang ini terbuka untuk mahasiswa dari seluruh perguruan tinggi baik negeri maupun swasta, serta tidak ada batasan minimal semester yang harus ditempuh. Kegiatan magang ini berlangsung selama 1-2 semester dan dapat dikonversikan ke dalam Satuan Kredit Semester (SKS), serta adanya “uang saku” yang diterima mahasiswa jika mengikuti kegiatan magang. Kemewahan yang ditawarkan kebijakan Kampus Merdeka ini menjadi antitesa dari gerakan mahasiswa yang tidak menawarkan kemewahan apapun.
ADVERTISEMENT
Eko Prasetyo, dalam bukunya “Bangkitlah Gerakan Mahasiswa” mengatakan, bahwa kampus harusnya menjadi tempat mahasiswa belajar berorganisasi, dan dari organisasi mahasiswa inilah lahir gerakan mahasiswa. Namun hari ini, organisasi mahasiswa perlahan ditinggalkan karena tidak mampus menawarkan sesuatu yang baru, organisasi mahasiswa seolah berjalan di tempat.
Ditambah, pembelajaran daring yang membuat interaksi mahasiswa dalam diskusi dan perdebatan menjadi terbatas. Padahal diskusi dan perdebatan inilah yang melahirkan narasi dan gagasan tentang gerakan mahasiswa.
Gerakan mahasiswa lahir dari keresahan akan status quo yang dipenuhi ketidakadilan, penindasan, pembungkaman, dan kondisi lainnya yang menuntut perubahan. Sejarah Bangsa Indonesia dipenuhi sejarah yang diukir oleh kaum pelajar dan mahasiswa mulai dari Boedi Oetomo tahun 1908 hingga Reformasi 1998. Organisasi mahasiswa menjadi wadah untuk menumbuhkan kesadaran kritis, berdiskusi dan berdebat, serta untuk menuangkan wacana perubahan dan gerakan.
ADVERTISEMENT
Gerakan mahasiswa dalam beberapa tahun terakhir biasanya dimotori oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Mungkin masih segar di ingatan, beberapa Ketua BEM yang sempat viral pada aksi Reformasi Dikorupsi 2019 lalu. BEM sebagai mesin utama penggerak gerakan mahasiswa menjadi salah satu kelemahan yang mengakar pada gerakan mahasiswa itu sendiri.
Adanya periodisasi tiap setahun sekali; kontestasi BEM yang sering dipenuhi intrik politik; urusan administrasi organisasi; hingga permasalahan terbaru, yaitu, turunnya mahasiswa yang berminat menjadi anggota BEM adalah serangkaian permasalahan yang menyibukkan BEM, sehingga gerakan bukanlah satu-satunya agenda yang dimiliki. Minimnya aktor yang mampu menawarkan gerakan alternatif pun turut serta menyumbang akar masalah mampetnya gerakan mahasiswa.
Realita Kampus Hari Ini
Di berbagai kampus, muncul tren penurunan pendaftar organisasi mahasiswa, mulai dari pendaftar untuk menjadi pimpinan hingga anggota. Di kampus besar seperti Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, dan Institut Teknologi Bandung dalam kontestasi pemilihan Presiden Mahasiswa terakhir hanya diikuti oleh satu pasangan calon.
ADVERTISEMENT
Di kampus saya sendiri, dari tahun ke tahun angka pendaftar anggota BEM semakin menurun. Munculnya kebijakan Magang Kampus Merdeka yang menawarkan kemewahan yang tidak mampu ditawarkan oleh organisasi mahasiswa jelas menjadi alternatif yang menggiurkan bagi mahasiswa utamanya mahasiswa baru.
Dalam kondisi seperti ini, menjadi lebih realitis bagi mahasiswa untuk memilih kegiatan Magang Kampus Merdeka dibanding aktif berorganisasi di kampus. Berbagai kemewahan seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya jelas menjadi nilai plus kebijakan ini.
Namun di balik semua kemewahan yang menggiurkan ini, Magang Kampus Merdeka bukanlah sebuah kebijakan tanpa cela. Kebijakan Magang Kampus Merdeka ini justru memiliki segudang permasalahan yang belum diselesaikan oleh Mas Menteri.
Permasalahan pertama adalah, adanya kesenjangan antar perguruan tinggi. Walaupun sudah tertera dengan jelas di situs Kemendikbud bahwa mahasiswa dari perguruan tinggi manapun baik negeri ataupun swasta dapat mengikuti kegiatan ini namun tidak menutup bahwa ada kesenjangan.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa yang berasal dari kampus dengan akreditasi lebih tinggi jelas akan memenangkan persaingan dengan mahasiswa yang berasal dari kampus dengan akreditasi lebih rendah. Selain dilihat dari akreditasi, daerah asal kampus pun berpengaruh menentukan persaingan untuk diterima magang. Kampus yang berdiri di daerah perkotaan ataupun industri jelas akan mendapat akses lebih mudah kepada perusahaan/institusi yang membuka Magang Kampus Merdeka dibanding kampus yang berdiri di daerah yang jauh dari perkotaan.
Permasalahan kedua adalah, sejauh ini kegiatan Magang Kampus Merdeka dilakukan dalam kondisi kampus sedang mengadakan pembelajaran daring, sehingga tidak mengharuskan mahasiswa untuk datang langsung ke kampus. Mahasiswa pun dapat mengikuti kegiatan magang sekaligus datang perkuliahan daring. Kebijakan ini terbukti tidak resilien dan mengakomodir kondisi kampus serta mahasiswa yang sudah melakukan kegiatan pembelajaran secara tatap muka.
ADVERTISEMENT
Selain dua permasalahan tersebut, masih terdapat juga permasalahan seperti ambigunya jaminan perlindungan kerja dan kepastian upah yang didapatkan oleh peserta kegiatan Magang Kampus Merdeka.
Melihat latar belakang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita yang dahulunya merupakan boss start-up yang memang sudah terbiasa dengan pola pikir pemenuhan kebutuhan pasar dan industri maka menjadi wajar kalau kebijakan yang dikeluarkannya sangat berorientasi pada kebutuhan pasar dan industri.
Kebijakan Magang Kampus Merdeka ini mempersempit eksplorasi yang harusnya dapat dilakukan oleh mahasiswa dalam berkegiatan dalam organisasi mahasiswa. Pola pikir yang terbentuk dari adanya kebijakan ini adalah kampus merupakan “pabrik” pencetak pekerja yang akan digunakan dalam industri.
Kebijakan Kampus Merdeka mengerdilkan peran kampus yang harusnya mencetak generasi kritis yang mampu membawa perubahan bagi masyarakat dan negara. Kampus harusnya menjadi tempat yang bebas untuk berkekspresi, kampus harusnya menjadi wadah produksi wacana dan gagasan perubahan, kampus harusnya menjadi ladang untuk menyuburkan kesadaran kritis bagi mahasiswanya.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya kondisi seperti ini yang menyebabkan organisasi mahasiswa yang seharusnya menjadi wadah untuk merawat narasi gerakan dan keresahan akan status quo perlahan ditinggalkan. Reformasi besar-besaran menjadi agenda wajib bagi gerakan mahasiswa jika ingin tetap eksis dan mampu menjadi solusi alternatif dari ragamnya permasalahan lintas sektor yang ada di masyarakat.
Organisasi mahasiswa harus adaptif terhadap perkembangan zaman dengan menawarkan kebaharuan yang membuat daya tawar organisasi mahasiswa mampu menjadikan organisasi mahasiswa sebagai wadah utama bagi mahasiswa untuk mengeksplorasi dirinya.
Selain itu, lahirnya aktor-aktor gerakan alternatif di luar organisasi mahasiswa pun menjadi kebutuhan agar gerakan mahasiswa tidak tenggelam. Aktor-aktor mulai dari individu, kelompok, ataupun komunitas baik organisasi formal maupun informal harus mulai bermunculan untuk menjadi wadah yang merawat narasi gerakan melalui hal-hal kecil seperti diskusi, bedah buku, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Mampukah organisasi mahasiswa untuk bertahan? Mampukah organisasi mahasiswa untuk tetap memproduksi wacana kritis akan perubahan dan gerakan? Atau organisasi mahasiswa akan menemui senjakalanya akibat munculnya Kampus Merdeka?