Konten dari Pengguna

Mengapa Kita Membenci Orang yang Masuk Politik?

Georgius Benny
Politics and Public Policy Enthusiast
1 Juli 2023 16:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Georgius Benny tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjalan di dekat bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (1/5/2023).  Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Petugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjalan di dekat bendera partai politik peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Senin (1/5/2023). Foto: Aprillio Akbar/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Pemilu 2024 akan berlangsung kurang dari satu tahun lagi. Banyak orang yang akhirnya memutuskan untuk masuk dalam dunia politik, entah sebagai anggota partai politik, relawan capres atau caleg, hingga menjadi caleg tingkat pusat ataupun daerah. Namun, banyak juga orang yang memilih tetap berada di luar ekosistem politik.
ADVERTISEMENT
Seringkali pilihan orang-orang yang masuk dalam dunia politik direspons dengan cemoohan, kesinisan, atau bahkan hujatan. Terlebih jika latar belakang orang tersebut berkaitan dengan aktivisme, gerakan sosial, ataupun tokoh muda.
Skeptisme publik yang terkadang mengarah kepada kebencian terhadap orang-orang yang masuk politik ini tercermin dalam komentar dan pandangan di media sosial saat tokoh seperti Manik Marganamahendra, mantan Ketua BEM UI yang maju sebagai Caleg DPRD DKI Jakarta melalui Partai Perindo. Masa lalu Manik yang aktif sebagai aktivis mahasiswa seolah menjadi beban yang melegitimasi bahwa masuk ke dalam politik adalah nista.
Pasca deklarasinya, rentetan komentar bernada skeptis menghujani media sosial Manik. Bahkan, beberapa di antaranya hadir dari figur publik lainnya seperti Denny Siregar. Semua meragukan pilihan Manik sebagai mantan aktivis yang memutuskan masuk politik.
ADVERTISEMENT
Selain Manik, kita juga dapat melihat fenomena skeptisme dan kebencian ini dalam kasus Pangeran Siahaan dan Tsamara Amany yang lantang menyuarakan dukungannya kepada Capres PDI-P, Ganjar Pranowo. Pangeran dan Tsamara juga ikut menggagas LARI (Langkah Anak Muda Republik Indonesia) sebagai platform anak muda yang mendukung Ganjar Pranowo sebagai presiden.
Pangeran dengan latar belakang sport and media enthusiasts dan Tsamara yang merupakan politisi muda mendapatkan respons skeptis yang tidak kalah besar dari Manik. Berbagai komentar dengan nada kekecewaan muncul di media sosial terhadap pilihan Pangeran dan Tsamara. Bahkan, beberapa di antara kritik tersebut datang dari lingkungan terdekat Pangeran dan Tsamara.
Salah satu respon publik terhadap pilihan politik Pangeran Siahaan dan Tsamara Amany. Sumber: Dokumentasi pribadi penulis.
Manik, Pangeran, dan Tsamara hanyalah contoh kecil dari banyaknya orang yang memutuskan masuk ke dalam politik dan mendapatkan respons buruk bernada skeptis hingga kebencian dari publik. Sesuatu yang sesungguhnya cukup mengherankan. Akar skeptisme dan kebencian tersebut masih menimbulkan tanda tanya. Mengapa kita membenci orang yang masuk politik?
ADVERTISEMENT
Jawaban yang paling mungkin untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah: karena citra politik kita yang terlalu buruk hingga menyeret seluruh orang di dalam politik dalam citra yang buruk pula.
Ekspresi politik individu dapat disalurkan ke dalam banyak bentuk mulai dari bergabung ke dalam partai politik, maju sebagai calon legislatif atau eksekutif, hingga menyuarakan dukungan dan keberpihakan terhadap seseorang ataupun suatu isu tertentu. Semua hal ini wajar dan seharusnya tidak perlu jadi fenomena.
Suatu hal yang seringkali tidak kita sadari adalah bahwa semua manusia berpolitik dengan cara dan levelnya masing-masing. Semua dari kita adalah politisi, bahkan sejak kita belum dewasa. Banyak contoh nyata yang menunjukkan bahwa kita semua berpolitik dengan caranya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Salah satunya adalah ketika kita masih kecil, mungkin kita pernah diajak orang tua pergi ke pusat perbelanjaan dan merengek dibelikan mainan oleh orang tua kita. Namun, orang tua kita tidak memberikan kemauan kita, lalu kita pun menangis sejadi-jadinya. Suara tangisan kita mulai mengganggu orang-orang lain. Akhirnya, karena tidak ingin mengganggu pengunjung lainnya, orang tua kita pun membelikan mainan yang kita inginkan.
Kasus tersebut mencontohkan salah satu aktivitas politik, yaitu negosiasi dan lobbying. Kita menginginkan mainan, orang tua kita sebagai "pengambil keputusan" menolak keinginan kita, kita pun menangis sebagai bargain kepada orang tua kita, dan akhirnya orang tua kita mengabulkan keinginan kita.
Jadi, sejatinya semua manusia pernah, sedang, dan akan berpolitik dengan cara dan levelnya masing-masing. Ada yang kemudian memutuskan masuk ke dalam ekosistem politik dan itu adalah suatu hal yang sangat wajar.
ADVERTISEMENT
Untuk orang-orang yang sebelumnya vokal dalam dunia aktivisme, relawan sosial, media, dan semua sektor apa pun seharusnya diwajarkan jika melanjutkan perjuangan mereka di dalam ekosistem politik. Mereka sudah memiliki penguasaan isu yang baik sesuai kemampuan dan minat masing-masing.
Keberpihakan dan pilihan politik masing-masing individu tidak seharusnya mengundang kebencian. Jika masyarakat kita skeptis terhadap mereka yang masuk politik, maka ujilah mereka. Uji mereka untuk dapat menilai kemampuan mereka menjadi pengambil keputusan publik. Sampaikan isu-isu yang kita resahkan untuk mengetahui pandangan dan gagasan mereka terhadap isu-isu tersebut.
Namun, jika menengok terhadap citra politik kita yang masih lekat dengan korupsi, arogansi, hingga ambisi kekuasaan semata, maka rasanya skeptisme publik menjadi wajar. Namun, perlu juga untuk menjadi rasional dalam menilai keputusan politik seseorang tanpa perlu menyebarkan kebencian terhadap keputusan tersebut.
ADVERTISEMENT
Suka tidak suka, politik masih menjadi cara tercepat dalam mewujudkan perubahan dan perbaikan. Maka, kita perlu mendukung serta mendorong orang-orang yang tepat untuk masuk dan berjuang di dalam politik.