Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Persimpangan Idealisme
16 Februari 2023 15:31 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Georgius Benny tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kelulusan adalah masa-masa ketika petualangan di kampus sudah sampai di ujung jalan. Di situlah kita dihadapkan kepada persimpangan yang akan membawa kita pada fase hidup berikutnya.
ADVERTISEMENT
Menyelesaikan tanggung jawab pendidikan tinggi di kampus sama dengan membuka lembar baru dalam kehidupan. Namun, hidup bukanlah dongeng ketika kita bisa diam dan terhanyut dalam tiap baris alur ceritanya.
Ada perjalanan baru yang menanti untuk ditapaki. Jalan baru ini akan menentukan jadi apa kita di masa depan nanti. Jalan ini seringkali bercabang dan gelap di sepanjang mata memandang.
Sebagai seseorang yang baru saja menyelesaikan masa studinya di kampus, menjadi sebuah kewajiban untuk menjawab pertanyaan "Setelah ini mau kemana?". Pertanyaan yang umum dilontarkan orang tua, keluarga, kerabat, teman, dan tentunya diri sendiri.
Menjadi sebuah kerja keras dan kerja panjang untuk berusaha mencari titik temu antara realistis dan idealis supaya tidak terjebak menjadi pragmatis, lagi oportunis.
Bagi mahasiswa yang sudah akrab dengan jalanan, aparat, dan aroma gas air mata untuk menyampaikan kritiknya kepada yang punya kuasa negara, idealisme bagai pisau. Menjadi alat yang berguna jika dipakai untuk memotong daging, namun dapat menjadi alat yang merusak jika digunakan menusuk orang lain.
ADVERTISEMENT
Idealisme dapat menjadi jebakan jika dipandang melalui kacamata kuda, lebih-lebih jika dipandang sebagai suatu dogma tanpa cela.
Aktivisme politik menjadi sebuah kecanggungan saat sampai di fase kelulusan. Terlebih jika dihadapkan persoalan antara masuk atau tidak ke dalam "sistem".
Bagi yang setia pada idealismenya, terkadang sudah harga mati untuk tetap berada di luar sistem, bahkan ketika harus menjadi manusia utopis yang memandang dunia secara naif dan sempit.
Di sisi lain, mereka yang idealis, kini sudah semakin realistis dalam melihat dunia tidak hanya dari satu sudut pandang. Berusaha menciptakan ruang antara idealisme dan realita. Menyatukan keyakinan dan kebutuhan.
Memang, sudah banyak kasusnya, mereka yang dikenal garang ketika masih mahasiswa, perlahan menjadi lunak serta tunduk pada yang memberi gaji dan posisi. Masuk ke dalam "sistem" melarutkan mereka menjadi zat yang tidak lagi terlihat.
ADVERTISEMENT
Namun, banyak juga yang mentransformasikan idealismenya menjadi suatu yang baru, relevan, dan tetap sesuai porsinya.
Lagi-lagi, bukan perkara mudah untuk mencari titik temu antara realistis dan idealis supaya tidak terjebak menjadi pragmatis, lagi oportunis.
Jadi, persimpangan jalan mana yang akan dipilih?