Senjakala Koalisi Indonesia Bersatu

Georgius Benny
Political Analyst
Konten dari Pengguna
25 April 2023 14:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Georgius Benny tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jajaran ketua umum partai dalam koalisi KIB memberikan keterangan pers usai makan malam di Restoran Bungarampai, di Kawasan Menteng, Jakarta, Rabu (30/12/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Jajaran ketua umum partai dalam koalisi KIB memberikan keterangan pers usai makan malam di Restoran Bungarampai, di Kawasan Menteng, Jakarta, Rabu (30/12/2022). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang dideklarasikan oleh 3 partai politik, yakni Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada Juni 2022 lalu kini berada di waktu senjakalanya.
ADVERTISEMENT
Jika membandingkan KIB dengan koalisi partai lainnya, maka terdapat gap yang sangat jauh. Gap tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti faktor elektoral, ketokohan, hingga potensi memenangkan Pemilu 2024.
Pasca dideklarasikannya Ganjar Pranowo sebagai calon presiden yang akan diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), maka setidaknya kini terdapat 4 poros partai politik yang sebenarnya mampu memeriahkan pesta demokrasi di 2024 nanti. KIB dengan Golkar, PAN, dan PPP. Koalisi Perubahan dengan Partai Nasional Demokrasi (Nasdem), Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera. Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Tidak luput yang terakhir, Lone Wolf, PDI-P.
Namun, analisis penulis menyebut bahwa 4 poros ini akan mengurucut dengan sendirinya, terutama poros KIB.
ADVERTISEMENT
KIB kemungkinan besar tidak akan berumur panjang. Terdapat setidaknya 2 faktor penentu dari keberlanjutan koalisi ini. Faktor pertama ialah kemampuan KIB untuk "turn back the table". Faktor pertama ini adalah faktor yang bersifat internal.
Jika 3 poros lainnya sudah memiliki bakal calon presiden yang akan diusung dengan kekuatan elektabilitas yang tinggi, Koalisi Perubahan dengan Anies Baswedan, KKIR dengan Prabowo Subianto, dan PDI-P dengan Ganjar Pranowo. Namun, KIB krisis tokoh yang mampu bersaing dengan 3 nama tersebut.
Ketua Umum masing-masing partai politik di KIB, Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, dan Muhammad Mardiono bukanlah individu yang mencuat di survei-survei elektabilitas. Kader lainnya seperti Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil yang baru bergabung dengan Golkar ataupun Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno yang santer dikabarkan akan bergabung dengan PPP belumlah memiliki kekuatan elektoral jika dibandingkan capres dari 3 poros lainnya.
ADVERTISEMENT
Jelas akan kewalahan jika KIB memaksakan posisi capres, terlebih dengan permasalahan krisis tokoh ini. Maka dari itu, posisi paling ideal bagi KIB adalah menurunkan ego untuk bergabung dengan salah satu koalisi dan mengajukan nama calon wakil presiden. Baik Ridwan Kamil maupun Sandiaga Uno adalah nama yang potensial sebagai calon wakil presiden.
Namun, jika angin berhembus ke arah KIB, maka KIB di sisa waktu mendekati dimulainya pemilu harus mampu untuk membalikkan keadaan atau turn back the table. Hal tersebut dapat dilakukan dengan upaya menaikkan daya tawar dan kekuatan elektoral 2 nama potensial dari KIB, Ridwan Kamil dan Sandiaga Uno untuk setidaknya mampu bersaing dalam bursa.
Jika gagal, maka satu-satunya jalan adalah KIB harus berkoalisi dengan partai lain yang sudah mendeklarasikan capres dengan kekuatan elektoral yang tinggi.
ADVERTISEMENT
Faktor kedua, ialah faktor eksternal yang dipengaruhi oleh keputusan apa yang akan diambil oleh KKIR, khususnya oleh Prabowo Subianto. KKIR jika tetap berdiri sendiri kemungkinan besar akan mengusung 2 ketua umumnya untuk menjadi pasangan capres dan cawapres, yakni Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar. Namun, hal ini akan bergantung kepada keputusan akhir dari Prabowo.
Nama Prabowo Subianto konsisten muncul di 3 nama dengan elektabilitas tertinggi dalam bursa. Namun, perlu dipertimbangkan apakah Prabowo masih dapat bersaing dengan Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, terlebih dengan rekam jejak kekalahan yang dimiliki olehnya.
Maka dari itu, akan menjadi lebih realistis bagi Prabowo untuk bergabung dengan salah satu koalisi partai dan menawarkan diri untuk menjadi cawapres. PDI-P adalah partai yang cukup tepat untuk menjadi rekan tarung bagi Prabowo dibandingkan jika ia bergabung dengan Koalisi Perubahan dan menjadi wakil dari Anies Baswedan.
ADVERTISEMENT
Dengan menjadi wakil dari Ganjar Pranowo, posisi akan jauh lebih strategis dan win-win solution. Prabowo yang merupakan bagian dari petahan tidak mungkin membawa narasi perubahan yang radikal sebagaimana yang digaungkan Koalisi Perubahan. Maka dari itu, Ganjar-Prabowo adalah pasangan yang paling realistis untuk dilakukan.
Namun, bagi KIB, manuver politik Prabowo yang apabila terwujud untuk bergabung dengan salah satu koalisi sama dengan bunyi sangkakala bagi utuhnya KIB. KIB tidak punya pilihan lain selain bubar jalan dan bergabung dengan salah satu koalisi karena jika memaksakan untuk tetap maju dalam pemilu, maka hanya akan menelan kekalahan yang pahit.
Maka dari itu, KIB harus segera merapat ke Koalisi Perubahan dan mengajukan daya tawar berupa nama cawapres kepada Anies Baswedan. Dalam hal ini, nama Ridwan Kamil akan jauh lebih ideal dibandingkan Sandiaga Uno. Memasang Anies-Sandi hanya akan membangkitkan politik identitas pada Pilkada DKI 2017 lalu, terlebih PKS ada di dalam Koalisi Perubahan.
ADVERTISEMENT
Jika sudah begini, pertarungan Ganjar Pranowo-Prabowo Subianto vs Anies Baswedan-Ridwan Kamil akan jauh lebih menarik. Namun, yang pasti adalah KIB menelan kekalahan.