Stagnansi Gerakan Mahasiswa

Georgius Benny
Political Analyst
Konten dari Pengguna
11 April 2022 19:48 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Georgius Benny tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Stagnansi gerakan adalah normal baru dalam gerakan mahasiswa hari ini. Metode gerakan yang berkutat di hal yang sama, intrik dan gimmick politik yang menyertai gerakan, hingga tindakan massa aksi yang mereduksi substansi serta makna dari gerakan mahasiswa itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Hari ini (Senin, 11 April 2022), mahasiswa kembali melaksanakan aksi demonstrasi besar-besaran untuk menolak wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Aksi massa yang dimotori oleh aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) bersama elemen masyarakat lainnya terpusat di Jakarta dengan beberapa gerakan di daerah.
Namun, jika menelusuri narasi yang berkembang di media sosial, justru kita dapat melihat adanya pergeseran narasi dan opini publik yang tidak berfokus kepada isu, substansi, dan makna dari gerakan mahasiswa itu sendiri. Hal ini tercermin dari trending topics Twitter di Indonesia per Hari Senin pukul 18.00.
Trending Twitter Indonesia per Hari Senin pukul 18.00. Sumber: Dolumentasi Penulis.
Dalam 7 trending teratas, sama sekali tidak ada yang membahas mengenai substansi, isu, makna, ataupun tuntutan yang dibawa dari gerakan mahasiswa yang terjadi. Yang tertangkap oleh media dan berpotensi membentuk opini publik adalah perihal pengeroyokan Ade Armando, narasi kadrun, dan beberapa hal lainnya. Sama sekali tidak ada bahasan mengenai isu penundaan pemilu ataupun perpanjangan masa jabatan presiden. Tuntutan yang dibawa dalam gerakan pun tidak terangkat semasif trending topics lainnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu tingkah laku dari aksi massa pada gerakan ini pun turut menyumbang reduksi gerakan mahasiswa. Poster tuntutan yang mengarah ke seksisme dan pornografi menjadi salah satu penyebab utamanya.
Fenomena seperti inilah yang disebut sebagai Slacktivism. Slacktivism adalah sebuah keinginan untuk menunjukkan suatu dukungan sosial tanpa mengeluarkan banyak biaya ketika menanggapi suatu isu sosial yang sedang terjadi, namun hal ini tidak diiringi oleh usaha yang signifikan untuk membuat perubahan (Davis; Mozorov dalam Kristofferson, White and Peloza, 2013).
Tan Malaka dalam "Aksi Massa" menjuluki orang-orang yang merusak gerakan sosial karena tindakan gegabah ataupun hal yang akan merusak substansi gerakan itu sendiri sebagai "putch".
Gerakan mahasiswa hari ini terjebak dalam aktivisme semu. Sebuah istilah yang menggambarkan aktivisme yang hanya muncul pada saat-saat tertentu tanpa paham tujuan dan substansi dari sebuah gerakan sosial itu sendiri. Narasi utama dari gerakan mahasiswa menjadi rusak dan bergeser ke hal-hal yang tidak substansial sehingga meluputkan substansi serta tuntutan gerakan.
ADVERTISEMENT
Aktivisme semu inilah yang menyebabkan stagnansi gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa memerlukan konsistensi dalam pelaksanaannya. Gerakan mahasiswa ibarat gelombang. Sama seperti gelombang di laut. Kadang skalanya besar, kadang pula kecil. Kadang menimbulkan ombak bahkan tsunami, kadang hanya deburan. Entah ditimbulkan angin sering juga akibat dinamika kehidupan bawah laut.
Gerakan mahasiswa akan menjadi gelombang jika dijalankan secara konsisten. Tidak harus dalam skala besar. Dengan pengawalan dan upaya membangkitkan kesadaran masyarakat tentang isu yang diangkat pun cukup. Aksi massa dengan ratusan orang juga sudah cukup. Tidak harus selalu dilakukan di Jakarta, di daerah-daerah pun perlu dinyalakan api perlawanan.
Gerakan pasti memiliki tuntutan. Tuntutan tidak akan langsung terwujud hanya dengan satu gerakan. Perlu membangun eskalasi gerakan hingga akhirnya menemukan momentum supaya tuntutan bisa terwujud.
ADVERTISEMENT
Reformasi 98 tidak terjadi hanya dengan sekali gerakan. Momentum sudah dicari dan dibangun dari tahun 1980 an. Bahkan sampai ada korban jiwa dan penculikan. Gerakan reformasi 1998 ini merupakan puncak gelombang yang fluktuasinya naik turun selama belasan tahun. Begitu seharusnya gerakan yang ideal berjalan.
Gelombang harus tetap ada, bahkan di titik terendah sekalipun dan ketika sudah berada di puncak gelombang maka momentum kemenangan sudah dekat. Membangun eskalasi inilah yang menjadi tugas dari mahasiswa terlepas apapun almamaternya, terlepas kepengurusan organisasi yang sudah berakhir. Gerakan harus terus dilanjutkan dan dibangun.
Gerakan sosial di Indonesia jarang sekali ada yang bersifat gelombang, banyaknya hanya menjadi "gelembung". Semakin besar gelembung justru semakin mendekati pecah. Itulah gerakan mahasiswa yang harus diantisipasi. Jika gerakan mahasiswa tergolong gelembung maka gerakan hanya akan terjadi sebentar dan ketika sudah semakin membesar gerakan itu akan pecah dan hilang. Layaknya gelembung yang mudah diciptakan lewat tiupan sabun. Mudah dibuat dalam jumlah banyak namun juga mudah dan cepat pecah.
ADVERTISEMENT
Selain itu, metode gerakan yang dipakai oleh gerakan mahasiswa dapat dibilang sudah usang. Datang ke gedung-gedung instansi pemerintahan, dilanjut orasi/teatrikal/dan lain sebagainya, ditutup dengan pembacaan sikap ataupun konferensi pers. Pola inilah yang umum dipakai dalam gerakan mahasiswa di seluruh Indonesia.
Pola yang dapat dikatakan sudah usang dan perlu diperbarui. Indonesia dapat mencontoh Thailand dalam urusan gerakan sosial. Dalam gerakan #WhyWeDoNeedaKing di Thailand pada 2020 lalu, masyarakat Thailand menggunakan metode yang kreatif dalam pelaksanaan gerakannya. Mulai dari strategi mengecoh aparat tentang lokasi aksi hingga mengadakan festival dan berbagai penampilan kesenian seperti fashion show dan pertunjukkan musik. Dalam festival dan pertunjukkan ini, aksi massa tetap mengangkat isu yang mereka bawa dalam gerakan. Dengan metode seperti ini, gerakan sosial di Thailand mendapatkan simpati dan dukungan publik Thailand bahkan dunia.
ADVERTISEMENT
Metode seperti inilah yang dibutuhkan oleh Indonesia untuk mendobrak stagnansi gerakan sosial. Bukan lagi metode usang yang dipakai terus menerus.
Selain gerakan lapangan, diperlukan juga penjagaan narasi dan opini publik yang berkembang di media sosial. Jangan sampai para "putch" seperti yang disebutkan Tan Malaka merusak substansi gerakan sosial. Perlu ada upaya untuk memastikan tidak adanya pemlintiran narasi seperti yang terjadi dalam gerakan kali ini. Manajemen aksi lapangan dan media perlu disusun sebegitu rupa untuk menjaga narasi yang dibawa tetap utuh dan tersampaikan kepada publik.
Gerakan mahasiswa adalah gerakan sepanjang masa, namun banyak hal yang harus dievaluasi dari gerakan mahasiswa hari ini untuk dapat mencapai gerakan yang ideal. Apapun itu, panjang umur perlawanan dan perjuangan. Panjang umur untuk semua hal-hal baik.
ADVERTISEMENT