Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Media Sosial, Hoaks, dan Demokrasi
8 April 2018 10:01 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Gerry Indradi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Awalnya, media sosial dianggap sebagai angin surga untuk demokrasi. Sebagai sebuah platform komunikasi, media sosial memberikan wadah bagi publik untuk menyuarakan pendapatnya. Dan ini merupakan elemen terpenting dalam demokrasi. Media sosial bahkan dapat memicu suatu pergerakan massa menggulingkan pemerintahan otoriter.
ADVERTISEMENT
Presiden Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali, lengser dari kursi Kepresidenan Tunisia di tahun 2011 akibat protes masyarakat yang dipicu oleh media sosial. Begitu juga dengan Presiden Mesir Hosni Mubarak yang juga lengser dari kursi kepresidenan Mesir di tahun yang sama. Protes rakyat Mesir yang terpusat di Tahrir Square yang akhirnya menggulingkan Hosni Mubarak dipicu oleh dialog publik di media sosial.
Di Februari 2014, Presiden Ukraina tersingkir, Viktor Yanukovych, juga menjadi “korban” dari media sosial. Dipicu oleh protes massa dunia digital, rakyat Ukraina berbondong-bondong memusatkan protes mereka di Alun-alun kota Kiev.
Namun media sosial yang awalnya dianggap sebagai sesuatu yang baik untuk demokrasi, saat ini justru dipandang sebagai ancaman laten terhadap demokrasi. Lalu mengapa media sosial justru menebar ancaman terhadap keberlangsungan demokrasi? Hoaks atau berita palsulah penyebabnya.
ADVERTISEMENT
Pada 1 November 2017, perwakilan dari Facebook, Google, dan Twitter dipanggil dalam dengar pendapat di Capitol Hill, Washington D.C, Amerika Serikat. Dengar pendapat ini dipicu oleh laporan yang menyatakan bahwa beberapa pihak yang terkait dengan Rusia membeli iklan-iklan di Facebook dan memposting hal-hal yang pada akhirnya mempengaruhi hasil akhir Pemilu Presiden Amerika Serikat 2016 yang lalu.
Dalam dengar pendapat tersebut, Facebook sendiri bahkan mengakui bahwa konten-konten yang diposting oleh pihak-pihak yang ditenggarai terkait dengan Rusia diakses oleh 126 juta masyarakat Amerika Serikat, sekitar 40 persen total jumlah populasi.
Hoaks dan Ancaman Separatisme
Tidak hanya mengancam keberlangsungan demokrasi, hoaks bahkan dapat mengancam kesatuan wilayah suatu negara. Spanyol hampir kehilangan Catalunya akibat dari hoaks. Pada tanggal 1 Oktober 2017, masyarakat Catalonia berbondong-bondong pergi ke bilik suara dalam suatu referendum untuk memilih berpisah dari Spanyol atau tidak.
ADVERTISEMENT
Hasilnya? 92,01 persen pemilih memilih untuk berpisah dari Spanyol. Pada hari refendum berlangsung, #catalanreferendum menjadi twitter worldwide trending topic selama 12 jam. Tapi yang menarik adalah 80 persen dari postingan terkait dengan referendum tersebut berasal dari akun anonim dan ditenggarai merupakan bots.
Menjelang pelaksanaan referendum Catalunya, hoaks menjadi sangat marak. Diantara berita yang terbukti tidak benar yang terlanjur menyebar di media sosial adalah foto jari seorang wanita yang patah yang konon katanya dipatahkan oleh polisi untuk mencegah wanita tersebut pergi ke bilik suara. Berita bohong lainnya yang menyebar di media sosial menjelang referendum adalah foto-foto para pemilih yang terluka berdarah-darah yang katanya akibat dari brutalitas polisi.
Nyatanya? Foto-foto tersebut sebenarnya adalah foto-foto para pekerja tambang Spanyol yang terluka akibat kecelakaan kerja di tahun 2002. Berita-berita bohong ini berhasil menyetir opini publik yang akhirnya mayoritas memilih untuk berpisah dari Spanyol. Siapa yang bertanggung jawab terhadap penyebaran hoax ini adalah soal lain.
ADVERTISEMENT
Yang pasti, media sosial dapat digunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang bertujuan mendestabilisasi keadaan politik suatu negara. Untung saja referendum tersebut dinyatakan tidak sah oleh pemerintah dan pihak yudikatif Spanyol. Kalau tidak, Catalunya sudah bercerai dari Spanyol. Pemerintah Spanyol juga beruntung tidak ada penyebaran senjata api di kalangan publik Catalunya seperti halnya di Ukraina. Jika yang terjadi sebaliknya? Mungkin sudah ada perang saudara di Spanyol.
Pemerintah Indonesia harus waspada soal ini. Indonesia tidak imun terhadap isu separatisme. Belajar dari pengalaman Spanyol, Indonesia harus melakukan langkah-langkah antisipasi untuk mencegah menguatnya isu separatisme di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah harus dapat mengatur operasionalisasi media sosial di Indonesia agar mencegah destabilitas politik. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia dapat belajar dari Pemerintah Jerman.
ADVERTISEMENT
Per Oktober 2017, Pemerintah Jerman mewajibkan perusahaan-perusahaan media sosial untuk menghapus hate speech dalam kurun waktu 24 jam atau akan dikenai denda sebesar 50 juta dollar Amerika Serikat. Postingan-postingan yang menyangkal pembantaian kaum yahudi misalnya, harus dihapus oleh Facebook dalam kurun waktu kurang dari 24 jam di Jerman jika tidak ingin membayar denda.
Langkah lain yang dapat dipertimbangkan adalah dengan mengadopsi gerakan “Honest Ads Act” di Amerika Serikat. Honest Ads Act adalah suatu rancangan Undang-undang yang apabila disahkan maka akan mengharuskan perusahaan-perusahaan media sosial untuk mengetahui terlebih dahulu siapa yang membeli spot iklan, terutama yang terkait dengan politik, di platform media sosial mereka.
Hal yang sama sudah berlaku di media cetak dan media elektronik namun belum berlaku di media sosial. Mark Zuckerberg sudah menyatakan mendukung isi rancangan undang-undang dimaksud.
ADVERTISEMENT
Pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warganya dari penyebaran berita bohong. Bagaikan virus, kebohongan mudah menyebar dan menimbulkan penyakit. Pemerintah harus mencegah virus buruk ini.