Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Rezim Internasional Senjata Nuklir: Diskriminatif hingga Akhir Zaman
14 April 2018 16:45 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari Gerry Indradi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Tanpa disadari, sebenarnya kita hidup dalam suatu sistem global yang diskriminatif. Melalui intrik dan janji manis, masyarakat dunia sebenarnya hidup di bawah suatu rezim global senjata nuklir yang diskriminatif secara sistematis Senjata nuklir merupakan satu-satunya senjata pemusnah massal yang kepemilikan maupun penggunaannya belum dilarang oleh hukum internasional.
ADVERTISEMENT
Apa itu senjata pemusnah massal? Jika berbicara definisi, banyak ahli yang menawarkan definisi mereka terkait senjata pemusnah massal. Namun, pada prinsipnya, senjata pemusnah massal dapat dipahami sebagai senjata yang memiliki daya rusak yang masif yang dapat berdampak luas kepada masyarakat sipil.
Terdapat tiga jenis senjata pemusnah massal, yaitu senjata biologi, senjata kimia, dan senjata nuklir. Menyadari daya rusak dan resiko dari ketiga senjata ini, dunia internasional telah mengesahkan tiga perjanjian internasional guna melarang penggunaan ataupun kepemilikan dari masing-masing senjata pemusnah massal dimaksud. Indonesia merupakan negara pihak terhadap ketiga perjanjian ini.
Konvensi senjata biologi mulai berlaku pada tahun 1975 dan bertujuan untuk melarang penggunaan dan kepemilikan senjata biologi. Berdasarkan Konvensi ini, haram hukumnya bagi negara-negara untuk memiliki dan/atau menggunakan senjata biologi. Begitu pula dengan senjata kimia. Konvensi Senjata Kimia yang berlaku sejak tahun 1997 melarang negara-negara di seluruh dunia untuk memiliki dan/atau menggunakan senjata kimia.
ADVERTISEMENT
Namun lucunya, hal yang sama tidak berlaku untuk senjata nuklir. Rezim internasional senjata nuklir diatur oleh Perjanjian Pencegahan Senjata Nulir, atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT). Berbeda dengan Konvensi Senjata Biologi atau Kimia, di bawah NPT larangan kepemilikan senjata nuklir tidak berlaku universal. NPT justru memberikan hak legal (legal rights) kepada Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Russia, dan RRT untuk memiliki senjata nuklir (dan oleh karenanya disebut sebagai negara pemilik senjata nuklir). Kok bisa? Karena negara-negara ini telah memiliki senjata nuklir sebelum perjanjian ini dirundingkan.
Namun, Pasal VI NPT memandatkan kepada negara-negara pemilik senjata nuklir untuk menegosiasikan suatu perjanjian mengenai perlucutan senjata nuklir yang mereka miliki. Pada awal dinegosiasikannnya NPT, perjanjian tersebut hanya berdurasi dua puluh lima tahun sejak tahun 1970. Para negosiator NPT pada saat itu mengharapkan agar senjata nuklir sudah dihapus dalam rentang dua puluh lima tahun tersebut. Hal ini tercantum pada Pasal X NPT.
ADVERTISEMENT
Namun, justru pada tahun 1995, dimana seharusnya durasi NPT berakhir, melalui berbagai upaya yang dilancarkan oleh negara-negara pemilik senjata nuklir pada Konferensi Tinjau Ulang NPT, negara-negara pemilik senjata nuklir justru berhasil meyakinkan kepada seluruh negara pihak NPT untuk memperpanjang durasi NPT menjadi tanpa batas waktu. Akibatnya, berdasarkan NPT, mereka berhak secara hukum untuk memiliki senjata nuklir hingga akhir zaman.
Tapi bukankah berdasarkan Pasal VI NPT, para negara pemilik senjata nuklir diharuskan untuk menegosiasikan pernjanjian perlucutan senjata nuklir? Ya memang benar, tapi siapa yang bisa memaksa mereka untuk duduk di meja perundingan? Jawabannya adalah rakyat mereka sendiri.
Sudah jelas bahwa tidak ada negara yang bisa menyeret negara-negara pemilik senjata nuklir untuk merundingkan suatu perjanjian internasional guna melucuti senjata nuklir mereka sendiri. Yang dapat dilakukan adalah menciptakan suatu kondisi dimana rakyat mereka sendiri yang akan menuntut pemerintahan mereka untuk melucuti senjata nuklirnya.
Dengan kata lain, menciptakan suatu tuntutan politik dari konstituen domestik mereka sehingga “memaksa” pemerintah dari negara-negara pemilik senjata nuklir untuk akhirnya merundingkan perjanjian internasional perlucutan senjata nuklir.
ADVERTISEMENT
Salah satu caranya adalah dengan mengkampanyekan dampak kemanusiaan yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan senjata nuklir. Selama ini, masyarakat kurang paham akan dampak kemanusiaan yang dapat ditimbulkan oleh senjata nuklir. Akibatnya tidak ada stigma negatif yang menempel pada senjata nuklir. Hal ini tidak masuk akal.
Senjata yang sudah terbukti berpotensi menimbulkan dampak kesehatan yang menakutkan sama sekali tidak dilihat sebagai senjata yang di luar batas-batas kemanusiaan. Mengapa? Karena kesadaran masyarakat yang rendah terhadap isu senjata nuklir. Dan inilah yang mendasari gerakan kampanye “humanitarian consequences of nuclear weapons” atau yang bila diterjemahkan menjadi “konsekuensi kemanusiaan penggunaan senjata nuklir” yang bergerak sejak tahun 2010.
Kampanye ini diinisiasi oleh beberapa negara yang memiliki perhatian serius terhadap isu senjata nuklir, termasuk Indonesia, dan dibantu oleh jaringan internasional Kelompok Masyarakat Madani yang menamakan diri International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN).
ADVERTISEMENT
Gerakan ini akhirnya berhasil meluncurkan proses negosiasi pada tahun 2015 yang lalu yang akhirnya melahirkan “Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons”. Indonesia sendiri telah menandatangani perjanjian ini pada tanggal 20 September 2017.
Nantinya, setelah diberlakukan, Perjanjian ini diharapkan dapat menjadi suatu landasan untuk membentuk norma masyarakat internasional anti senjata nuklir. Norma anti senjata nuklir ini diharapkan dapat merasuk ke grassroot di negara-negara senjata pemilik senjata nuklir hingga melahirkan tuntutan penghapusan senjata nuklir. Tujuan akhirnya? Perlucutan senjata nuklir. Akhir terhadap rezim yang diskriminatif.
Kampanye ini harus terus didengungkan. Diskriminasi adalah bentuk ketidakadilan. Diskriminasi ini harus berakhir.