Konten dari Pengguna

Di Balik Senyum Hangat Jokowi

Gerry Katon Mahendra
Dosen Universitas Aisyiyah Yogyakarta
24 Oktober 2023 20:36 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Gerry Katon Mahendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bangkitnya Dinasti Politik Jokowi. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Bangkitnya Dinasti Politik Jokowi. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Genderang kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden 2024 mulai menapaki tahap awal. Dua pasangan calon, yakni Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar sudah resmi mendaftar ke KPU.
ADVERTISEMENT
Sedangkan, di sisi lain Prabowo Subianto meskipun belum secara resmi mendaftar namun manuvernya sudah semakin terarah dengan memilih Gibran Rakabuming sebagai calon wakilnya. Dua capres tersebut di awal, relatif mainstream dan bermain aman dengan penuh kalkulasi dalam menentukan calon wakilnya.
Mahfud MD dipilih karena pengalamannya di pemerintahan, latar belakang NU yang kuat, hingga sosoknya yang masih dianggap sebagai pendekar hukum pembawa perubahan. Muhaimin Iskandar dipilih oleh koalisi pengusung Anies dengan landasan basis massa NU yang mumpuni, ketua partai politik dengan suara yang cukup signifikan, hingga karakternya yang dianggap luwes sebagai salah satu modal kampanye yang komplit.
Hal menarik dan oleh banyak pihak dianggap diluar dugaan justru terjadi pada kondisi capres berikutnya, Prabowo Subianto. Prabowo dianggap sebagai salah satu tokoh yang sarat akan pengalaman, baik dalam kontestasi Pilpres maupun pemerintahan. Tercatat, pernah satu kali maju sebagai cawapres dan dua kali maju sebagai capres, bahkan saat ini masih menduduki posisi strategis sebagai Menteri Pertahanan.
ADVERTISEMENT
Namun langkah politiknya (setidaknya sampai tulisan ini dibuat) justru dianggap menunjukkan hal kontra produktif terhadap apa yang sudah dilaluinya hingga saat ini. Kesempatan ketiga maju sebagai Capres dengan berbagai opsi pilihan cawapres yang dianggap potensial memperkuat suara, mulai dari Ridwan Kamil, Erick Thohir hingga Yusril Ihza Mahendra yang sudah matang secara pengalaman justru akan dilewatkan.
Di luar dugaan, Prabowo lebih memilih Gibran Rakabuming sebagai pasangan dalam kontestasi pilpres kali ini. Apakah ini suatu keuntungan atau blunder?
Semua khalayak di Indonesia tahu bahwa Gibran merupakan putra sulung dari Presiden Joko Widodo. Gibran juga merupakan seorang Wali kota Surakarta yang sudah menjabat sejak tahun 2021 silam. Hanya berselang dua tahun dari karier politik pertamanya, namanya melejit hingga masuk bursa cawapres dan sangat berpeluang besar saat ini untuk mendampingi Prabowo. Namun sekali lagi, apakah itu merupakan keputusan yang matang dan tepat? Dan apakah ini merupakan pilihan alamiah dari koalisi Prabowo?
ADVERTISEMENT
Perlu diingat bahwa sebelum akan terpilih sebagai cawapres, Gibran masih terganjal syarat dasar mengenai batas usia minimal, di mana usianya saat ini masih di bawah 40 tahun. Namun, ganjalan syarat tersebut seakan lenyap tak bersisa di kala gugatan terhadap aturan tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dengan dikabulkannya gugatan tersebut, maka siapa pun yang berusia di bawah 40 tahun dan pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah dapat mengikuti kontestasi pilpres 2024 mendatang. Seketika, pascaputusan tersebut Gibran menjadi “komoditas utama” bursa cawapres dalam koalisi Prabowo hingga akhirnya dinyatakan oleh Partai Golkar bahwa mereka mengusung nama tersebut. Gugatan tersebut dianggap “kebetulan” yang sangat tepat waktu oleh banyak pihak.
Prabowo dan koalisinya seolah mendapat “angin segar” dengan adanya putusan tersebut sehingga bisa dengan mudah mengusung Gibran, ditambah restu dari sang ayah, Joko Widodo. Dalam kondisi ini, presiden dianggap tidak ingin terlalu cepat kehilangan kekuasaan mengingat masih banyak proyek strategis yang mesti dilanjutkan. Juga dalam kondisi ini, presiden dianggap melakukan politik dinasti secara terbuka.
ADVERTISEMENT
Meminjam pengertian dari Martien Herna, Politik dinasti merupakan proses regenerasi kekuasaan bagi suatu kepentingan golongan yang meliputi keluarga elite dengan tujuan untuk mendapatkan dan mempertahankan sebuah kekuasaan. Kondisi saat ini yang terjadi sangat identik. Namun ternyata bagi koalisi Prabowo, situasi politiknya tidak semudah itu, Senin 23 Oktober 2023 MK masih menyidangkan gugatan lainnya mengenai batas maksimal usia Capres 70 tahun.
Dalam sidang tersebut, putusan MK adalah menolak yang berarti Prabowo masih bisa terus melaju dalam kontestasi Pilpres. Gugatan ini, lagi-lagi dianggap sebagai momentum “kebetulan” yang sangat tepat waktu. Bisa kita gambarkan kondisinya, apabila pasca putusan pertama mengenai usia minimal cawapres, koalisi Prabowo tidak mengusung nama Gibran sebagai Cawapres, bisa saja sidang kedua mengenai batas maksimal usia capres akan diputus berbeda.
ADVERTISEMENT
Kembali kepada pertanyaan sebelumnya, apakah ini (penentuan nama Cawapres) merupakan pilihan alamiah koalisi Prabowo? Tentu menjadi jawaban yang kompleks, terlebih di saat opsi Cawapres yang melimpah dengan segala keunggulannya, nama yang dipilih justru cukup diluar dugaan. Dalam konteks ini, bukan berarti Gibran tidak memiliki kemampuan.
Refleksi Solo saat ini tidak lepas dari kebijakan dan tangan dingin Gibran sebagai Wali kota. Namun dalam kontestasi Pilpres dengan segala dinamikanya. Usia dan pengalamannya tentu masih diragukan banyak pihak. Pertanyaan selanjutnya, siapakah mastermind yang mendesain situasi saat ini, sehingga bagi koalisi Prabowo dianggap sebagai situasi “maju kena mundur tidak bisa”?
Situasi yang sangat unik dan jarang terjadi pada kancah perpolitikan di Indonesia. Tidak sedikit pula yang menyatakan bahwa saat ini merupakan anomali politik yang di luar dugaan: jenius dan sporadis. Di balik senyum hangatnya, presiden menampilkan sikap yang di luar perkiraan.
ADVERTISEMENT
Presiden, sekali lagi memberikan sikap yang cenderung condong pada salah satu calon penerus tonggak pemerintahan dan bahkan merestui anaknya untuk maju kontestasi tersebut. Sekalipun terganjal syarat “belum cukup umur”, justru syarat itu yang akhirnya diubah oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam kondisi tersebut, sulit untuk tidak mengatakan bahwa Presiden memiliki cengkeraman yang kuat dalam menentukan arah politik berikutnya.
Strateginya abstrak namun menohok. Pada awalnya diprediksi akan mendukung Ganjar dan PDIP, namun pada injury time pendaftaran justru refleksi sikapnya menyatakan hal yang berlawanan. Tentu ini menjadi kejutan yang membuat masyarakat memberikan beragam respons. Ada yang terkejut, ada yang tertawa lebar, bahkan ada yang memprotes keras.
Namun apa pun respons partai, masyarakat dan khalayak luas Presiden masih tetap berpedoman pada aturan yang berlaku saat ini dan dalam arti yang lain, restu atas nama ayah dan restu atas nama hukum tetap dilanjutkan untuk Gibran. Selanjutnya, dengan Gibran sebagai cawapres bagaimana kans Prabowo dalam pilpres 2024 mendatang? Saya melihat dengan situasi yang terjadi saat ini setidaknya ada tiga kemungkinan yang bisa terjadi.
ADVERTISEMENT
Pertama, suara pendukung Prabowo terutama di daerah lumbung suara utama seperti Jawa Barat dan Sumatera Barat akan terpecah baik kepada pasangan Ganjar-Mahfud maupun Anies-Muhaimin. Hal ini terjadi sebagai wujud kekecewaan pendukung terhadap pilihan Prabowo dalam menentukan cawapresnya.
Kedua, ada salah satu pasangan calon yang akan diuntungkan. Kita harus pahami bahwa penunjukan Gibran menjadi cawapres membawa konsekuensi yang melebar. Gibran sampai saat ini masih menjadi kader PDI-P yang mengusung Ganjar-Mahfud sebagai kontestan. Bahkan beredar pula surat tugas bagi Gibran untuk menjadi tim pemenangan pasangan tersebut.
Ketegangan dan manuver politik mungkin saja akan terus berlanjut. Artinya, kurasan energi tersebut yang pada akhirnya membuat para pendukung jengah akan politik pragmatis keduanya dan melihat opsi pilihan lainnya, dalam hal ini pasangan Anies-Muhaimin yang berpotensi mendapatkan limpahan suara.
ADVERTISEMENT
Ketiga, dukungan tetap stabil dan potensi menang tetap terjaga. Bicara Gibran tentu juga kita bicara Jokowi. Bagaimanapun DNA politik Gibran lahir dari apa yang telah dilakukan Jokowi saat ini. Sikap politik Gibran adalah sikap politik Jokowi, dukungan terhadap Gibran adalah representasi dukungan terhadap Jokowi.
Atas dasar tersebut, berkaca dari hasil pemilihan Gubernur, pilpres 2014 dan 2019 yang berakhir pada kemenangan Jokowi, bukan tidak mungkin itu juga akan terjadi pada pasangan Prabowo-Gibran.
Pilpres mendatang merupakan pilpres yang menarik, penuh kejutan dan teka-teki politik yang menarik untuk dipecahkan. Situasi saat ini barulah permulaan, masih banyak kejutan yang akan terjadi sebelum hari final day tiba.
Masa kampanye, intrik politik penguasa, hingga perang media akan tersaji secara epic dalam perhelatan kontestasi pilpres 2024 mendatang. Asal tidak memecah belah bangsa hingga berlarut-larut, Pilpres kali ini bisa sangat menggembirakan.
ADVERTISEMENT