Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Jaring Pengaman Sosial
30 April 2021 13:27 WIB
Tulisan dari Gerry Katon Mahendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 saat ini masih belum mereda dan masih terus menghambat berbagai macam aktivitas masyarakat, baik dalam rangka pemenuhan kebutuhan jasmani maupun rohani. Kondisi seperti ini tentu saja menyulitkan bagi hampir seluruh masyarakat dari berbagai kalangan. Terlebih lagi, kondisi ini relatif sudah berlangsung cukup lama di Indonesia, yakni berkisar pada pertengahan Maret 2020 hingga saat ini dan kita semua tidak tahu kapan pandemi ini akan berakhir. Dalam kondisi tersebut, secara perlahan ketahanan masyarakat dalam bidang ekonomi tentu saja akan goyah. Tidak peduli mereka berasal dari kalangan pengusaha, pekerja formal maupun informal, pada faktanya hampir semua kalangan ikut terdampak. Saat ini, pengusaha dari berbagai bidang mulai menutup usahanya, baik sementara maupun permanen.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, kondisi turut memprihatinkan juga terjadi, menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), COVID-19 memberikan dampak terhadap 14,28% penduduk usia kerja, atau 29,12 juta orang dari total populasi 203,97 juta. Angka ini terdiri dari 2,56 juta orang yang menganggur, 0,76 juta orang bukan angkatan kerja (BAK), 1,77 juta orang yang sementara tidak bekerja, dan 24,03 juta orang yang mengalami pengurangan jam kerja; semuanya dikarenakan pandemi. Tidak salah jika kemudian pengangguran terbuka di Indonesia mengalami peningkatan dari 5,23% pada Agustus 2019 menjadi 7,07% pada Agustus 2020. Jika terus dibiarkan, tentu saja kondisi ini akan membuat daya beli masyarakat turun drastis, kesejahteraan menurun, hingga merosotnya perekonomian negara.
Berkaca dari dampak sistemik yang terjadi akibat pandemi COVID-19, respons pemerintah dalam hal ini sudah cukup baik, setidaknya dalam tataran konsep kebijakan. Pemerintah pusat merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan Jaring Pengaman Sosial guna meminimalisir dampak ekonomi dari COVID-19. Secara umum, anggaran Rp 110 triliun dari APBN telah disiapkan dalam program Jaring Pengaman Sosial untuk masyarakat, terutama lapisan bawah dan golongan terdampak langsung.
ADVERTISEMENT
Setidaknya terdapat empat program unggulan yang akan dijalankan pemerintah dalam Jaring Pengaman Sosial, meskipun hampir kesemuanya adalah hasil modifikasi dari program yang sudah ada sebelumnya. Dilansir dari berbagai sumber, empat program Jaring Pengaman Sosial antara lain adalah: Pertama, Program Keluarga Harapan (PKH) dengan jumlah penerima manfaat mencapai 10 juta keluarga dengan besaran tiap komponen rata-rata naik sebesar 25 persen. Kedua, Program Kartu Sembako dengan total penerima manfaat ditargetkan mencapai 20 juta orang dengan nilai manfaat sebesar Rp 200.000/bulan. Ketiga, program kartu prakerja. Alokasi anggaran ditargetkan mencapai Rp 20 triliun dengan penerima manfaat mencapai 5,6 juta jiwa.
Penerima manfaat ini diprioritaskan untuk para pekerja informal serta pelaku usaha mikro dan kecil yang terdampak COVID-19. Besaran nilai manfaat kartu prakerja Rp 650.000 sampai Rp 1 juta per bulan selama empat bulan ke depan. Program keempat dan relatif baru yang dirumuskan saat pandemi ini berlangsung adalah mengenai tarif listrik. Secara umum program ini memfasilitasi pelanggan listrik 450VA yang akan digratiskan selama tiga bulan dan pelanggan 900 VA subsidi nantinya akan dikenakan separuh biaya (50 persen) dari tagihan selama tiga bulan, yakni April, Mei dan Juni tahun 2020. Berbagai program ini nantilah yang diharapkan mampu meringankan beban masyarakat terdampak wabah COVID-19.
ADVERTISEMENT
Minimalisir Potensi Salah Sasaran
Program stimulus dalam bentuk Jaring Pengaman Sosial dinilai akan memberikan secercah harapan dan maanfaat di tengah kondisi tidak menentu seperti saat ini. Hal ini tentu saja akan terwujud apabila dalam tataran implementasi dapat dilaksanakan dengan baik dan tepat sasaran. Masalahnya, seolah sudah menjadi budaya dalam setiap program bantuan sosial di Indonesia, sering kali terjadi kekeliruan data yang pada akhirnya membuat program ini menjadi tidak tepat sasaran seutuhnya. Masalah yang berpangkal dari kesalahan pendataan dan verifikasi data pada akhirnya membuat bantuan sebagian diterima oleh yang mereka mampu, bukan oleh golongan kurang mampu. Guna mengatasi masalah “kebocoran” dalam kondisi darurat seperti ini, maka peran satuan pemerintah mulai dari yang paling bawah hingga pusat menjadi sangat penting.
ADVERTISEMENT
Pemerintah (pelaksana kebijakan) harus memiliki kemampuan koordinasi yang baik dan responsif. Koordinasi yang baik di sini dimaknai sebagai upaya koordinasi dan implementasi program Jaring Pengaman Sosial berlandaskan integritas dan profesionalitas sebagai pelayan masyarakat. Anggaran besar yang sudah disediakan pemerintah pusat harus dibarengi dengan integritas dan profesionalitas para pelaksana agar mampu meningkatkan peluang keberhasilan program tersebut.
Perwujudan dari integritas dan profesionalitas dapat dilaksanakan dengan selalu melakukan update dan validasi data sesuai dengan keadaan masyarakat yang berhak menerima bantuan. Dalam hal ini, pemerintah Desa dan perangkat RT memainkan peranan penting guna memastikan kevalidan data. Selanjutnya, selain integritas dan profesionalitas, hal penting yang perlu ditingkatkan dalam menjamin efektivitas Jaring Pengaman Sosial adalah respons/daya tanggap yang baik.
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini di beberapa daerah tersiar berita masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah meskipun secara umum dinilai layak untuk mendapatkan, bahkan beberapa di antaranya sampai meninggal dunia. Aparat setempat berdalih, kelompok masyarakat tersebut dinilai tidak memenuhi persyaratan data dan administrasi serta terlambat mengumpulkan data. Hal tersebut tentu sangat tidak diharapkan untuk terulang kembali karena ini menyangkut hajat hidup masyarakat. Dalam kondisi darurat seperti ini, jika sebelumnya sudah tercapai prinsip integritas dan profesionalitas maka pelaksana program Jaring Pengaman Sosial dapat mewujudkan sikap responsif melalui diskresi kebijakan.
Hal ini setidaknya sudah dijamin dalam ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang menjelaskan diskresi sebagai keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Dalam konteks peraturan tersebut jelas bahwa dalam kondisi tertentu dan darurat, maka diskresi dapat dibenarkan selama ditujukan untuk meredam dan menyelesaikan masalah masyarakat serta dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.
ADVERTISEMENT
Adanya sikap dan kemauan para pelaksana kebijakan seperti apa yang telah dijelaskan di atas diharapkan mampu berdampak positif pada pelaksanaan Jaring Pengaman Sosial sehingga program ini nantinya program ini akan semakin efektif dan betul-betul dirasakan dan dimanfaatkan oleh pihak yang memang layak untuk mendapatkan bantuan. Kembali berkaca pada situasi darurat wabah COVID-19 yang melanda Indonesia, sudah saatnya kita semua bahu-membahu, mendukung sekaligus mengawasi program pemerintah, dan menciptakan iklim positif dalam setiap kebijakan yang diambil agar kita semua mampu melewati pandemi ini dengan sukses dan tanpa meninggalkan dampak berkepanjangan.
**Gerry Katon Mahendra - UNISA Yogyakarta