Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Reorientasi APBD
5 Mei 2020 9:24 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Gerry Katon Mahendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pasca lepas dari orde baru, Indonesia memiliki harapan baru pula untuk menyelenggarakan pemerintahan yang lebih aspiratif, terjangkau, dan transparan. Harapan tersebut mulai muncul terutama sejak munculnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah berlaku efektif sejak tahun 2000. Lahirnya Undang-Undang ini merupakan buah dari tuntutan reformasi yang berusaha untuk mewujudkan pemerintahan Indonesia yang lebih demokratis, adil, dan sejahtera.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang tersebut dipertegas kembali melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang ini mengatur hal-hal mengenai pembentukan daerah dan kawasan khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan, kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalam kebijakan otonomi daerah.
10 tahun berselang, Aturan kembali diubah melalui Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang tersebut disahkan Presiden Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 30 September 2014 dan mulai berlaku setelah diundangkan pada tanggal 2 Oktober 2015 oleh Menkumham Amir Syamsudin.
Secara umum aturan yang dijalankan masih dalam koridor yang sama, yakni penegasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. 22 tahun pasca reformasi dengan melewati tiga kali pergantian Undang-Undang, nyatanya pengelolaan pemerintah daerah hingga saat ini belum dapat dikatakan berjalan secara maksimal. Menurut Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo (2016) menyatakan setidaknya terdapat lima permasalahan krusial penyelenggaraan pemerintahan daerah.
ADVERTISEMENT
Pertama, rendahnya integritas penyelenggara pemerintahan daerah; Kedua, penyalahgunaan wewenang oleh kepala daerah dalam perizinan; Ketiga, inkonsistensi dokumen perencanaan dan penganggaran tahunan daerah; Keempat, kualitas pengelolaan keuangan daerah belum memadai; Kelima, kepatuhan pemda dalam melaksanakan urusan pemerintahan daerah belum optimal. Kelima masalah tersebut masih terus terulang dan belum dapat benar-benar diselesaikan dengan baik.
Porsi Besar Belanja Pegawai
Terbaru, pada akhir 2019 Kementerian Keuangan mendapati temuan yang cukup membuat publik kecewa sekaligus bertanya-tanya. Temuan tersebut menyoal pada penggunaan APBD yang dirasa belum efisien. Bagaimana tidak, Alokasi APBD sebesar 31% habis untuk perjalanan dinas dan jasa kantor. Kemudian 36% APBD habis untuk belanja gaji pegawai, sehingga secara umum hampir 70% APBD habis untuk mengurus ASN daerah.
ADVERTISEMENT
Temuan lain juga dinyatakan oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Dicontohkan dalam hal anggaran belanja di Pemerintah Provinsi selama 2018 misalnya, KPPOD yang mengutip data Kemenkeu menjelaskan bahwa 26% dari total belanja Rp 349,6 triliun digunakan untuk pegawai, 22% untuk barang dan jasa, serta 17% untuk belanja modal. Kondisi yang tidak lebih baik juga terjadi di Kabupaten/Kota. Tercatat dari belanja Rp 804,2 triliun, 40% di antaranya habis untuk gaji pegawai. 24% untuk belanja barang dan jasa serta 20% untuk belanja modal.
Jika komposisi ini terus menerus dipertahankan dan diulang tiap tahun anggaran, lantas kapan rakyat (publik) menikmati pembangunan yang seharusnya disediakan dan dihasilkan oleh pemerintah daerah melalui desentralisasi fiskal dan otonomi daerah ? Publik tentu berhak tahu, berhak menanyakan, dan berhak menuntut perbaikan terkait komposisi pengelolaan anggaran yang buruk tersebut. Buruknya pengelolaan APBD tersebut masih terus berulang karena melekatnya budaya-budaya lama yang belum sepenuhnya hilang dari karakter birokrasi daerah. Budaya tersebut di antaranya pendekatan penggunaan anggaran di daerah masih money follow function, bukan money follow program. Pengelolaan anggaran seharusnya lebih berfokus pada program atau kegiatan yang terkait dengan skala prioritas pembangunan nasional dan juga harus menjalankan program yang memberikan dampak langsung bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Melalui pendekatan ini diharapkan muncul skala prioritas alokasi yang tinggi pada program-program yang memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat; Program dan kegiatan yang akan didanai lebih tegas dan jelas, sehingga jelas sasaran yang akan dicapai lebih optimal dan teratur; Mendorong terciptanya efisiensi melalui koordinasi yang jelas antarprogram dan kegiatan.
Kedua, kapasitas fiskal daerah atau kemampuan keuangan masing-masing yang cenderung tidak merata dan rendah, khususnya bagi daerah otonomi baru. Hal ini yang kemudian cukup menyulitkan daerah untuk membagi skala prioritas APBD. Ketiga, dalih sikap defensif dari para pejabat daerah terkait risiko kesalahan dalam pengelolaan anggaran.
Terkait hal ini, seharusnya baik pusat maupun daerah memiliki kesamaan persepsi, selama alokasi anggaran dapat bermanfaat nyata untuk masyarakat dan dapat dipertanggungjawabkan, maka hal tersebut tetap harus mendapatkan legitimasi. Lalu keempat, mekanisme kontrol anggaran masih lemah yang kemudian menyebabkan belanja pemerintah daerah cenderung tidak tertib.
ADVERTISEMENT
Lemahnya kontrol anggaran dari berbagai pihak turut menyumbang peluang terjadinya inefektivitas dan inefisiensi anggaran. Lemahnya pengawasan umumnya disebabkan dua faktor. secara internal, umumnya terjadi karena rendahnya political will dari pemerintah daerah untuk membangun mekanisme sistem transparansi dan pengawasan anggaran. Secara eksternal, sikap masyarakat yang sudah terlanjur kecewa dan acuh sehingga membuat mereka enggan untuk turut serta mengawasi jalannya pemerintahan.
Kampanye APBD Berorientasi Publik
Melihat berbagai permasalahan terkait tren pengelolaan APBD yang cenderung masih kurang efektif dan tepat sasaran, maka perlu adanya sikap, kemauan, dan dipertegas melalui suatu kebijakan agar pengelolaan APBD di masa yang akan datang bisa jauh lebih baik lagi.
Terlebih pada masa penanganan wabah Corona Covid-19 seperti saat ini, alokasi-alokasi yang terkait penanganan medis dan jaring pengaman sosial-ekonomi wajib disediakan pemerintah daerah.
ADVERTISEMENT
Pemerintah daerah rasanya wajib melakukan realokasi APBD dan juga wajib cepat-responsif dalam tahapan implementasi agar percepatan pemutusan rantai penyebaran Covid-19 dan pengamanan dampak ekonomi dapat terlaksana dengan baik.
Selain itu, momen ini diharapkan pula mampu menjadi titik balik pengelolaan APBD agar lebih berorientasi pada publik, bukan semata-mata pada pegawai.
Mengapa kampanye ini penting disampaikan ? kita harus ingat bahwa sumber dari APBD-pun secara umum berasal dari masyarakat, sehingga masyarakat (publik) wajib mendapatkan nilai manfaat yang jelas dan berkualitas.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan guna mewujudkan hal-hal positif tersebut tentu harus terintegrasi, diawasi dengan baik, dan berlandaskan hukum yang tepat. Mulai dari pusat, baik Presiden hingga Kementerian terkait (Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan) harus satu suara terkait dengan orientasi alokasi anggaran.
ADVERTISEMENT
Budaya yang terbentuk selama ini, dimana hampir separuh APBD habis untuk belanja pegawai harus diubah agar lebih berorientasi pada masyarakat. Kesepakatan ini tentu saja harus dituangkan melalui kebijakan-kebijakan yang mengikat dan relevan.
Turun ke daerah, meskipun diakui cukup sulit untuk mengawasi penggunaan APBD diseluruh daerah yang ada di Indonesia, namun masih ada harapan terkait pengawasan yang dapat dilakukan melalui penguatan peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). APIP harus terus melakukan transformasi dan menjaga integritas dalam menjalankan tugasnya guna memberi nilai tambah bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Hal ini sejalan dengan fungsi dan peran APIP, yaitu melakukan pembinaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) dan mendorong peningkatan efektivitas manajemen risiko (risk management), pengendalian (control) dan tata kelola (governance) organisasi sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
ADVERTISEMENT
APIP harus mampu mengubah mindset dan memposisikan diri sebagai wakil masyarakat dan juga wakil pemerintah pusat guna memastikan integritas dan marwah pemerintah daerah tetap terjaga dan berkualitas baik, terutama soal penggunaan anggaran daerah. APIP juga harus tetap memliki kekuatan untuk menjaga salah satu indikator efektivitas dan efisiensi pemerintahan daerah melalui kewajiban self-correcting.
Selanjutnya, harus ada upaya untuk mendorong dan menggalakkan dibentuknya sistem pengawasan anggaran secara terbuka dan real time yang diinisasi oleh pemerintah daerah itu sendiri dan juga disepakati serta dikawal oleh tokoh/perwakilan masyarakat dan LSM. Inisiasi dan perwujudan program ini akan menjadi langkah strategis guna menekan penyalahgunaan pos anggaran semaksimal mungkin.
Pada akhirnya, baik pemerintah daerah dan masyarakat harus sadar bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) bukanlah jadwal bagi-bagi “kue” tahunan dengan porsi diluar alokasi yang telah ditentukan, melainkan amanah yang secara umum dihasilkan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sebagaimana amanat dari jalan reformasi-demokrasi yang sudah dipilih oleh segenap elemen bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan semangat tersebut, pemerintah daerah sebagai pihak yang diamanahkan untuk mengelola anggaran sudah seharusnya mampu bertanggung jawab dan menampilkan performa yang berkualitas serta mengutamakan anggaran tersebut semata-mata untuk kepentingan masyarakatnya.