Konten dari Pengguna

Bagaimana Moderasi Beragama Membunuh Agama?

Geza Bayu Santoso
Philosophy Student, State Islamic University Of Sunan Kalijaga Yogyakarta
11 November 2023 19:04 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Geza Bayu Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi simbol beberapa Agama. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi simbol beberapa Agama. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Deradikalisasi dan modernisasi islam adalah tema adiluhur yang pertama kali saya dengar saat SMK tahun pertama. Terdengar sangat asing untuk bocah kimia analis yang pengetahuan tentang agamanya minim, saya menghabiskan masa putih abu-abu tanpa kisah asmara, waktu saya nyaris habis untuk melakoni kerja organisasi dan menulis laporan praktikum yang menyebalkan.
ADVERTISEMENT
Selain menghafal rumus kimia, prosedur praktikum, dan sifat atom, saya juga mengemban amanah sebagai ketua rohani islam. Sebuah jabatan yang menjebak saya dalam jurang kesucian, karena jabatan yang terdengar agamis ini, saya jadi sungkan untuk berpacaran, ada nama baik organisasi yang harus dijaga. Semacam kisah cinta masa putih abu-abu yang sungguh abu-abu. Jadi sedikit berwarna setelah jabatan ini mengantarkan saya mengenal konsep moderasi beragama.
Notifikasi pesan daring masuk, kabar mengejutkan hadir ketika kami (Rohis Al Kindi SMKN 3 Kimia Madiun) terpilih menjadi wakil Kota Madiun untuk menghadiri konferensi deradikalisasi dan modernisasi islam di Surabaya. Diskusi, tukar pikir, dan perdebatan argumen berakhir, para peserta pulang dengan konsep moderat sebagai solusi terbaik untuk menangani masalah agama di Indonesia. Konsep seimbang, tengah-tengah, atau tawasuth jadi solusi utama yang tak terbantahkan.
ADVERTISEMENT

Moderasi, Deradikalisasi, dan Modernisasi

Moderasi merupakan cara pandang yang menjadikan keseimbangan sebagai nyawa, pengambilan sikap yang tidak berlebihan atau secukupnya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengungkapkan makna moderasi sebagai pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Jika digabung, praktik moderasi beragama adalah sikap/ cara pandang/ kebijakan yang adil dan tidak ekstrem dalam melihat perbedaan dalam praktik keagamaan.
Deradikalisasi berasal dari kata “radikal” dengan imbuhan “de” yang artinya mereduksi atau mengurangi. Deradikalisasi ialah upaya untuk mengurangi atau menghilangkan sikap yang radikal atau ekstrem, terutama dalam konteks ideologi politik dan agama.
Lalu muncul pertanyaan apa perbedaan moderasi dengan deradikalisasi, keduanya memang nyaris sama, pendekatannya seimbang, terbuka terhadap perbedaan, dan bertujuan untuk menciptakan keharmonisan hidup.
ADVERTISEMENT
Perbedaan ada pada konteks implementasi dan fokus tujuan. Moderasi berfokus untuk mencapai keseimbangan dalam banyak aspek, baik itu tindakan, sikap, atau kebijakan. Deradikalisasi fokus pada pengurangan sikap radikal pada individu atau kelompok. Implementasi moderasi sifatnya umum dan biasanya untuk konteks sosial politik yang luas. Deradikalisasi diterapkan pada ruang yang lebih kecil yaitu individu yang telah terlibat dalam tindakan radikal.
Modernisasi adalah kondisi sosial yang sedang kita jalani, sebuah era di mana teknologi dan industrialisasi berhasil mendekap tubuh manusia, kemudahan hidup yang ditawarkan menghadirkan pragmatisme dalam kehidupan sosial. Dalam perjalanannya, transformasi modernisasi menyajikan banyak masalah, salah satunya adalah logika dikotomi pelaku digital dalam melihat dunia, perdebatan baik buruk, benar salah, layak dan tidak layak, jadi asam garam para netizen budiman.
ADVERTISEMENT

Matinya Moderasi Beragama?

Apakah moderasi beragama akan senasib dengan demokrasi yang diprediksi akan mati, jawabannya adalah mungkin saja terjadi, mengingat modernisasi dan rentetan masalah yang ia bawa telah mengubah struktur sosial dan budaya kita tentang bagaimana seyogyanya menjadi manusia agama. Perubahan sosial akan perlahan membunuh konsep moderasi, atau dalam artian lain konsep keseimbangan dalam moderasi beragama lama-lama akan ditinggalkan karena dirasa irelevan.
Buku berjudul Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) karya Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), menyadarkan penulis bahwa konsep moderasi beragama adalah pilihan yang abu-abu sebab kemenangan dalam peradaban diraih dengan keberpihakan. Moderasi mengajak kita untuk tidak ekstrem, mengambil jalur tengah, dan pilihan semacam ini tidak akan membawa kita kemana pun. Narasi ketidakpuasan adalah pengingat bahwa moderasi beragama berpotensi mati dalam perjalanannya.
ADVERTISEMENT
Bahwa moderasi beragama berhasil membawa Indonesia pada persatuan dan keharmonisan praktik beragama adalah fakta yang tak terbantahkan. Indonesia yang heterogen mesti memiliki kata kunci agar kerukunan dapat terimplementasi, moderasi beragama adalah jawaban dari kekhawatiran akan terjadinya konflik di Indonesia yang super bhinneka. Jika sumpah pemuda menyatukan kita atas perbedaan bangsa, maka praktik keagamaan punya moderasi beragama yang efektif membawa kita pada kesepakatan untuk menerima keberagaman.
Namun, perubahan nilai masyarakat membawa moderasi beragama pada pinggir jurang kematian, konsep moderasi beragama musti naik jadi inovasi beragama, seperti apa yang telah ditawarkan oleh Aji Sofanudin, Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan, BRIN. Agama sudah waktunya berdialog dengan disiplin ilmu lain untuk menghadirkan inovasi, menawarkan solusi, dan menjaga relevansi di tengah modernisasi yang regresif.
ADVERTISEMENT