Konten dari Pengguna

Bagaimana Universitas di Indonesia Membunuh Demokrasi?

Geza Bayu Santoso
Philosophy Student, State Islamic University Of Sunan Kalijaga Yogyakarta
14 Desember 2023 16:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Geza Bayu Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Universitas. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Universitas. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sejak kapan universitas tidak boleh berpolitik atau lebih tepatnya tidak boleh melakukan kegiatan politik di kampus, siapa pelaku depolitisasi terang-terangan ini. Bagaimana bangsa ini mau besar dan mencintai ilmu pengetahuan, jika diskusi saja dicekal dengan alasan yang tidak masuk akal.
ADVERTISEMENT
Bagaimana integrasi-interkoneksi agama dan sains bisa diwujudkan, jika kebebasan akademik terus dikekang. Pertanyaan ini tak perlu dijawab, apalagi anda debatkan di bangku kuliah, tak ada yang bisa kita harapkan dari kampus yang terang benderang membunuh semangat demokrasi.
Prof Al-Makin, Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, melarang acara bertajuk Festival Keadilan, Ahad, 10 Desember 2023. Acara yang awalnya akan diselenggarakan di GOR Tenis UIN Sunan Kalijaga ini harus batal dengan alasan yang tidak rasional. “Semua acara politik tidak boleh,” ucap Al-Makin lewat pesan daring. “Bahaya,” lanjutnya. Bayangkan, pernyataan jelek itu keluar dari mulut guru besar, panelis debat capres 2024, dan penulis tekun yang kebetulan momong kampus.
Jahat sekali tangan rektor satu ini, padahal dia baru saja menulis opini progresif berjudul “Bangsa Besar, Cinta Ilmu Pengetahuan” di kolom kompas.com. “Riset, pemikiran, dan gagasan harus diutamakan,” tulis Al-Makin di akhir esainya.
ADVERTISEMENT
Bagaimana mahasiswa anda bisa berpikir jika diskusi saja dilarang, bagaimana mimpi kampus mendunia itu ada jika kebebasan akademik anda kebiri dengan tangan besi. Katanya perubahan hanya mampu diwujudkan jika manusianya memiliki kebebasan berpikir, tapi diskusi sebagai jalan terbaik untuk merawat tradisi intelektual malah anda cekal. Why?
Pemilu dengan rentetan prosedur elektoral telah menyuguhkan fakta bahwa negara gagal dalam mewujudkan keadilan. Praktik politik melenceng jauh dari tujuan utamanya, rakyat kecil merobek perut karena tak bisa beli beras, sedangkan koruptor mengakali hukum agar tak mencicipi jeruji besi. Kita sedang menonton teater kumpulan hewan, saling menerkam memangsa musuhnya, sayang beribu sayang, saya tak kuasa menyebut hewan apa saja yang layak tersemat untuk para politisi yang membuang moral dalam tong sampah.
ADVERTISEMENT

Demokrasi Kosong Nyaring Bunyinya

Saya adalah pemilih amatir, sebab pemilu 2024 adalah pemilihan umum pertama setelah dua dasawarsa hidup di Indonesia. Sebagai warga negara yang nyaris baik, hal pertama yang musti saya lakukan adalah mengajak diri saya untuk menjadi pemilih yang pintar, saya membaca banyak hal mengenai politik– terutama nalar penyelenggaraan pemilu, pencarian panjang ini melahirkan satu pemahaman bernada “demokrasi kosong nyaring bunyinya”.
Indonesia sebagai negara dengan peserta pesta demokrasi terbesar ke-3 di dunia terus mencari substansi dari demokrasi. Jalannya sungguh terjal, saling sikut, dan sangat memuakkan. Benar kita makin dewasa dalam bernegara, tapi mendekati pemilu seperti ini, kedewasaan berpolitik luruh hanya karena kepentingan jangka pendek yang memabukkan. Suara rakyat diamputasi, narasi anak muda dijual, dan konstitusi dilucuti demi kepentingan oligarki.
ADVERTISEMENT
Demokrasi kita sebagai bangsa dan negara jelas kosong, kita merindukan substansi dalam demokrasi yang adiluhur, kondisi di mana negara hadir untuk hati dan pikiran rakyat. Sayangnya, harapan demokrasi substansial menjadi nyata makin jauh dari harapan, proses prosedural kita dalam menyelenggarakan pemilu saja masih terlunta-lunta, kasus pelanggaran kode etik mahkamah konstitusi adalah puncak dari “kekosongan” demokrasi yang kita agung-agungkan modern ini.
Mengutip manifesto Festival Keadilan yang dicekal Rektor UIN. Kami tidak percaya dengan sistem keterwakilan, perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara yang melecehkan makna demokrasi. DPR tak mengawasi dan Mahkamah Konstitusi tak menjaga, bahkan saat presiden melenceng jadi oportunis yang bengis. Memang tidak ada model ideal bagaimana seharusnya demokrasi dijalankan, tapi Marco Kartodikromo pernah bilang “Mendidik rakyat dengan pergerakan, mendidik penguasa dengan perlawanan!”.
ADVERTISEMENT

Tradisi Intelektual Universitas

Tom Nichols pernah menulis fakta menyedihkan bahwa universitas adalah pelaku utama yang membunuh kepakaran. Loh, bagaimana bisa kampus yang jadi sarang intelektual, laboratorium ilmu pengetahuan, dengan tega membunuh kepakaran.
Ya, itu adalah fakta yang cepat atau lambat akan menghantui Indonesia, komersialisasi pendidikan adalah pelaku utamanya. Industri pendidikan membawa satu paradigma bahwa mahasiswa selalu benar, pemahaman inilah yang membawa kepakaran berjalan cepat menjemput kematian.
Komersialisasi pendidikan adalah preseden buruk penyelenggaraan dunia pendidikan tinggi, sudah banyak suara penolakan, puluhan aksi massa turun tangan meminta perbaikan, namun sayang beribu sayang, tak pernah ada perubahan yang serius, bahkan bisnis ini telah merengut nyawa manusia.
Pendidikan bukan lagi alat untuk melepaskan manusia dari penindasan, tapi pendidikan justru menindas manusia itu sendiri. Tak ada yang bisa kita harapkan dari kampus yang kehilangan tradisi intelektualnya, apalagi universitas yang memperjarak mahasiswa dengan gagasan, diskusi, dan semangat oposisi.
ADVERTISEMENT
Universitas membunuh demokrasi dengan mencekal diskusi, melarang acara politik hadir di kampus, dan tunduk pada pemerintahan yang oligarkis. Rektor yang melarang diskusi politik adalah bagian dari oligarki kecil.