Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.2
Konten dari Pengguna
Bagaimana Universitas di Indonesia Membunuh Kepakaran?
16 Januari 2024 18:09 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Geza Bayu Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Teknologi sering disebut-sebut sebagai pelaku utama dalam matinya kepakaran, memang benar dan tak terbantahkan, bahwa tsunami informasi sosial media telah membawa manusia untuk tahu banyak namun paham sedikit (pendangkalan berpikir). Lima menit saja berselancar di internet, kita bisa membaca argumen ideologi, sosial, budaya, bahkan opini filsafat yang luhur.
ADVERTISEMENT
Namun, era keberlimpahan informasi, membawa manusia memasuki fase “seolah-olah”, kita merasa tahu banyak akan suatu isu yang baru saja lewat di sosial media, tapi pada faktanya, apa yang kita pahami hanyalah secuil dari luasnya samudera pengetahuan. “90 persen dari semua hal (di dunia maya), adalah sampah," ujar Tom Nichols.
Kepakaran atau keahlian ada pada pinggir jurang, sama seperti demokrasi modern ini. Sedikit saja salah langkah, kepakaran di Indonesia diprediksi akan mati. Pakar adalah penyeimbang kehidupan berbangsa, ia dibutuhkan untuk mengambil keputusan sekaligus memberi nasihat kepada penguasa.
Jika kepakaran terancam, itu artinya demokrasi yang memberi kebebasan kita untuk berpendapat juga akan goyang. Jika kondisi semacam ini terjadi, Indonesia mudah saja dipimpin oleh penguasa yang jahat dan manipulatif. Pakar tak lagi penting, ia hanya dianggap sebagai pendengung yang agung, penguasa mengambil keputusan politik untuk memenuhi ego sentris satu golongan.
ADVERTISEMENT
Menariknya, Tom Nichols penulis buku The Death of Expertise tak menyalahkan teknologi sebagai satu-satunya pelaku, perguruan tinggi juga jadi salah satu penyebab matinya kepakaran. Saat membaca judul bab ini, saya agak kurang setuju dengan Tom Nichols. Mana mungkin produsen pengetahuan bernama universitas membunuh kepakaran.
Namun, Tom mampu meyakinkan pembaca bahwa komersialisasi pendidikan adalah salah satu pelaku, praktik kapitalisasi lembaga pendidikan tinggi telah memunculkan satu paradigma bahwa mahasiswa selalu benar. Akibatnya, mahasiswa tak begitu peduli dengan keahlian dosen dan acuh terhadap kualitas penyelenggaraan pendidikan tinggi. Kondisi semacam ini sedang menghantui dunia pendidikan Amerika. Lalu bagaimana Indonesia?
Obsesi Angka
Neoliberalisasi perguruan tinggi, komersialisasi pendidikan, dan kampus tidak melahirkan intelektual adalah kritik terhadap dunia pendidikan Indonesia dewasa ini. Sebagai mahasiswa, saya merasakan tiga hal di atas saat mencicipi bangku kuliah.
ADVERTISEMENT
Para dosen mengeluh dengan kerja administrasi, mahasiswa kehilangan tradisi intelektual karena fokus mengejar angka semu di kartu hasil studi, dan keluhan atas mahalnya biaya kuliah. Semua ini terjadi karena dunia pendidikan Indonesia terlalu menuhankan angka, semuanya dinilai berdasarkan kuantitas bukan kualitas.
Kampus berlomba-lomba untuk menerbitkan jurnal ilmiah, tradisi ini pada dasarnya baik, tapi yang terjadi di Indonesia, kuantitas yang ada sama sekali tidak menunjukkan kualitas para pelaku yang terlibat. Beban administrasi dosen juga berdampak pada efektivitas saat di kelas, apalagi pejabat kampus yang diberikan jam untuk mengajar mahasiswa, mereka sering absen meninggalkan kelas, alasannya selalu sama, melakoni tugas universitas untuk akreditasi kampus.
Institusi pendidikan di Indonesia mengatur atau bahkan memaksa mahasiswa untuk menjadi buruh intelektual. Bayangkan, betapa bodohnya para mahasiswa ini, termasuk saya. Tiap awal semester kita dipaksa untuk membayar uang kuliah, setelah itu kita bekerja (menulis, membaca, meriset) kepada universitas agar kampus cukup syarat untuk mendapatkan label internasional semu.
ADVERTISEMENT
Ingat! semua ini mahasiswa lakukan tanpa dibayar. Fakta lainnya, kampus mendesak, mendorong, dan menginginkan mahasiswa untuk lulus cepat, tanpa memastikan bahwa kualitas peserta didiknya benar-benar terampil.
Sistem pendidikan direstrukturisasi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan elite politik dan bisnis– yang merupakan penerima manfaat dari kerangka pendidikan berorientasi pasar tersebut. Kebijakan-kebijakan neoliberal seperti standarisasi, kompetitivitas, dan orientasi pasar telah menjadi dasar kebijakan, kurikulum, dan praktik pendidikan tinggi di Indonesia (Mulya, 2016).
Praktik semacam ini benar-benar mengancam kepakaran, sebab mahasiswa kehilangan tradisi intelektual (berpikir kritis, resolusi masalah, dan kemampuan berargumentasi). Kerangka pendidikan Indonesia, pelan namun pasti akan membunuh budaya baca buku, diskusi, dan riset.
Persimpangan Jalan Pendidikan
Pendidikan Indonesia jelas tertinggal ratusan tahun dengan negara maju. Tapi mari kita bandingkan kualitas universitas di Indonesia dengan negara tetangga Malaysia. Dulu saat awal kemerdekaan Malaysia, banyak guru Indonesia yang dikirim ke sana untuk berbagi pengetahuan.
ADVERTISEMENT
Sekarang kondisinya terbalik, berdasarkan QS World University Rankings 2024, University Malaya berhasil menempati posisi 65 universitas terbaik di dunia, sedangkan Universitas Indonesia jauh berada di bawah menempati posisi 237. Tentu ada yang salah dari dunia pendidikan tinggi negara ini.
Dari dulu peta masalah pendidikan nasional selalu berbicara mengenai akses, kualitas, dan sarana prasarana. Tapi tak pernah serius untuk diselesaikan. Jika dibiarkan tanpa solusi, mimpi Indonesia maju hanyalah khayalan yang jauh panggang dari api.
Indonesia emas hanyalah narasi tipu daya untuk memberi secercah harapan palsu di tengah kondisi dunia yang serba krisis. Kecemasan akan masa depan yang suram tak bisa ditutupi dengan bualan manis Indonesia emas, kebobrokan sistem pendidikan mesti diselesaikan. Keberpihakan politik kepada dunia pendidikan mesti jadi isu penting para penguasa.
ADVERTISEMENT
Sebab kesenjangan intelektual nyata ada di depan mata, terlalu terang jika kita membandingkan kualitas pendidikan Jawa dan Kalimantan. Tak usah jauh-jauh, dulu saat kelas dua SMA, saya ikut lomba tingkat provinsi di Surabaya, perbedaan kapasitas intelektual murid SMAN 5 Surabaya dengan anak-anak dari daerah non metropolitan seperti Madiun sangatlah timpang.
Mereka pada usia yang masih sangat muda, sudah mengutip teori Adam Smith bahkan Rene Descartes saat presentasi. Sedangkan saya, masih terbata-bata mendefinisikan apa itu demokrasi. Sulit membayangkan Indonesia bisa dibangun berdasarkan ilmu pengetahuan, mengingat kesenjangan intelektual di lapisan masyarakat masih sangat tinggi.
Pemilu 2024 juga kembali mempertontonkan kegagalan pendidikan Indonesia, masih banyak konstituen muda yang memilih calon pemimpin berdasarkan sentimen dangkal, kampanye hitam, dan membuang berpikir objektif ke dalam tong sampah. Tahun politik juga tidak menunjukkan keberpihakannya kepada peningkatan kualitas pemilih, rakyat dipertontonkan praktik kekuasaan yang rakus dan bengis. Kebusukan kecil yang dibiarkan tanpa solusi dalam praktik politik Indonesia adalah gambaran bagaimana pendidikan, ilmu pengetahuan, dan sistem meritokrasi— kalah dengan praktik politik yang arogan.
ADVERTISEMENT
Sepandai apa pun negara mempertontonkan kebodohan kepada masyarakat, kesadaran rakyat akan hidup yang jauh lebih baik akan terus muncul, dan pendidikan adalah syarat mutlak. Persis seperti apa yang diucapkan Nelson Mandela, pendidikan merupakan senjata yang paling ampuh untuk mengubah dunia.
Jika negara dan instrumennya masih malu membagikan buku saat kampanye, maka gagasan Indonesia emas hanyalah omong kosong yang terus diromantisasi. Pendidikan adalah hak dasar kita sebagai manusia Indonesia, jika negara gagal memenuhinya, maka 100 tahun kemerdekaan Indonesia adalah pesta kegagalan.