Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.2
Konten dari Pengguna
Hujan Residu Orba, Bersiaplah Warga Biasa!
8 Januari 2024 14:52 WIB
Tulisan dari Geza Bayu Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Benar bahwa kita pernah mustahil menjadi negara, Indonesia yang beragam ini diprediksi tak akan bisa menjadi negara kesatuan. Namun, para pemikir bangsa tak menyerah, mereka berpikir keras sekaligus berdebat hebat. Kebangkitan Nasional, Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan, dan momen penting sejarah panjang Indonesia adalah bentuk konkrit atas cita luhur para pendiri bangsa. Mereka berpikir untuk masa depan, untuk saya, pembaca, dan seluruh masyarakat Indonesia. Agar anak cucu bisa hidup damai, aman, dan sentosa.
ADVERTISEMENT
Dua tahun yang lalu, saat saya membaca biografi HOS Tjokroaminoto di dalam kereta Sancaka jurusan Madiun-Yogyakarta. Saya merenung sekaligus bertanya, mengapa Pak Tjokro dan muridnya mau merelakan waktu untuk memikirkan nasib bangsa Indonesia. Soekarno dengan Nasionalisme (PNI), Samaun dengan haluan kiri yang kemudian membentuk Partai Komunis Indonesia, dan Kartosuwiryo lewat kekuatan Islam Nasionalis (DI/TII). Apa yang mereka resahkan dan inginkan? Demi apa mereka memforsir masa produktifnya untuk melahirkan ideologi-ideologi yang kini tabu untuk diperdebatkan itu?.
Hingga pada puncaknya mereka mampu membangun kerangka negara yang kokoh, mereka mewariskan nilai, ideologi, dan mental untuk melanjutkan perjalanan arah bangsa. Kita akhirnya merdeka pada tahun 1945, bergembira atas pencapaian luar biasa hasil kerja sama. Namun, tak lama dari itu, kita dihadapkan pada problem yang pelik dalam kehidupan politik. Hingga pada puncaknya negara besar ini dipimpin oleh pemimpin otoriter nan koruptif bernama Soeharto. Zaman yang kita kenal dengan istilah orde baru, kondisi sosial politik yang mengubah arah perjalanan bangsa, baik atau buruk itu perdebatan yang tak akan selesai. Tapi bagi generasi muda, orde baru tak layak diulang sebab ia menakutkan.
ADVERTISEMENT
Saya dan Orde Baru
Orde baru bukanlah masa yang pernah saya cicipi, saya mengenalnya lewat ceramah, buku, dan obrolan warung kopi. Tak banyak yang saya rasakan soal orde baru. Saat SMP, kakek pernah cerita bahwa zaman Soeharto adalah periode kepresidenan yang panjang, rakyat merasa aman, petani sejahtera, harga pangan murah, dan politik cenderung stabil tanpa gejolak. Mungkin banyak warga pedesaan yang sepakat dan merasakan hal yang sama. Mereka tak begitu risau dengan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme yang masif di dalam praktik pemerintahan.
Tumbuh dewasa dengan kesadaran politik yang cukup baik, saya membaca beberapa buku tentang orde baru, kisah para pendiri bangsa, dan berkumpul dengan kawan-kawan pemerhati sosial. Saat SMA inilah pola pikir saya tentang orde baru berubah drastis. Soeharto menjadi sosok yang menakutkan, jahat, dan bengis. Orde baru jadi periode kepemimpinan diktator yang tak layak diulang. Ditambah pada masa yang sama, saya mulai mengenal peristiwa Reformasi 1998, sebuah momen perlawanan atas 32 tahun kepemimpinan Soeharto yang represif. Tokoh seperti Budiman Sudjatmiko, Nezar Patria, dan Fadli Zon tak lagi asing, saya membaca dan memahami gagasan besar mereka.
ADVERTISEMENT
Aktivis 98 yang menggelora akhirnya kehilangan tradisi perlawanan, mereka bersatu dengan musuh yang dulu mereka lawan. Sebut saja Budiman Sudjatmiko yang sekarang sibuk memperbaiki kekurangan Prabowo Subianto. Calon presiden nomor urut 02 yang punya sejarah kelam kejahatan HAM berat. Bayang-bayang ini tak mungkin bisa dipisahkan dari diri seorang Prabowo. Budiman yang idealis tak lagi ada, ia terlihat seperti oportunis yang mendukung pelaku penghilangan kawan-kawan seperjuangannya. Bukan hanya Budiman, banyak juga aktivis yang akhirnya mereduksi kapasitas intelektualnya untuk mendukung sang penjahat HAM.
Rentetan ketidakjelasan posisi aktivis ini memunculkan paradigma baru dalam benak anak muda. Aktivisme akhirnya menjadi hal yang aneh, anak muda skeptis dengan agenda perlawanan. Banyak yang berpikir bahwa menjadi aktivis hanyalah batu loncatan untuk masuk parlemen. Menjadi oposisi adalah hal yang tabu dan tak baik. Semangat yang dibangun oleh Social Movement Institute dan lembaga swadaya masyarakat untuk menjaga keseimbangan demokrasi sering dianggap sebelah mata. Agenda oposisi justru dituduh represif dan tak beretika.
ADVERTISEMENT
Kasus Gielbran Presiden Mahasiswa UGM 2023 adalah bukti betapa jahatnya negara dalam merusak karakter para aktivis muda. BEM KM UGM 2023 menghadiahi Jokowi sebagai alumni paling menjijikkan, potongan video pernyataan Gielbran viral di media sosial. Ia dianggap tak beretika, anak muda yang tak punya sopan santun, dan tuduhan jahat yang nampak terstruktur. Negara adalah pelaku terbaik untuk membungkam suara kritis. Represifitas negara memang tak hadir lewat pendekatan militer, tapi ia membungkam dan menekan lewat media sosial.
Hujan Residu Orba
Orde baru memang sudah tumbang, tapi residu (watak, tokoh, dan nilai) yang diwariskan masih berkeliaran. Bahkan tokoh yang menempati posisi penting dalam pemerintahan masih saja melanggengkan watak orba yang otoriter. Indonesia tak benar-benar bisa lepas dari cengkraman orde baru. Anak muda yang dilibatkan dalam proses politik hanyalah kulit semata. Daging dan seluruh organ operasional negara ini masih lekat dengan pola orde baru yang membuang kedaulatan rakyat ke dalam tong sampah.
ADVERTISEMENT
Orde baru berhasil mencuci otak manusia Indonesia. Memperbincangkan ideologi adalah hal yang tidak baik. Kita dipaksa seragam, ikan di dalam aquarium dibina agar terus bodoh dan merasa puas, tak sadar bahwa lautan jauh lebih indah dan bebas. Manusia dipaksa tunduk kepada negara, pembangkangan adalah awal kematian, dan segala bentuk perlawanan kepada pemerintahan adalah perilaku yang mesti diganjar dengan senapan. Tentu saya tidak merasakan betapa jahatnya orde baru, tapi membayangkan betapa ketakutan kala itu menghantui masyarakat, sedikit banyak bisa tergambarkan oleh banyak cerita yang pernah saya baca.
Tibalah pada era reformasi yang memberi kita hadiah kebebasan sekaligus ancaman dengan bentuk yang jauh lebih menakutkan. Kepemimpinan bisa berlindung dengan populisme semu untuk menutupi kejahatan saat menikmati kekuasaan. Pendidikan dibuat mahal agar masyarakat terus bodoh dan tak sadar bahwa penguasa telah merusak tatanan konstitusi. Ibarat bermain sepakbola, penguasa telah menggeser gawang agar tendangan dari calon penguasa lain bisa menjadi gol. Orde baru nyata bangkit dalam bentuk yang halus, salah satunya adalah fakta bahwa partai politik tak lagi memperhitungkan ideologi sebagai nilai dalam mengambil keputusan.
ADVERTISEMENT
Residu orde baru makin kuat. Endapan itu berkumpul lagi. Ia mulai mempertontonkan watak dan perilaku yang otoritatif. Mulai mengekang kebebasan berpendapat, mengancam pers sebagai salah satu pilar demokrasi, mengedepankan ego ketimbang rasionalitas dalam bertindak. Membuang kepentingan rakyat dan mengedepankan kepentingan golongan, mengganti rekam jejak buruk dengan pencitraan semu. Pemilu 2024 tak membawa Indonesia kemanapun, kita tetap terpecah belah, saling mencaci, memaki, mengumpat, menghina, berbohong, dan mengkerdilkan adab. Masyarakat diadu domba untuk melayani kepentingan penguasa yang belum tentu mewakilinya.
Demokrasi keterwakilan tak jelas mewakili siapa, arah bangsa berada pada persimpangan jalan. Kita punya modal menjadi negara besar, digdaya, dan disegani. Tapi tak punya cukup mental untuk mencapainya. Bersiap untuk segala hal buruk tahun politik, kita tak punya ratu adil saat hasil pemilu diperdebatkan, sebab sedari awal memang telah dirusak. Mari sadar bahwa bertengkar untuk momen lima tahunan adalah hal bodoh. Kita warga biasa yang hidup dalam demokrasi tipu-tipu, sudah waktunya berhenti menguras tenaga untuk saling menyudutkan sesama masyarakat, mari kita kembalikan nilai luhur bangsa, cita-cita pendiri bangsa. Tetap solid dan siap mendobrak jika negara gagal mengembalikan kedaulatan kepada tangan rakyat.
ADVERTISEMENT