Konten dari Pengguna

Kuntowijoyo dan Pil Pahit Pemilu 2024

Geza Bayu Santoso
Philosophy Student, State Islamic University Of Sunan Kalijaga Yogyakarta
10 Maret 2024 15:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Geza Bayu Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
Apa pil pahit yang mesti kita telan pasca pemilihan umum 2024? Ya, kondisi masyarakat yang memilih “makan” ketimbang demokrasi yang berkeadaban. Sebentar, tidak ada yang salah dari makan siang gratis, ini program yang baik untuk pemenuhan gizi anak sekaligus modal awal untuk menunjang pertumbuhan (fisik/akal). Namun, musti kita akui bahwa janji politik satu ini membuka jalan kecurangan yang cukup lebar saat nanti diterapkan. Atas praduga bodoh saya, makan siang gratis akan satu nasib dengan bansos, program ini akan dipolitisasi mendekati pemilu 2029, itupun jika Prabowo-Gibran menang dan berhasil membungkam suara kecurangan yang selama ini dituduhkan kepada koalisinya.
ADVERTISEMENT
Jauh dari gedung pencakar langit Jakarta. Nyaring suara genderang kemerosotan demokrasi terdengar dari segala penjuru. Warga desa menyebutnya “penguasa yang lupa arah” mereka terlalu fokus merebut kekuasaan hingga lupa memanfaatkan kekuasaan, lupa mendayagunakan kuasa untuk mengembalikan kedaulatan kepada tangan rakyat. Orang kampus, kelas menengah terdidik, menyebutnya dengan democratic backsliding, regression, and stagnation. Secara prosedural, demokrasi Indonesia nampak berjalan normal lewat pemilihan umum yang diselenggarakan KPU. Namun, dalam ranah demokrasi substansial, penguasa kembali menunjukkan taji kebengisannya. Moralitas, etika, dan nilai keadaban bangsa dibuang untuk memenuhi hasrat segelintir golongan.
Mari kita kembali pada pil pahit pasca pemilihan umum. Bre Redana menyampaikan satu fakta yang cukup telak, begini cuitnya di sosial media X: “Secara global hasil pemilu adalah cerminan kemenangan era digital atas analog. Medsos atas buku. Kegaduhan atas refleksi. Kegadungan atas kenyataan. Selebritas atas guru besar. Joged atas diskusi.” Ya, inilah fakta demokrasi yang mesti kita renungi bersama, saat masyarakat tak menggubris para pakar dan sibuk meyakini kebenaran semu yang keluar dari mulut para artis. Saat diskusi dua arah dan tukar pikiran terbukti kalah dengan joget dangkal. Ya, mari kita terima fakta pahit ini sembari terus mengupayakan hal baik.
ADVERTISEMENT
Pancasila Pasca Pemilu 2024
Tak pernah membayangkan bagaimana nasib Indonesia tanpa Pancasila, mungkin banyak dari kita mulai bosan dengan pandangan hidup satu ini. Ia dilafalkan setiap upacara, terpampang di atas papan tulis sekolah, dan hadir dalam laku hidup manusia Indonesia. Ditambah lagi fakta bahwa membicarakan ideologi adalah hal yang aneh modern ini, mereka tampak seperti kumpulan manusia yang gagal berinovasi lalu menuhankan masa lalu. Kita boleh tidak suka dengan perdebatan mengenai pancasila, tapi ketidaksukaan tersebut tidak akan menghapus fakta bahwa Pancasila terbukti efektif membawa bingkai keharmonisan dalam riuh kebhinekaan.
Pancasila adalah jembatan yang menghubungkan keberagaman, ia memecah batas-batas wilayah dengan nilai luhur hasil kesepakatan bersama, kesaktiannya membentuk kekuatan sosial untuk menghadang segala bentuk ancaman. Mari kita berangkat dari pertanyaan Dr. Kuntowijoyo dalam buku “Demokrasi dan Budaya Birokrasi”. Apakah ideologi Pancasila akan selamat dan menyelamatkan Indonesia di masa mendatang? jawabannya bisa iya dan bisa tidak, namun tulisan sederhana ini akan membaca ulang kesaktian praksis pancasila pada pemilihan umum 2024. Apakah nilai ideologis Pancasila menjadi laku hidup manusia Indonesia untuk merebut, mempertahankan, dan menggunakan kekuasaan?
ADVERTISEMENT
Dr. Kuntowijoyo dengan tegas menyatakan bahwa dalam ideologi Pancasila, politik tidak semata-mata untuk keperluan kekuasaan seperti tampak dalam istilah “politik kekuasaan” yang memandang kekuasaan sebagai ajang perebutan, melainkan politik yang bertanggung jawab untuk menghadirkan keadilan, pemerataan kekuasaan, dan kebenaran melalui konsistensi dengan nilai luhur Pancasila. Tapi pemilu 2024 telah memberikan pil pahit kepada kita, rakyat dianggap sebagai komoditas elektoral yang bodoh, pemerintah dengan segala instrumen yang mereka miliki, memecah persatuan dengan komunikasi publik yang kacau, membiarkan atau malah menyebarkan kesalahan agar seakan-akan menjadi benar.
Jangan tanyakan nilai permusyawaratan, kebijaksanaan, dan keadilan. Tanpa elaborasi yang solid, kita semua tahu persis bahwa nilai-nilai di atas telah hilang entah kemana. Mungkin ada yang sengaja mencangkul dan mengubur nilai keadaban bangsa, jika ada yang bertanya siapa pelakunya, maka dengan tegas saya akan menjawab bahwa pelakunya adalah kita. Saya, anda, dan manusia Indonesia. Kita telah mempersilahkan rezim populis menggunakan pajak rakyat untuk kepentingan golongannya, kita yang telat sadar bahwa manusia populis bernama Jokowi, telah banting setir menjadi oportunis yang bengis. Anda boleh tersinggung dengan argumen ini, tapi lebih baik mari kita merenung.
ADVERTISEMENT
Quo Vadis?
Pada pokoknya politik adalah usaha bersama untuk membagi tanggung jawab, dan bukan membagi kekuasaan. Monopoli kekuasaan di tangan suatu kelompok sosial menyebabkan bermacam bentuk penyelewengan (Kuntowijoyo). Berbekal kesadaran politik yang sederhana, kita mestinya sadar bahwa rezim saat ini telah mempertontonkan kita sebuah praktik kekuasaan yang tak bertanggung jawab, jabatan dibagikan bukan karena prestasi, melainkan transaksional belaka yang menegasikan meritokrasi, sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi.
Lalu kita (rakyat) harus bagaimana dan kemana? pertanyaan ini nampak sederhana tapi sulit dijawab. Sebab rezim telah menipu rakyat dengan bermain di wilayah abu-abu, kebenaran dan kesalahan saling berkelindan dan sulit dibaca oleh masyarakat. Saat para Menteri berkampanye untuk calon presiden tertentu, dari mana rakyat tahu bahwa dia sudah cuti atau belum. Tentu mudah saja para elite itu menggunakan fasilitas negara untuk mensukseskan misi golongannya, ditambah lagi saat terbukti salah dan melanggar undang-undang, mereka hanya diminta untuk minta maaf tanpa penindakan yang serius. Pahit bukan?
ADVERTISEMENT
Kini musuh kita jadi tak jelas, dulu musuh kita penjajah atau mereka yang memakai bahasa Belanda. Kini, kalau kata Bung Karno, musuh kita adalah bangsa sendiri. Lalu golongan mana yang mesti kita pertentangkan, hadapi, ingatkan dan kritisi. Maka dengan tegas dan lugas bahwa musuh kita adalah sikap kesewenang-wenangan, licik, culas, koruptif, manipulatif, amoral, nir etika dari penguasa atau kelas menengah atas. Namun yang kita perangi bukanlah sosok, tapi perilakunya. Lebih penting daripada itu, jangan sampai kita diadu domba, konflik horizontal adalah pesta bagi rezim culas dan bermuka tebal. Musuh kita adalah pemerintah yang lupa kewajiban, lupa mengembalikan kedaulatan kepada tangan rakyat.
Cita-cita masyarakat yang demokratis mesti diawali dari kepribadian yang demokratis juga. Ada satu pernyataan yang cukup ganjil dan layak diperdebatkan. Bahwa demokrasi itu adil, pemimpin adalah cerminan rakyat. Jika kita berharap pemimpin kita baik, maka rakyatnya juga mesti baik, dan begitu juga sebaliknya. Indonesia pasca pemilu 2024 memang sedang menawarkan kehidupan yang mencekam. Perjalanan menuju demokrasi yang ideal adalah gerak panjang yang berliku, namun Indonesia yang demokratis mesti diawali dengan hal dasar dalam peradaban manusia, yaitu dengan meningkatkan pola pikir teologis-metafisika menuju rasional-saintifik.
ADVERTISEMENT