Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.0
6 Ramadhan 1446 HKamis, 06 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Melamban Bukanlah Hal Yang Tabu!
6 Maret 2025 14:45 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Geza Bayu Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
130 ribu rupiah, itulah harga yang harus saya bayar untuk memulai hidup santai, sepeda gunung milik keluarga besar yang mangkrak di pojok gudang rumah, terpaksa saya boyong ke Jogja. Bukan tanpa alasan, sepedah inilah saksi transformasi sikap hidup, sebuah langkah putar balik kehidupan dari fast living menuju slow living, mungkin anda mengira ini berlebihan, tapi bagi saya dan Bernadya tidak. Tahun pertama kehidupan studi saya di Jogja nampak begitu gila, saya adalah mahasiswa yang menuhankan angka, punya jadwal keseharian yang ketat, selalu terobsesi dengan kecepatan, kesempurnaan, dan fantasi untuk jadi yang terbaik. Sebuah fase yang melelahkan, kehidupan nampak seperti kehilangan jeda dan akhirnya sulit terbaca.
ADVERTISEMENT
Hingga akhirnya salah satu dosen membagikan selebaran informasi perihal “meditasi kesadaran”. Semacam agenda untuk menepi di Vihara Mendut, Magelang. Saya akhirnya daftar dan berangkat, melibas macet Jogja dan terjebak hujan di Monjali. Berdamai dengan ketidaknyamanan hujan adalah kemampuan era modern yang saya asah sedemikian disiplin. Singkat kisah, sampailah di Vihara Mendut yang luar biasa teduh, berkumpul puluhan manusia untuk belajar makna kesadaran, meningkatkan fokus dan meniup gangguan hidup dengan memfokuskan diri pada kedalaman jiwa. Sungguh suluk spiritual yang menantang bagi generasi z.
Sri Paññāvaro Mahāthera, seorang bhikkhu dan tokoh penting dalam perkembangan sejarah Buddhisme di Indonesia, memberikan nasihat yang sangat fundamental akan makna kesadaran, semacam khotbah yang santai, sedikit guyon tapi daging semua. Dasar mengenai kesadaran sudah disampaikan, teknis meditasi juga diajarkan, sesederhana duduk bersila, badan tegak, memejamkan mata, dan memfokuskan diri dengan segala ketidaknyamanan yang berpotensi hadir: kesemutan, ngantuk, dan rasa malas. Ya anda tidak salah baca, gangguan eksternal yang biasanya hadir dalam hidup memang harus disadari, agar dayanya tidak larut menjadi kotoran benci.
ADVERTISEMENT
Tiga hari menepi meditasi telah mengajarkan saya banyak hal. Pertama, silent walking, praktik berjalan kaki tanpa berbicara dengan sesama, memfokuskan diri dengan pikiran dan lingkungan sekitar. Kedua, intermittent fasting, semacam pola untuk mengatur periode waktu makan, pola yang dipakai adalah berpuasa selama 16 jam lalu membuka waktu makan selama 8 jam, makan hanya diperbolehkan antara pukul 12 siang hingga 8 malam dan berpuasa dari pukul 8 malam hingga 12 siang keesokan harinya. Ketiga, slow living, filosofi hidup melamban guna mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Poin ketiga inilah yang akan dibahas panjang lebar.
Pulang dari Vihara Mendut, saya menggeser pola hidup. Sepeda gunung milik keluarga telah di Jogja, saya berkomitmen untuk bersepeda kemana saja, tidak ada alasan moral untuk mengurangi polusi udara atau misi ekologis menyelamatkan dunia dari krisis iklim, suluk spiritual bersepeda ini saya tempuh agar hidup lebih santai dan sehat. Saya ingin melihat lingkungan jauh lebih dekat, intim, dan berkualitas. Benar adanya, hubungan saya dengan lingkungan kos jadi lebih harmonis, saling sapa antar tetangga adalah kebahagiaan itu sendiri, hal yang demikian tidak saya dapatkan saat naik motor karena selalu terburu-buru mengejar waktu. Dengan bersepeda, saya memiliki jadwal yang lebih rapi dan teratur.
ADVERTISEMENT
Pengalaman hidup di atas mendapatkan pembenaran dari Carl Honore, tokoh penggerak Slow Movement yang telah menerbitkan tiga buku mengenai gaya hidup santai: In Praise of Slow: Challenging the Cult of Speed (2004), Under Pressure: Rescuing Our Children from the Culture of Hyper-Parenting (2008), The Slow Fix: Solve Problems, Work Smarter and Live Better in a Fast World (2013). Honore mengkritisi budaya manusia modern yang memprioritaskan kecepatan dan efektivitas (fast culture) karena menyisakan beberapa masalah, contoh nyatanya adalah keinginan manusia untuk cepat kaya, akhirnya terjun pada lembah berbahaya bernama judi online.
Obsesi kita untuk hidup serba sat-set, keinginan untuk jadi yang terbaik dan tercepat, telah menurunkan kualitas hidup karena manusia begitu fokus pada target kuantitas. Kita seringkali kehilangan momen penting saat beraktifitas, hidup jadi dangkal, dan kurang mengapresiasi hal-hal kecil yang hadir. Dalam buku In Praise Of Slow (2004), Honore bilang kalau manusia modern telah kehilangan "seni untuk tidak melakukan apapun". Kita jadi robot yang selalu bekerja tanpa jeda, rancang bangun tubuh selalu mengajak untuk produktif, hingga lupa untuk menepi dan berefleksi. Kita akhirnya jatuh pada fase toxic productivity yang melelahkan.
ADVERTISEMENT
“Kerja! Kerja! Kerja!” yang dipopulerkan oleh Joko Widodo ditambah semangat industrialisasi, sedikit banyak telah menggeser anggapan bahwa kerja keras adalah pondasi keberhasilan ekonomi. Hustle culture atau gaya hidup yang mendorong manusia untuk bekerja tanpa henti telah merusak keseimbangan hidup. Carl Honore juga mengkritik budaya multitasking, kita adalah gerombolan manusia yang makan sambil main handphone, baca buku sambil mendengarkan podcast, dan seringkali melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu yang sama. Padahal, fokus manusia terbatas ditambah lagi potensi distraksi yang beragam.
Gaya hidup fast culture membuat hubungan kita sesama manusia menjadi dangkal, saat bertemu di tempat ngopi, kita jarang ngobrol dan justru asyik dengan telepon genggam, tradisi yang demikian lama kelamaan akan mengikis rasa empati. Fast culture juga melahirkan sikap mengabaikan ritme kehidupan, kita seringkali salah menempatkan waktu, waktunya kuliah mendengarkan presentasi dosen justru memulai siaran langsung di instagram, waktunya tidur merebahkan badan justru begadang tanpa tujuan. Rentetan masalah akibat budaya fast culture lain adalah kerakusan dan hilang kesadaran hati.
ADVERTISEMENT
Konsumerisme, kita jadi manusia yang menuhankan keinginan (karep). Dan untuk memenuhi ini semua, kita harus kerja keras. Akhirnya, batas antara kebutuhan dan keinginan jadi sulit dibedakan karena hidup grusa-grusu/impulsif. Yang paling menyedihkan dari fast culture adalah membawa manusia pada kekeringan diri akibat hidup tidak berkesadaran, tidak ada kesan dalam menjalankan keseharian, padahal kalau hal-hal kecil dinikmati, kita justru punya alasan bahagia yang sangat sederhana.
Carl Honore memberikan tawaran slow living agar kehidupan manusia jauh lebih berkualitas. Namun slow living sering disalahpahami, argumentasi bahwa budaya hidup santai hanya cocok untuk pemuda desa adalah anggapan yang salah, slow living ini untuk semua, tanpa pandang bulu apalagi letak geografis, anak muda yang semangat urban-nya meletup-letup juga bisa mengambil jalan hidup santai. Santai di sini bukan berlambat-lambat, melainkan sebuah kesadaran untuk melakukan segala sesuatu dengan tepat, menemukan ritme yang pas, salah besar jika kita mengartikan slow living sebagai pola hidup bermalas-malasan dan rebahan tiada henti.
ADVERTISEMENT
Untuk membangun kehidupan santai yang optimal, Honore menawarkan beberapa fondasi. Pertama, kesadaran untuk menganalisa potensi diri meliputi kelebihan dan kekurangan, kalau tidak kuat mengangkat besi 70 kilogram sekali jalan ya tidak usah dipaksakan. Kedua, keseimbangan jasmani dan rohani, kesehatan jiwa dan pikiran harus dijaga dan dikelola dengan baik, diurus dengan baik. Ketiga, kualitas di atas kuantitas, menikmati proses dan melihat hasil sebagai dampak adalah contoh dari fondasi ini. Keempat, temukan dan pahami ritme alami hidup, jika waktunya istirahat maka beristirahatlah, jangan dipaksakan untuk beraktifitas, pahami betul kebutuhan primer, tersier, dan sekunder.
Jika fondasi telah dipahami, maka tiga gaya hidup: slow food, slow travelling, dan slow parenting yang Carl Honore tawarkan adalah ladang implementasi. Slow food, sebagai upaya melawan budaya fast food yang serba praktis dan instan, penekanannya ada pada perubahan pola pikir. Kita idealnya melihat makanan bukan hanya sebagai bahan bakar yang hilang begitu saja, tapi juga sebagai sebuah proses kerja para petani, sebagai ritual untuk menghargai kebersamaan yang ada di dalamnya. Di tengah kemudahan memesan makanan lewat genggaman telepon seluler, kita jadi lupa betapa menyenangkannya proses masak-memasak, memotong bawang, mencuci ikan, dan segenap aktivitas dapur adalah proses yang mampu meredakan stress.
ADVERTISEMENT
Slow travel, pandangan untuk menikmati proses dan momen saat perjalanan, bukan hanya terobsesi dengan tujuan, kalau mau rekreasi, fokus juga dengan momen kecil yang biasanya hadir, jangan buru-buru agar liburan jauh lebih berkualitas. Slow travel ini juga lebih ramah lingkungan, kalau mereka yang fokus dengan tujuan dan kecepatan, pasti akan naik private jet, tentu akan terdengar ramah lingkungan jika kita memakai sepeda atau transportasi publik. Sikap lamban dalam berwisata juga mendukung kita untuk lebih banyak merenung di tempat wisata, waktu luang jadi begitu banyak dan tentu akhirnya berkesadaran untuk membeli UMKM lokal, menunjang ekonomi daerah.
Slow parenting, intinya jangan pernah memaksakan anak dengan beban yang melebihi kemampuannya, berikan anak kebebasan yang bertanggung jawab agar mereka efektif dalam mengeksplorasi minat dan bakat. Kurangi juga jadwal berlebihan yang membuat anak penat saat melakukan rutinitas, sebab tubuh anak memiliki ritmenya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Fokuskan diri untuk lebih menjaga hubungan emosional kepada anak ketimbang memaksakan beban prestasi di pundaknya, sebab anak memiliki dunianya sendiri.
ADVERTISEMENT
Lalu apa hal kecil yang bisa dilakukan untuk memulai hidup slow living? Pertama, mengatur nafas, sesederhana tarik nafas dalam-dalam lalu hembuskan dengan pelan, gunanya agar emosi negatif tidak larut menjadi benci. Kedua, ambil jeda dan berhenti sebentar, jika kita merasa terlalu cepat, refleksikan diri lalu melamban lagi, jangan buru-buru. Ketiga, atur skala prioritas, jadwalkan aktivitas yang penting dan mendesak untuk segera dikerjakan, lalu lepaskan hal yang menyita waktu dan tidak penting, misal main tiktok tanpa tujuan. Keempat, temukan dan lakukan ritual melamban, mungkin bisa merajut, memancing atau berkebun, ritual ini membantu kita untuk lebih tenang, dingin dan seimbang.
Mari kita tutup dengan wahyu Tuhan agar catatan ini layak dilabeli catatan santri, Allah SWT telah berpesan kepada umatnya bahwa manusia memiliki sifat tergesa-gesa (Al-Isra:11) dan Rasulullah SAW pernah bersabda bahwa ketenangan itu dari Allah dan tergesa-gesa itu dari syaitan (HR. Tirmidzi). Semoga kita mampu menjadi manusia yang santai dan berkesadaran. “Melamban bukanlah hal yang tabu, kadang itu yang kita butuh, bersandar hibahkan bebanmu,” Perunggu 33x.
ADVERTISEMENT
Referensi: Ngaji Filsafat Carl Honoré, Slow Living (452). Membangun Ketenangan Diri. Dr. Fahruddin Faiz, M. Ag. Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta. Rabu, 27 November 2024