Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.2
Konten dari Pengguna
Pura-pura Republik
15 November 2023 10:09 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Geza Bayu Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Mesin politik bergemuruh, ban yang dulu kempis mulai terpompa nitrogen berkualitas tinggi, mesin telah direparasi, oli telah diganti, akrobat politik makin menggelitik. Seperti biasa, kita juga makin gaduh, riuhnya nyaring tanpa melihat tempat. Dari auditorium fakultas hingga pojok-pojok proletar warga terpinggirkan. Semuanya, nyaris memperbincangkan dinamika politik.
ADVERTISEMENT
Tak lama setelah membaca pesan kediktatoran Machiavelli dalam bukunya yang fenomenal Il Principe (Sang Pangeran), kolom Tempo merilis istilah baru dalam percaturan politik Indonesia: “Javanese Machiavelli”. Semacam sindiran untuk praktik politik Indonesia yang penuh kemunafikan, tipu muslihat, dan kebohongan. Gaya kepemimpinan yang membuang moral dalam tong sampah dan menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan.
Tahun politik menuju 2024 memang penuh akrobat, saling silang karena berbeda pendapat adalah hal biasa mengingat demokrasi Indonesia yang sedang bertumbuh menuju dewasa. Namun, jadi satu hal yang menyedihkan, saat ada yang ingin berkompetisi dengan cara merusak konstitusi. Ini pil pahit kemunduran demokrasi yang sekaligus mencederai semangat reformasi. Ibarat atlet lari marathon, Jokowi memulai kepemimpinan dengan baik namun tersandung saat akan menyentuh garis finish.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa Kontemporer
Gerakan Mahasiswa pasca reformasi menelan banyak sekali kekalahan, jangankan dalam lanskap nasional, advokasi mahasiswa untuk mengevaluasi, mempertahankan, atau memperbaiki tata kelola kampus saja sering gagal.
Kita bisa berkaca pada gerakan mahasiswa tahun 2019, unjuk rasa yang mendesak pemerintah agar membatalkan revisi UU KPK dan menunda pengesahan RKUHP. Terbukti banyak yang kandas dalam perjalanannya, ada yang berhasil, tapi banyak juga yang selesai di tengah jalan. Rentetan kekalahan ini membentuk satu generasi yang kompromistis.
Muncul anekdot mahasiswa menjadi hamasiswa, semacam sindiran untuk mahasiswa masa kini yang mencicipi pendidikan tinggi, tapi abai dengan realitas, bahkan menjadi parasit dalam kehidupan sosial. Terjebak dengan heroisme masa lalu adalah gejala aktivisme masa kini. Tak adanya struktur yang jelas, membuat gerakan mahasiswa modern ini nampak seperti agenda seremonial belaka, alih-alih fokus dengan substansi tuntutan, kebanyakan dari mereka malah terbuai dengan poster gimik yang menegaskan hal substantif.
ADVERTISEMENT
Membangun masyarakat sipil yang solid, terkonsolidasi, dan siap bernegosiasi dengan negara adalah salah satu prioritas kepemimpinan Gus Dur. Karena bagaimanapun, kekuasaan perlu diawasi, dijaga keseimbangannya dengan (vote and voice). Sayangnya, dewasa ini, gerakan mahasiswa sulit untuk solid, nampak terpecah belah karena dualisme kepentingan, ditambah lagi program kampus yang mengajak mahasiswa untuk menjadi pekerja, mempertebal pragmatisme dalam proses intelektualisme mahasiswa.
Kita adalah bangsa yang membuang proses dalam tong sampah, upaya terbaik untuk memetik kredibilitas bukanlah kerja keras, melainkan dari rahim siapa kamu lahir dan memungut kredibilitas. Tak ada dalam sejarah bangsa mana pun, dua hari menjadi kader parpol, lusa deklarasi jadi ketua umum.
Dua tahun jadi wali kota, merobek marwah konstitusi, lalu melaju mulus jadi cawapres dengan dalih representasi anak muda. Patah palu keadilan dan mahasiswa sunyi terdiam!
ADVERTISEMENT
Pupus sudah labelisasi adiluhur yang tersemat dalam benak mahasiswa. Kita nampak disihir untuk jadi penonton di balik sandiwara hancurnya mahkamah peradilan. Pemilu 2019 ricuh dengan hasil akhir, kita punya mahkamah sebagai ratu adil.
Pemilu 2024 berpotensi memunculkan masalah, tapi sudah tidak ada lagi yang bisa kita percayai sebagai penengah. Hancur sudah negara republik satu ini. Mahasiswa sedang berada dalam tahun politik dengan negara yang pura-pura republik.
Pura-pura Republik
“Zaman kemajuan, ada sirup rasa jeruk dan durian, ada keripik rasa keju dan ikan, ada republik rasa kerajaan”. Puisi Gus Mus yang ia bacakan di Taman Budaya Solo, satir berkelas dari sosok kiai yang sastrawan. Saya membayangkan Bung Hatta tertawa melihat praktik politik yang menginjak semangat republik ini, apa yang dikhawatirkan Bung Hatta saat membangun Indonesia akhirnya terjadi, Indonesia berjalan kencang dengan menyelewengkan nilai republik demi kepentingan pragmatis satu golongan yang haus kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Pemilu adalah momen penting bagi mereka yang paham betapa berpengaruhnya keputusan politik dalam hidup. Namun akan terdengar biasa saja bagi masyarakat akar rumput yang nyaris tak mungkin tersentuh dengan literasi birokrasi dan demokrasi.
Tugas dan peran mahasiswa sudah jelas di depan mata, mendidik akar rumput dan mencerdaskan pemilih adalah misi suci yang mesti dijalankan, memang tidak mudah, tapi akan selalu ada cara untuk mewujudkannya.
Golput bukan pilihan, saya tegaskan bahwa tidak memilih saat pemilu 2024 adalah kebodohan, sebagai warga negara yang memiliki hak pilih, datang ke TPU dan mencoblos adalah keharusan. Satu suara rakyat yang hidup di negara demokrasi adalah hal yang sangat berarti. Bahwa praktik birokrasi Indonesia hipokrit, publik tidak dilibatkan, pelanggaran HAM masif, dan perampasan ruang hidup merajalela, adalah keniscayaan yang naif jika dijadikan alasan untuk golput.
ADVERTISEMENT
Kita sedang krisis negarawan, masyarakat merindukan pemimpin yang tidak serakah dengan kekuasaan, memang tak ada instrumen canggih untuk mencegah sifat serakah. Tapi kita dibekali akal untuk bisa berpikir jernih dan meragukan.
Rene Descartes menjadikan keraguan sebagai senjata utama untuk berfilsafat, peran mahasiswa selanjutnya adalah terus mengkampanyekan bahwa penting kiranya meragukan informasi—- apalagi menuju tahun politik yang penuh polarisasi ini.
Pemilu itu sederhana, semacam pemilihan lima tahun sekali yang akan kita temukan kembali pada lima tahun berikutnya, belajar dari konstelasi politik pemilu sebelumnya, mari kita sikapi politik dengan asik.
Mahasiswa punya peran untuk menjadi lem perekat di tengah polarisasi yang penuh benci. Antagonisme yang tak bisa dihilangkan dalam pertarungan politik, sudah seharusnya diredam dengan suara mahasiswa dan nasihat para negarawan sebagai upaya menjaga keseimbangan.
ADVERTISEMENT
Meski pura-pura republik, hal baik harus terus disuarakan. Masyarakat Indonesia hanya punya dua kekuatan: voice and vote. Memaksimalkan keduanya adalah jalan terbaik agar keseimbangan dalam demokrasi terwujud. Kasih sayang bapak memang sepanjang pencapresan, tapi kasih sayang Tuhan jauh lebih besar dari apa pun. Mengajak konstituen menjadi pemilih yang pintar dan sadar adalah harga mati yang tak bisa ditawar lagi. Sekali lagi percayalah, kebenaran tak akan lupa jalan.