Konten dari Pengguna

Tumpukan Sampah Pemuda?

Geza Bayu Santoso
Philosophy Student, State Islamic University Of Sunan Kalijaga Yogyakarta
2 November 2023 16:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Geza Bayu Santoso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemuda memegang bendera Merah Putih. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemuda memegang bendera Merah Putih. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Makin dewasa, manusia Indonesia— khususnya saya— makin merasa biasa saja dengan peringatan Hari Nasional. Semakin sering dirasakan, digunakan, dan ditemui. Intensitas cinta atau kepedulian kita terhadap suatu hal juga makin mengikis. Saya ingat betul saat usia masih gayeng-gayengnya (17 tahun), pasca mengurus administrasi KTP di kantor kecamatan, saya berpantomim di depan gedung pemerintahan, semacam upaya merayakan Hari Sumpah Pemuda dengan semangat perlawanan yang membara.
ADVERTISEMENT
Tiap 28 Oktober, kita riuh memperbincangkan anak muda, segala hal baik dibebankan pada mereka. Anak muda penerus tongkat kepemimpinan bangsa, pemimpin masa depan, dan aktor utama dalam mewujudkan Indonesia emas 2045. Sebuah proyek masa depan yang makin kesini makin jauh panggang dari api, anak muda masa kini, hanyalah komoditas yang dibajak generasi tua, mewarisi banyak problema tapi dipertontonkan pragmatisme dalam praktik bernegara.
Saya menulis opini nyaris bermutu ini di kampus, bersama anak muda yang labelnya mahasiswa, mereka yang berkesempatan mencicipi pendidikan tinggi yang makin kesini makin tak murah lagi. Kita membayangkan masa depan yang indah, Indonesia maju dengan capaian ekonomi yang fafifu, kualitas manusia yang wasweswos, dan kehidupan sosial yang xixixi. Tapi sayang beribu cinta, perjalanan kita menuju ke sana, makin mempertebal khayalan untuk konsisten menjadi khayalan.
ADVERTISEMENT

Tsunami Pragmatisme

Generasi muda yang jadi mayoritas pemilih pada pemilu 2024, adalah generasi yang diberikan banyak kemudahan hidup. Dunia berubah dengan sangat cepat, hal praktis diobral begitu masif. Akhirnya, pragmatisme menjangkit kehidupan generasi muda. Selain disuguhkan hal praktis dalam menjalani hidup, anak muda Indonesia juga sedang dipertontonkan pragmatisme dalam praktik berpolitik.
Majunya Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Joko Widodo, adalah puncak gunung es dari kegagalan regenerasi partai politik. Tak perlu paham ketatanegaraan untuk sadar bahwa ada budaya lama yang menjadi baru dalam praktik politik Indonesia (kolusi dan nepotisme). Sebuah wajah kepemimpinan yang tak memerlukan prestasi dan kompetensi untuk berkuasa, cukup jadi anak penguasa yang keluarganya berakrobat untuk merusak tatanan konstitusional.
ADVERTISEMENT
Di daerah, banyak politisi muda yang berdarah-darah untuk meraih kekuasaan, bekerja keras untuk membangun ekosistem politik yang solid dari dalam. Namun, percaturan politik nasional berkata lain, tak perlu melewati hambatan struktural yang rumit, tak perlu bermanuver untuk memperluas ruang sempit, berpolitik jadi mudah asalkan punya akses kekuasaan dan modal politik yang besar. Sungguh Iklim yang tidak sehat untuk keberlangsungan demokrasi di Indonesia.
Menjadikan pencalonan Gibran sebagai dasar bahwa ruang politik anak muda telah terbuka adalah hal yang naif, memang nampak terbuka, namun ada prasyarat tidak tertulis yang miris. Bahwa politik yang kelewat mahal ini hanya untuk anak muda yang punya hak istimewa.
Bukan hanya soal pendidikan ataupun modal, tapi juga akses politik jalan tol yang mulus tanpa hambatan. Dan ini hanya dimiliki oleh anak muda yang lahir dari keluarga terpandang seperti Gibran, Dito, Bobby, dan Dico.
ADVERTISEMENT

Komoditas Muda

Tahun 1928, gagasan menyatukan indonesia adalah hal yang abstrak, mana mungkin sebuah negara kepulauan dengan keanekaragaman geografis, budaya, bahasa, dan tradisi. Bersatu hanya untuk sebuah negara bernama Indonesia. Nyaris utopis dan sulit diwujudkan. Tapi tekad persatuan jauh lebih besar. Kita akhirnya bersatu, bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu bahasa Indonesia.
Perjalanan panjang peran anak muda, telah membawa Indonesia pada perubahan positif: reformasi. Capaian sosial politik yang berdarah-darah, berlinang air mata, dan penuh dengan harapan suci bernama Indonesia yang jauh lebih demokratis. Kini, setidaknya sejak 2019, muncul sebuah istilah bahwa reformasi telah dikorupsi, sebuah bentuk kekecewaan atas perjalanan reformasi yang jauh dari angan. 25 tahun reformasi— telah membawa Indonesia pada otoritarianisme gaya baru.
ADVERTISEMENT
Indonesia telah memenuhi karakteristik New Authoritarianism. Dominasi eksekutif yang menegasikan rakyat dalam proses pembangunan, menormalisasi pelanggaran hak asasi manusia dengan dalih investasi, kontrol media untuk memerangi informasi yang merugikan kekuasaan, dan meredam kemarahan masyarakat dengan mempertahankan instrumen demokrasi tapi integritas penyelenggaraannya buruk. Beberapa hal di atas adalah realitas sosial politik yang sedang terjadi dan nampaknya akan terus terjadi.
Pemimpin masa depan Indonesia— dihadapkan dengan banyak tantangan, tapi sayang, anak muda sedang dibajak kaum tua, dijadikan gulali politik untuk menarik suara konstituen muda. Ruang sempit berpolitik itu nyata, ada banyak faktor mengapa hal ini terus menghantui demokrasi Indonesia. Salah satunya adalah ketidakmampuan partai politik dalam meregenerasi kader, stigma usang politik yang tak kunjung hilang, dan cengkraman kemapanan mereka para petahana. Sebab kekuasaan itu candu benar adanya.
ADVERTISEMENT

Tumpukan Sampah Pemuda

Gusdurian Yogyakarta 2023
Kita tak bisa memaksa semua manusia untuk paham persoalan politik, membawa mereka kepada pola pikir bahwa hidup bukan hanya soal diri sendiri, tapi juga menyangkut kehidupan orang lain. Begitu juga dengan anak muda, tak semua pemuda harus paham nilai filosofis dalam sumpah pemuda, pun akan terdengar tidak baik jika ada yang memaksa anak muda untuk paham persoalan bangsa, sebab realitas terus mempertontonkan kebrobokan penguasa dalam mengelola negara.
Nampak nyata gelombang pesimisme dalam benak anak muda Indonesia, generasi serba krisis ini punya kecemasan masa depan yang tebal. Ketidakpastian geopolitik, krisis iklim, ketidakadilan ekonomi, krisis air bersih, dan khayalan buruk lainnya. Nyaris menjadi bahan overthinking saat bulan menyinari malam. Ditambah lagi dengan adanya media sosial, paparan informasi yang cepat, membawa generasi muda pada pemahaman yang luas namun dangkal, akhirnya mereka gagal mengenali dirinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Generasi pesimis nan kompromistis ini sedang berjalan pelan menuju kehancuran. Saya teringat dengan satu pernyataan dari dosen pengampu mata kuliah kewarganegaraan, ia menjelaskan bahwa negara ini sedang berlari cepat, namun bukan untuk maju, semua inovasi yang kita lahirkan hanyalah upaya untuk mengejar ketertinggalan. Benarkah semua wacana futuristik Indonesia hanyalah jalan untuk mengejar ketertinggalan? atau hanya upaya menghambat datangnya kehancuran?
Semoga semangat sumpah pemuda terus bergema, nilainya ada dalam relung hati pemuda Indonesia. Bonus demografi adalah hal yang musti kita maksimalkan jika Indonesia emas benar-benar ingin diwujudkan. Tsunami pragmatisme, ruang sempit berpolitik, otoritarianisme gaya baru, dan krisis global, tak akan jadi masalah besar jika nyawa sumpah pemuda terinternalisasi dalam jiwa calon pemimpin bangsa. Semoga tumpukan sampah pemuda tak jadi nyata.
ADVERTISEMENT