Antara Polusi dan Pneumonia: Yakinkah Jakarta Menyejahterakan Mereka?

Ghina Fakhirah
Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya yang menaruh minatnya pada dunia kesehatan, pendidikan, dan hal yang berkaitan dengan kesejahteraan anak.
Konten dari Pengguna
12 Desember 2022 13:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ghina Fakhirah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Polusi Kota (Sumber: https://unsplash.com/id)
zoom-in-whitePerbesar
Polusi Kota (Sumber: https://unsplash.com/id)
ADVERTISEMENT
Setiap manusia memiliki hak yang secara alamiah melekat pada diri mereka sejak dilahirkan. Dalam hal ini manusia berhak untuk hidup sehat, berkembang, dan terlindung. Kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan seseorang untuk hidup produktif secara ekonomi dan tidak terhambat dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Kesehatan menjadi kunci keberlangsungan hidup manusia, sehingga kedudukannya dipandang primer. Tanpa kesehatan, manusia akan banyak kehilangan hak-hak yang lain. Seseorang yang sakit tidak bisa menikmati haknya untuk berserikat dan mengumpulkan pendapat, tidak bisa memperoleh dan menjalani pekerjaan dan pendidikan layak (Lembaga Studi Advokasi Masyarakat, 2017). Intinya, mereka tidak berfungsi secara maksimal di dalam masyarakat karena dipandang kurang secara kondisional.
ADVERTISEMENT
Masalah kesehatan ini tidak hanya berdasar pada ilmu medis-biologis yang kaku. Dalam perspektif sosiologi, kesehatan berkaitan dengan konstruksi sosial di mana tercipta makna sakit dan sehat yang dibentuk oleh sistem masyarakat dan membudaya. Adapun penting juga untuk menelaah bagaimana karakteristik lingkungan fisik maupun sosial yang mempengaruhi kesehatan masyarakat, sebagaimana bahasan penulis pada tulisan kali ini mengenai kausalitas polusi di perkotaan terhadap penyakit paru-paru: pneumonia.
Perkotaan identik sebagai ruangan sibuk dan produktif. Konsentrasi pemerintah yang masih tersentral pada pembangunan di kota-kota menjadi magnet bagi penduduk untuk melakukan urbanisasi. Mereka melirik kota sebagai kawasan potensial akan perekonomian. Hal ini dilihat dari semakin banyak penduduk di luar kota berdatangan dan memilih untuk tinggal di kota, entah dalam jangka waktu tertentu atau menetap selamanya, sebagai bagian dari rasionalitasnya dalam mensejahterakan kehidupan. Namun, apakah mereka betul-betul sejahtera saat ini? Mengingat ada banyak konsekuensi dari tinggal di perkotaan, paling utama masalah kesehatan yang semakin kronis.
ADVERTISEMENT
Mari kita berfokus pada kota Jakarta. Jakarta memiliki tingkat ;kepadatan penduduk yang tinggi. Kota secara ideal berfungsi sebagai kota industri, pusat perdagangan, politik, kesehatan, dan kebudayaan- rekreasi. Sedangkan, Jakarta sebagai ibukota menopang seluruh fungsi tersebut, sehingga para urban tak henti berdatangan setiap tahun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di DKI Jakarta pada 2021 mencapai 10,6 juta jiwa dan jumlah ini dipastikan terus meningkat. Diperkirakan pada 2035 meningkat menjadi 38 jiwa dan menjadi kota dengan jumlah penduduk terbesar di dunia dalam laporan Oxford Economics berjudul Global Cities 2018 (Widowati, 2019). Situasi ini mengantarkan pada mobilisasi penduduk yang semakin tinggi dan ini sejalan dengan volume kendaraan bermotor yang semakin memenuhi jalanan dan frekuensi aktivitas industri. Bukan hanya itu, asap yang dihasilkan dari pemukiman rumah tangga juga semakin besar. Menjadi masalah di sini adalah pencemaran udara yang diciptakan dari aktivitas manusia semakin tebal dan mempengaruhi penyakit paru pneumonia penduduk kota.
ADVERTISEMENT
Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru akibat adanya infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah, di mana alveolus pada salah satu atau kedua paru-paru terisi oleh cairan kuning, nanah, maupun dahak kental (purulen) yang menyebabkan terganggunya pertukaran oksigen karena paru-paru akan mengalami pembengkakan dan tidak bisa mengembang secara maksimal, sehingga penderita mengalami batuk dan kesulitan bernafas. Infeksi tersebut disebabkan bakteri, virus, jamur, dan mikroorganisme bernama Pneumococcus, Staphylococcus, Streptococcus (Wulandari et al., 2016). Pneumonia disebut juga paru-paru basah. Walaupun infeksi terjadi di dalam paru, penyakit ini bisa menular dari manusia ke manusia yang lain. Tingkat keparahan pneumonia terjadi apabila paru-paru menjadi kaku dan dinding dada bagian bawah tertarik ke dalam, sehingga otot-otot dada mencekung (Ekasari et al., 2022). Pneumonia mampu menyerang siapa saja, tetapi ada beberapa golongan masyarakat yang rentan dan cukup berisiko, yakni bayi yang baru lahir, balita, anak-anak di bawah umur 14 tahun, lansia, ibu hamil, pekerja di luar ruangan seperti pekerja bangunan, dan yang memiliki riwayat penyakit jantung dan paru-paru (Greenpeace, 2021).
ADVERTISEMENT
Gejala dari pneumonia memang terlihat tidak begitu parah, mungkin hanya dianggap sebagai penyakit musiman biasa (yang dibawa aktivitas pun akan hilang) bagi mereka yang memiliki pengetahuan kesehatan rendah. Berawal dari batuk berdahak, frekuensi napas meningkat, demam, sesak nafas, menggigil, mual, dan mudah lelah. Indikator itu diperparah dengan adanya nanah pada amandel, batuk disertai darah, dan tumbuh kelenjar di leher (CNN, 2018). Ketika kondisinya sudah kronis barulah sadar. Penanganan yang terlambat ini mempengaruhi keselamatan nyawa mereka, terlebih pada balita yang imun tubuhnya belum sekuat itu. Jangan heran jika pneumonia dinobatkan sebagai penyebab kematian nomor satu bagi balita dan anak-anak. Bahkan, pada 2018 angka kematian anak akibat pneumonia lebih besar ketimbang diare. World Health Organization (WHO) mencatat ada sekitar 2,5 juta jiwa pada 2019, termasuk 672.000 anak-anak meninggal karena terpapar polusi udara.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, sekitar 19.000 atau 16% dari populasi balita saat itu meninggal karena pneumonia, yang berarti 2 balita/jam. Secara statistik, jumlah kasus pada daerah DKI Jakarta sebanyak 44.339 dengan prevalensi kematian balita akibat pneumonia sebanyak 4,24 % pada kematian 1 balita di usia <1 tahun (Ekasari et al., 2022). Hal ini erat relevansinya dengan pencemaran udara di Jakarta. Udara sebagai unsur fundamental bagi kehidupan setiap makhluk yang hidup. Penelitian Arthur tahun 1977 dalam (Save the Children Indonesia, 2021) mengatakan manusia dapat bertahan hidup tanpa makanan selama ± 5 minggu dan tanpa air selama ± 5 hari, sedangkan tanpa adanya udara manusia hanya dapat bertahan hidup selama ± 5 menit. Ini yang seharusnya menjadi sentilan bagi penduduk kota Jakarta bahwa sebegitu pentingnya posisi udara dalam keberlangsungan hidup. Namun, itu tidak tercermin karena kualitas udara beberapa waktu terakhir tercatat tidak sehat. Berdasarkan data dari aplikasi Air Visual, indeks kualitas udara di Jakarta dapat mencapai lebih dari 150 mg/meter (Greenpeace, 2021).
ADVERTISEMENT
Pemantauan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga menunjukkan konsentrasi rata-rata tahunan polutan seperti partikulat padat 10 (PM10), (PM2,5), sulfur dioksida (S02), ozon (O3), dan natrium dioksia (NO2) yang hasilnya, ada beberapa unsur yang melebihi baku mutu atau ketentuan normal udara seharusnya, sehingga udara di Jakarta menjadi kurang sehat (Save the Children Indonesia, 2021). Jarak pandang terbatas, tidak nyaman di luar ruangan, dan mudah lelah meskipun tidak beraktivitas berat menjadi indikator tingginya pencemaran udara di Jakarta. Padahal, kedudukan udara dapat dimanfaatkan manusia secara gratis tanpa terkecuali, tidak seperti makanan dan minuman yang membutuhkan biaya untuk memperolehnya. Seharusnya manusia bisa menjaga kualitasnya secara bersama-sama, sehingga pencemaran udara dapat dihindari.
Polusi udara akibat transportasi menjadi penyumbang terbesar dalam pencemaran udara di Jakarta. Polusi memiliki zat berbahaya dan beracun pada lingkungan. Dalam (Prabowo, 2022), polusi merupakan masuknya zat, energi, atau senyawa kimia lainnya yang berbahaya ke dalam lingkungan, atau adanya perubahan tatanan lingkungan akibat dari kegiatan manusia dan proses alam yang mengarah pada kerusakan, penurunan kualitas ekologi. Polusi sendiri terbagi menjadi 4 macam menurut penyebabnya, yaitu polusi udara air, tanah, cahaya, dan suara. Pada tulisan ini, polusi udara adalah fokusnya.
ADVERTISEMENT
Terdapat dua cara polusi memasuki udara. Pertama, point source di mana polutan berasal dari satu sumber dan dapat diketahui, seperti emisi pabrik. Kedua, non-point source di mana polutan berasal dari sumber tertentu dan polusi ini sering merupakan efek kumulatif dari sejumlah kecil kontaminan yang dikumpulkan dari area yang luas (Neuron, 2019). Dari berbagai zat yang ada, PM2.5 menjadi polutan paling berbahaya karena ukuran partikulatnya yang begitu halus, kurang dari 2,5 mikron. Lebih kecil dua puluh kali lipat dari sehelai rambut yang berukuran 50-70 mikron. Tandanya zat ini dengan mudah berpenetrasi menembus bagian terdalam paru-paru dan sistem jantung, memberi kontribusi besar pada kematian terkait pencemaran udara (Save the Children Indonesia, 2021).
ADVERTISEMENT
Sumber pencemaran udara bisa terjadi karena faktor alam, seperti letusan gunung berapi, kebakaran hutan, dekomposisi biotik, debu, dan spora tumbuhan dan dari aktivitas manusia seperti yang beberapa kali disinggung di atas, seperti asap transportasi, industri, instalasi pembangkit listrik bertenaga batubara, pembakaran sampah, budaya merokok, dan asap rumah tangga. Yap, bukan hanya dari luar, polusi juga datang dari dalam rumah. Ini seringkali tidak disadari. Apalagi, balita (sebagai golongan paling terdampak) lebih banyak menghabiskan waktu mereka di dalam rumah. Rumah harus dalam kondisi sehat, yang mana sirkulasi udara di dalam rumah diperhatikan. Bagaimana luas ventilasi rumah, kepadatan hunian dalam satu rumah, dan kebiasaan merokok dari orangtua dan sekitarnya.
Pneumonia adalah penyakit menular. Penularan ini berjalan lurus dengan peningkatan populasi di perkotaan. Artinya semakin banyak penduduk di Jakarta, penularan pneumonia akan semakin mudah. Penularan ini terjadi ketika satu orang yang tidak terinfeksi menghirup partikel virus dan bakteri dan terkena percikan lendir dari orang yang terinfeksi pneumonia saat sedang batuk dan bersin. Bayangkan, ketika hunian semakin padat, misalnya dalam satu ruangan berukuran 3x4 terisi 7 orang, termasuk balita dan golongan usia rentan lainnya, maka besar kesempatan mereka terinfeksi. Penyebaran penyakit di dalam rumah yang padat penghuni sangat cepat terjadi. Mengacu pada penelitian terdahulu dalam (Suryani et al., 2018), anak balita yang tidur di kamar dengan tingkat kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat berisiko terkena pneumonia sebesar 6,9 kali dibanding mereka dengan kepadatan hunian sesuai syarat. Mengacu pada ketentuan Kepmen Kimpraswil Nomor 403/KPTS/M/2002, rumah sehat sederhana minimal memiliki luas 36 m, dengan maksimum jumlah penghuni 4 jiwa. Jika hunian tersebut dihuni lebih dari 4 jiwa, maka ruang rumah harus ditambahkan seluas 9 m² setiap jiwa (Admin, 2022)
ADVERTISEMENT
Risiko pneumonia juga didukung dengan bagaimana ventilasi rumah penduduk sebagai sarana pertukaran udara dalam rumah tersedia, sehingga sirkulasi udara segar masuk ke rumah, membuang udara kotor keluar rumah. Ventilasi juga mendukung pencahayaan yang baik, sehingga mengurangi kelembaban dalam rumah. Sebab, tingginya kelembaban mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme. Meningkatnya kelembaban akan menghancurkan aktivitas mukosiliar dalam sistem pernapasan dan menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi mikroorganisme (SS Tasci, C Kavalci, 2018). Kondisi ini membuat patogen pneumonia lebih mudah masuk ke saluran pernafasan kemudian menginfeksi manusia.
Untuk ketentuan ventilasi, setidaknya luas ventilasi adalah 10% dari luas lantai (Kemenkes RI, 1999). Kurang dari itu, balita berisiko 2,9 kali lipat terkena pneumonia. Sama halnya dengan ibu hamil dalam perkembangan janin yang sehat. Paparan udara yang tercemar dapat mengurangi kesuburan dan meningkatkan keguguran. Ini menimbulkan resiko bagi bayi yang belum lahir. Penelitian baru-baru ini menemukan polutan pada plasenta janin dari ibu hamil yang sering terkena udara yang buruk. Polusi udara juga berkaitan dengan berat lahir rendah pada bayi dan menyebabkan terhambatnya perkembangan pada anak-anak.
ADVERTISEMENT
Kemudian, yang tak kalah penting mengenai keberadaan perokok. Perilaku merokok di dalam rumah atau tidak mengganti baju dan sikat gigi setelah merokok memicu pneumonia pada orang-orang disekitarnya, terutama pada anak-anak di bawah usia 5 tahun, lansia, dan ibu hamil. Asap rokok yang dihembuskan mengandung bahan toksik dan karsinogenik sama seperti yang dihisap oleh perokok, tetapi telah bercampur dengan karbondioksida (CO2), sehingga efek perokok pasif lebih berbahaya tiga kali lipat daripada perokok aktif (Admin, 2016). Asap rokok dapat menyebabkan iritasi saluran napas oleh sulfur dioksida, ammonia dan formaldehid sehingga dapat meningkatkan infeksi saluran napas bawah (Suryani et al., 2018).
Ilustrasi Ronsen Paru-paru (Sumber: https://unsplash.com/id)
Efek dari udara beracun dimulai ketika dihirup. Partikel polusi kecil kemudian menembus paru-paru dan disalahartikan sebagai bakteri oleh sel-sel kekebalan tubuh, di mana nantinya melepaksan enzim dan asam untuk mencoba membunuh sel kekebalan tubuh. Protein ini menyebar ke seluruh tubuh dan menyebabkan peradangan sistemik pada dinding bronkus, yang kemudian menyebabkan sel eksudat dan sel epitel menjadi rusak (TomoNews, 2018). Akibat adanya virus yang masuk ke dalam tubuh manusia akibat polusi udara, timbul hepatisasi merah akibat pembengkakan eritrosit, beberapa leukosit, dan kapiler paru-paru. Ketika infeksi masuk ke dalam paru-paru, ia menyebar ke jaringan lain dan menyebabkan terjadi dilatasi kapiler. Reaksi inflamasi ini terjadi di alveolus dan menghasilkan eksudat dan cairan serosa yang mengganggu jalan nafas.
ADVERTISEMENT
Pneumonia bukan hanya menular antar manusia, melainkan juga antar jaringan dalam tubuh manusia. Mungkin pada awalnya hanya paru-paru yang berdampak. Namun, ketika itu tidak cepat-cepat ditangani, baik secara rawat jalan maupun rawat inap, bisa menjalar ke infeksi pada selaput jantung (perikarditis), selaput otak (meningitis), dan menjadi abses di paru-paru (emfiema) (Neuron, 2019). Maka, persoalan dan penanganannya lebih rumit lagi. Namun, jangan takut. Pneumonia bisa disembuhkan.
Untuk mengetahui apakah diri kita mengalami pneumonia atau tidak, selain dari gejalanya, kita bisa memeriksa secara mandiri lewat hitungan frekuensi napas. Menurut Prof DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A (K) sebagai IDAI DKI Jakarta dalam (Save the Children Indonesia, 2021), untuk usia 0-2 bulan, ketika tarikan napas mencapai lebih dari 60 kali dalam satu menit, maka bisa dipastikan mengalami pneumonia. Pemeriksaan lainnya harus dilakukan dokter dan pemeriksaan laboratorium radiologi untuk proses ronsen paru. Kecepatan penanganan pasien pneumonia memperbesar keselamatan nyawa. Terkadang orang tua bahkan diri sendiri abai dengan kesehatan tubuh anaknya, mudah menyepelekan, dan kurang tanggap dalam menyikapi pneumonia.
Kepadatan Volume Kendaraan Bermotor (Sumber: https://unsplash.com/id)
Bicara tentang gaya hidup penduduk Jakarta yang masih malas berjalan kaki. Mereka lebih memilih pergi menggunakan motor, padahal jaraknya hanya 500 meter. Wawancara yang dilakukan CNN News beberapa waktu lalu disimpulkan bahwa alasan warga Jakarta menggunakan motor untuk menghemat waktu, tenaga, dan mengurangi kemacetan mobil. Padahal, dengan mereka menggunakan motor, kemacetan terus berlangsung dan malah menambah 8500 ton polutan ke langit Jakarta setiap hari (CNN, 2018).
ADVERTISEMENT
Peningkatan jumlah kendaraan dibuktikan dari laporan industri sepeda motor mengenai penjualannya di tahun 2019 selama 6 bulan pertama yang mencapai 3,2 juta item secara nasional, di mana didominasi oleh orang-orang di Jakarta. Menjamurnya lembaga pembiayaan kendaraan bermotor di ibukota sekaligus kurang ketatnya standar pemberian kredit juga membuat pertumbuhan kendaraan bermotor tak terelakkan (Yustika, 2008). Kemudian, jenis rokok yang semakin beragam dan diiklankan, meskipun penayangannya pada malam hari, membuat budaya rokok di perkotaan semakin lestari. Rokok telah dinormalisasi untuk kalangan pria dan mulai dinormalisasi untuk kalangan perempuan, sehingga merokok seperti telah membudaya dan masyarakat non-perokok lah yang seakan-akan harus menerima orang yang merokok di hadapannya.
Kesehatan dianggap sebagai dasar diakuinya derajat kemanusiaan. Sebagaimana telah tertulis dalam UU Nomor 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia bahwa: (1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin. (3) Setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat (ELSAM, 2017). Dalam upaya pemenuhannya, dibutuhkan aksi kolaboratif dari berbagai stakeholder, pemerintah, masyarakat untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya, sehingga bukan hanya pneumonia yang teratasi tetapi penyakit pernapasan lainnya.
ADVERTISEMENT
Melihat volume transportasi tidak terkendali, penting bagi pemerintah untuk menegakkan regulasi pembatasan transportasi dan pengawasan terhadap lembaga pembiayaan kendaraan. Perluasan akses jalur bersepeda dan trotoar inklusif agar mendorong masyarakat untuk senang berjalan kaki. Pemerintah juga perlu melakukan peremajaan transportasi umum dengan memastikan tidak ada angkutan umum berusia lebih dari sepuluh tahun untuk mereduksi emisi. Adanya kebijakan ganjil-genap juga membantu dan ini telah berjalan sejak 2016. Terakhir, memperketat pengendalian terhadap sumber penghasil polutan tidak bergerak, terutama pada cerobong industri aktif yang menghasilkan polutan di wilayah DKI Jakarta (Save the Children Indonesia, 2021).
Dalam kapasitas kita sebagai masyarakat, hal yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki kualitas udara Jakarta dengan menggunakan transportasi massal. Komparasi 50 penumpang dalam satu bus dengan 50 penumpang di kendaraan pribadi masing-masing pasti terbayang perbedaannya. Lalu, menggunakan bahan bakar yang lebih ramah lingkungan, yang mengandung oktan tinggi atau kalau bisa menggunakan kendaraan non-bahan bakar seperti sepeda. Kita juga dapat menguji emisi transportasi kita secara berkala di bengkel, menanam pohon di lingkungan (penghijauan), tidak membakar sampah di dekat rumah, dan menghemat konsumsi energi, karena untuk memproduksi listrik perlu bahan bakar dan energi fosil yang tinggi (Save the Children Indonesia, 2021).
ADVERTISEMENT
Dari etika bernapas, individu penting untuk menjaga kebugaran respirasi, melakukan latihan pernapasan, dan ketika menarik napas harus dengan maksimal agar balon-balon udara di paru-paru bekerja optimal dan pertukaran gas bisa lebih baik. Digencarkannya sosialisasi mengenai ASI eksklusif, imunisasi gratis, gizi seimbang, dan kampanye STOP Pneumonia melalui talkshow semenjak 2019 perlahan membuka kesadaran masyarakat akan bahaya pneumonia dan cara menjaga kekebalan tubuh. Peningkatan daya tahan tubuh dengan makan teratur, olahraga teratur, tidak begadang, merokok, dan mengkonsumsi minum-minuman keras.**4
Ghina Fakhirah, mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya.