Difabel dan Framing Media: Bagaimana Representasi Disabilitas di Serial TV?

Ghina Fakhirah
Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya yang menaruh minatnya pada dunia kesehatan, pendidikan, dan hal yang berkaitan dengan kesejahteraan anak.
Konten dari Pengguna
18 Juni 2023 14:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ghina Fakhirah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi. Foto: pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. Foto: pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Hambatan penyandang disabilitas sebagai seorang dengan keterbatasan fisik atau mental menciptakan persepsi merepotkan dan stereotip-stereotip negatif lainnya. Lingkungan yang belum berdesain universal secara penuh, akhirnya membatasi gerak mereka dalam mencapai kebutuhan dasarnya.
ADVERTISEMENT
Ruang terbatas lantas berujung pada keputusan untuk berdiam diri di rumah. Sehingga kesempatan kita untuk berkenalan lebih jauh dengan penyandang disabilitas semakin jauh.
Di sinilah, media diharapkan menjadi promotor dalam membentuk identitas para difabel yang layak dan mengubah persepsi masyarakat akan disabilitas secara "utuh". Media awalnya diharap membawa wajah baru yang lebih adil dalam penggambaran disabilitas karena media memiliki kekuatan untuk mengubah realita melalui narasi.
Namun, sayangnya media tidak juga mengadaptasi perubahan cara pandang berkeadilan itu. justru tetap mengemas penyandang disabilitas dalam konteks yang buruk; hasil dari stigma yang ada. Dalam hal ini, media justru telah melanggengkan diskriminasi bagi difabel dan membawa masalah baru. Ada banyak jenis media dan di sini penulis mengerucutkan pada satu bahasan media yaitu media penyiaran televisi.
Ruang Produksi Media (Sumber: https://unsplash.com)
Beberapa tahun ke belakang, industri perfilman mulai banyak menyuguhkan cerita tentang isu disabilitas. Produser dan sutradara sebagai kepala produksi menyebut diri mereka telah inklusif dalam pembuatan film.
ADVERTISEMENT
“Kami sadar bahwa disabilitas adalah manusia dengan pemenuhan hak dan harus terbebas dari diskriminasi,” ungkapnya.
Padahal, nyatanya film tersebut masih mengandung banyak unsur diskriminasi. Mulai dari pemilihan diksi pada naskah dan judul, karakter yang diberikan pada pemeran difabel, serta alur cerita yang kurang bersifat progressive framing bagi penyandang disabilitas.
Artinya, mereka tidak betul-betul paham konsep inklusif selama produksi film. Ini terjadi pada serial Taubat yang biasa ditayangkan di salah satu stasiun televisi Indonesia, Indosiar, sebagai sinetron unggulan mereka. Mari kita kupas.

Bagaimana Stasiun TV Menggambarkan Penyandang Disabilitas?

Ilustrasi Pemilihan Diksi (Sumber: https://unsplash.com)
Penggambaran difabel dapat dilihat melalui diksi yang digunakan, alur yang dibangun, dan penokohan yang dibentuk.
Pada ketiga serial televisi: Pintu Berkah berjudul "Sepenggal Duka Gadis Buta Pemilik Kebun Singkong Yang Tabah" tahun 2019, Serial Hidayah berjudul "Mata Buta Terkena Pecahan Kaca Foto Ibunya, Akibat Memenjarakan Ibu Sendiri" tahun 2021, dan Sinema Taubat berjudul "Gadis Buta Yang Ikhlas Menerima Takdirnya". Terhimpun beberapa masalah dari tiga aspek tersebut.
ADVERTISEMENT

Pada Aspek Pemilihan Diksi

Ketiganya menggunakan istilah "buta". Ini masalahnya. Penyandang disabilitas tak menyetujui penggunaan "buta" sebagai metafora. Kata 'buta' dianggap berkonotasi negatif sebagai penghinaan.
Ini disebabkan diksi "buta" memberi arti serupa dengan ketidaktahuan dan kurangnya kemampuan untuk menilai bahkan mengetahui apa yang sedang terjadi. Oleh karena itu, Indosiar harus menghindari penggunaan "buta" dalam konteks apa pun kecuali yang benar-benar literal.
Begitu pula pada kata "tabah" dan "ikhlas". Lewat sana, penyandang disabilitas terus dibingkai sebagai objek pasif yang tak bisa melawan dan berhati "tangguh". Akhirnya, difabel tak lebih dari seorang yang perlu dikasihani.

Pada Aspek Plot Cerita

Ilustrasi Plot Cerita di Serial Indosiar (Sumber: https://www.pexels.com)
Terjadi upaya penyembuhan berupa operasi mata yang dilakukan difabel. Poinnya bukan pada menyudutkan tindakan yang diambil si difabel, tetapi pada bagaimana lingkungan yang mendorongnya untuk melakukan tindakan tersebut.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut melambangkan bahwa serial ini masih berpegang pada paradigma lama, yakni medical model. Di mana penyandang disabilitas dipandang sebagai sebuah penyakit dan harus disembuhkan.
Personal Tragedy Theory, nama lainnya, menekankan pada si sakit itu sendiri dan menyatakan bahwa kondisi disabilitas merupakan sebuah gangguan/penyakit individu (individu pathology), sehingga dirinya harus berusaha berobat pada seorang profesional (dokter).
Berporos dari struktural fungsional Parson bahwa setiap individu memiliki fungsi di dalam sistem. Sayangnya, di sini difabel dianggap tidak bisa berfungsi di masyarakat, sehingga perlu dibebastugaskan untuk keberlangsungan sistem.
Sejalan dengan ibunda tokoh yang meminta karakter difabel untuk tetap di rumah, tak bepergian sendiri. Kecemasan berlebih ini memberi arti bahwa lingkungan kita sampai saat ini belum aman bagi penyandang disabilitas. Juga menjadi penting menyiratkan bahwa mereka belum dianggap sebagai sosok yang mandiri. Padahal, mereka tetap mampu atas dirinya sama seperti penyandang non-disabilitas.
ADVERTISEMENT
Tidak perlu perhatian berlebih, tidak perlu dimanja. Sebab, seperti kata pepatah difable is not disable. Penyandang disabilitas juga ingin mengaktualisasi dirinya di dunia luar dan berinteraksi dalam lingkup publik. Pada akhirnya, difabel tetap pada ruangnya dan anggapan ‘beban keluarga’a dan "selalu harus dibantu" semakin kuat.
“Kami bukannya tidak mampu, toh, diberi kesempatan saja tidak,” keluh salah satu difabel dalam buku Mencari Ruang Untuk Difabel.
Di sisi lain, serial kedua menceritakan kondisi "tak bisa melihat" sebagai akibat dari perbuatan durhaka seseorang kepada sang ibu. Bagian ini seakan menggambarkan disabilitas sebagai hukuman Tuhan yang didapati seseorang akibat berbuat buruk atau melakukan pelanggaran Tuhan.
Maka, nilai yang diyakini rumah produksi Indosiar dalam melihat disabilitas tidak jauh dari konsep berpikir moral model. Suatu cara pandang tertua yang dimulai oleh bangsa Yunani dan Romawi Kuno, dengan menghubungkan disabilitas kepada nilai-nilai kebaikan yang disangkutkan pada doktrin agama atau Tuhan.
ADVERTISEMENT

Aspek Penokohan pada Difabel

Selama ini stasiun televisi masih menempatkan penokohan yang seragam; menyedihkan. Penokohan yang diberi tak lebih dari objek sensasionalis atau penghadiran emosi kesedihan berupa bencana, bentuk karma, dan bahan olokan.
Kesedihan yang dikemas bukan hanya dari karakter yang diberi, melainkan dari bagaimana latar yang dibangun, seperti suasana rumah orang berekonomi rendah dan penataan musik mellow ketika menampilkan si difabel. Atau seperti penyandang disabilitas yang sering digambarkan jarang bergaul.
Stasiun televisi ini sekiranya dapat mewakili stasiun televisi lainnya di negara kita. Secara keseluruhan, ruang produksi stasiun televisi masih menggunakan pola pikir yang keliru dalam menempatkan difabel. Representasi penyandang disabilitas dalam serialnya masih terbatas dan negatif. Beberapa stasiun televisi masih berat sebelah dan belum mencondongkan keberpihakan kepada difabel. Lagi-lagi ini merugikan difabel.
ADVERTISEMENT
Film memang mencerminkan bagaimana realita sosial dalam melihat bagaimana pandangan masyarakat akan masalah disabilitas. Namun, ketika produser tidak melakukan perubahan pada alur yang menempatkan para difabel dalam penokohan atau karakter yang beragam, maka itu tidak lain adalah pemiggiran dan diskriminasi.
Ketika mereka membuat plot yang tidak menyajikan perlawanan ataupun bantahan akan persepsi yang salah itu. Atau ketika mereka membuat narasi vulgar yang mendiskreditkan kelompok disabilitas, maka artinya mereka telah melanggengkan bingkai kekerasan media.
Pada hakikatnya film adalah media pergerakan. Apa yang ditayangkan menjadi bagian dari propaganda. Ketika tidak ada wujud perubahan yang ingin ditampilkan ke arah yang progresif, maka untuk apa?
Bukankah stasiun televisi terkait atau rumah produksi tidak lebih dari masyarakat Yunani Kuno yang membunuh ketidaksempurnaan? Perbedaannya jika mereka membunuh dengan cara pedang, stasiun televisi ini membunuh dengan cara tidak memberikan kesempatan yang sama pada difabel dalam memperoleh hak representasi di media. Sungguh, banyak PR bagi stasiun televisi bangsa kita, termasuk stasiun televisi yang bersangkutan.
Partisipasi Difabel di Media (Sumber: https://unsplash.com)
Maka dari itu, ruang produksi media perlu belajar. Bukan hanya stasiun televisi yang dimaksud, melainkan stasiun televisi lainnya. Setiap tampilan media dan bahasa yang digunakan untuk menggambarkan disabilitas memiliki peran penting membangun citra positif para penyandang. Stasiun televisi perlu menciptakan kesadaran dan kepercayaan diri penyandang disabilitas untuk berperan aktif di lingkungannya.
ADVERTISEMENT
Jangan pernah agi menjual "kondisi disabilitas" dan mengemasnya dalam diksi yang vulgar pada judul-judul serial. Tidak hanya buta, sebutan-sebutan lain juga berlaku. Bahkan, seharusnya sebutan "tuna" juga tidak lagi digunakan karena 'Tuna' berarti kerusakan; kurang pantas.
Berilah keragaman dalam penokohan disabilitas, tidak lagi pada karakter atau hal yang menyedihkan. Dalam hal ini, libatkan pula kelompok difabel dalam membangun naskah karena mereka-lah yang lebih mengerti apa yang ada pada mereka. Serta, apa yang dibutuhkan pada mereka.
Berikan ruang bebas untuk mengaktualisasi diri mereka dengan berani. Libatkan mereka dalam ruang produksi film, baik di depan maupun belakang layar, sehingga mengurangi bahkan menghilangkan representasi buruk pada difabel secara perlahan. Rumah produksi harus melibatkan aktor-aktor atau kru film difabel selama proses syuting. Ingat bahwa penyandang disabilitas punya hak bereskpresi dan hak representasi yang sama. Dengan begini, artinya media telah menjadikan mereka sebagai subjek, tidak lagi hanya sebatas objek.
ADVERTISEMENT
Kepada orang-orang di dalam media, jangan takut memulai berinteraksi dengan para difabel atau membahas isu mereka. Kebanyakan orang merasa isu ini sebagai isu sensitif, sehingga dihindari untuk didiskusikan. Pada akhirnya, kita sebagai manusia menjadi terpisah; merasa liyan satu sama lain.
Indosiar juga perlu membenahi alur cerita, di mana upaya atas isu disabilitas dalam alur cerita perlu dimunculkan dari akarnya dengan bersifat social model atau human right model. Munculkan upaya dari lingkungan atau kesadaran hak asasi manusia dalam menyelesaikan masalah yang dialami penyandang disabilitas, di mana yang harus diperbaiki adalah lingkungan sosial, bukan individunya. Dengan begitu, ini membuka solusi baru bagi difabel akan masalah mereka.
Bahkan, lebih baik lagi jika stasiun televisi ini mulai memproduksi serial dengan bahasan khusus disabilitas. Pun, menjadi tantangan bagi Indosiar untuk berani mendobrak perspektif masyarakat -yang bias-yang telah tertanam itu. Sekiranya, itulah jalan bagi media televisi bangsa untuk bisa dikatakan media yang inklusif. Semuanya perlu belajar.
ADVERTISEMENT
REFERENSI
Ekowarni, P. D. E., Irwanto, P., Dr. G. Sri Nur Hartanto, S.H., L. M., & Aziz, K. . M. I. (2015). Mencari Ruang Untuk Difabel. Jurnal Difabel, 2(2).
Rahmi, I. H., Gemiharto, I., & Limilia, P. (2021). Representasi penyandang disabilitas pada film “Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta.” ProTVF, 5(1), 101. https://doi.org/10.24198/ptvf.v5i1.29673