Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Tangguhnya Perempuan Indonesia di Masa Pandemi
19 Mei 2022 13:18 WIB
Tulisan dari Ganis Garnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Memasuki tahun ketiga, covid-19 masih saja ada di tengah-tengah kita. Dampaknya terasa hampir di semua lini kehidupan. Tapi jika dicermati lebih dekat dan diresapi lebih dalam, pengalaman hidup di tengah pandemi ini ternyata tidak sama bagi kaum perempuan. Perbedaan pengalaman ini erat kaitannya dengan perbedaan peran sosial yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan.
ADVERTISEMENT
Dengan sistem sosial dan norma keluarga yang cenderung patriarkis seperti di Indonesia ini, kaum perempuan harus memikul sebagian besar beban pekerjaan rumah tangga. Perempuan memiliki tanggung jawab utama untuk mengurus rumah, suami dan anak, sementara laki-laki lebih banyak berperan sebagai pencari nafkah bagi keluarga. Tentu saja di era modern ini peran perempuan di ranah publik sudah sama dengan laki-laki. Perempuan sudah biasa mencari nafkah untuk dirinya sendiri, membantu suami menafkahi keluarga, bahkan tidak sedikit juga yang menjadi kepala keluarga.
Sayangnya, penguatan peran perempuan di ranah publik tidak selalu disertai dengan pembagian beban pekerjaan domestik yang lebih seimbang dengan laki-laki. Sehingga, seiring dengan perkembangan zaman, peran yang dijalankan oleh perempuan menjadi semakin kompleks. Kompleksitas peran inilah yang membuat pandemi covid-19 menimbulkan beban yang lebih berat bagi kaum perempuan.
ADVERTISEMENT
Akibat pandemi, banyak laki-laki kepala keluarga kehilangan sebagian atau seluruh penghasilan mereka. Biasanya ketika ini terjadi, istri lah yang kemudian diharapkan dapat mengatur pengeluaran rumah tangga sedemikian rupa, sehingga kebutuhan semua anggota keluarga terpenuhi. Sebenarnya, di masa pandemi ini resiko perempuan kehilangan pekerjaan justru lebih besar dibandingkan laki-laki, karena ternyata beberapa sektor yang terdampak paling parah oleh pandemi adalah sektor-sektor yang didominasi oleh pekerja perempuan. Ketika penghasilan perempuan menjadi tumpuan, mereka tidak hanya dituntut untuk mampu mengatur pengeluaran rumah tangga, tapi juga mencari sumber penghasilan lain di luar rumah untuk kelangsungan hidup keluarganya.
Jangan lupa bahwa di saat yang sama ada kewajiban utama untuk mengasuh dan mendampingi anak yang tidak bisa ditinggalkan. Sebelum pandemi, tugas ini bisa dibagi dengan guru-guru di sekolah, sehingga para ibu punya waktu untuk bekerja di luar rumah. Sekarang, anak-anak bersekolah dari rumah, sehingga waktu yang dihabiskan oleh para ibu untuk mengurus dan mendampingi kegiatan belajar anak otomatis menjadi lebih banyak. Survey Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa tidak kurang dari 61 per sen perempuan Indonesia menghabiskan lebih banyak waktu untuk mengasuh dan mendampingi anak selama pandemi. Jauh lebih banyak dibanding responden laki-laki yang hanya 48 per sen.
ADVERTISEMENT
Tidak jarang ini harus dilakukan sambil mengerjakan tugas-tugas kantor. Tentu saja ini bukan hal yang mudah. Tanpa dukungan tenaga dan moral yang memadai di lingkungan keluarga, pandemi covid-19 dapat mempengaruhi kesehatan mental dan emosional seorang perempuan. Di sisi profesional, mereka dituntut untuk tetap produktif meskipun harus bekerja dari rumah. Di rumah, seorang ibu seringkali dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kesehatan fisik dan psikis keluarga, bahkan kini juga bertanggung jawab atas performa akademi anak. Jika peran yang diharapkan oleh keluarga dan lingkungan profesional terhadap seorang ibu tidak terpenuhi, misalnya dalam hal anak atau suami sakit, prestasi anak menurun, atau tugas kantor yang tidak selesai, akan ada stigma sosial yang menyebabkan seorang ibu merasa tertekan dan cenderung menyalahkan diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Tantangan berbasis gender lainnya yang banyak disoroti di masa pandemi ini adalah peningkatan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). KDRT menjadi krisis yang semakin serius sejak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Pasalnya, korban yang sebagian besar adalah perempuan menjadi semakin tidak berdaya dan terjebak di rumah bersama pelaku yang seringkali adalah anggota keluarganya sendiri.
Perempuan tidak melulu rentan
Perhatian publik yang besar terhadap resiko kehilangan pekerjaan dan kasus KDRT membuat perempuan dipandang sebagai kelompok yang paling rentan. Persepsi ini tidak salah. Namun, kita juga perlu melihat dampak pandemi terhadap perempuan dari sudut pandang lain.
Di balik kerentanan kaum perempuan terdapat daya juang dan daya lenting yang sangat tinggi. Kaum perempuan sudah terbiasa dengan peran dan beban kerja ganda jauh sebelum pandemi covid-19 melanda. Namun demikian, ketangguhan kaum perempuan Indonesia seringkali tidak disadari karena kemampuan multitasking ini cenderung dianggap sebagai hal yang biasa, bahkan sebagai hal yang sudah seharusnya mampu dilakukan oleh semua perempuan.
ADVERTISEMENT
Di masa pandemi ini ketangguhan perempuan-perempuan Indonesia menjadi hal yang menonjol dan sangat menginspirasi. Mulai dari saat virus covid mulai menyebar, para ibu lah yang biasanya paling rajin mengingatkan anak-anak dan keluarga soal prosedur kesehatan (prokes). Satu hal yang paling membuat penulis kagum adalah kemampuan rekan-rekan kerja perempuan mengurus anak-anak mereka yang umumnya masih balita, dengan segala tuntutan dan kebutuhan mereka, sambil bekerja dari rumah. Hebatnya, meskipun menanggung beban tanggungjawab lebih besar, mereka masih mampu bersaing dengan rekan kerja laki-laki di kantor. Kondisi ini tidak pernah terbayang oleh mereka sebelumnya. Namun, mereka terbukti mampu beradaptasi dengan sangat baik. Melalui berbagai cara, para ibu ini saling menyemangati satu sama lain. Ada saja cara mereka untuk berbagi dan saling mengisi.
ADVERTISEMENT
Penulis juga mengamati banyaknya perempuan Indonesia yang mulai membuka usaha sampingan demi mendapatkan penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan utama dan biaya sekolah anak-anak. Mereka yang jago memasak terlihat mencoba membuka bisnis kuliner kecil-kecilan untuk dijual kepada tetangga. Ada yang memproduksi makanan beku siap masak, atau membuat empon-empon dalam kemasan botol. Ada yang mencoba peruntungan menjadi reseller bermacam produk camilan, fashion dan kecantikan. Tidak sedikit pula yang memanfaatkan peluang untuk memproduksi dan menjual masker-masker kain yang cantik. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) bermunculan, menjamur dan meramaikan lini masa sosial media. Terlihat jelas kegigihan mereka saling berlomba untuk menggaet pembeli lewat dunia maya. Pandemi ini ternyata mampu menjadi katalis pemberdayaan ekonomi perempuan.
Perempuan juga berada di garda terdepan dalam penanganan pasien covid-19. Tidak kurang dari 70 per sen tenaga kesehatan (nakes) Indonesia adalah perempuan. Sebagai penyintas covid-19, penulis merasakan betul perjuangan para nakes perempuan yang seakan tanpa lelah mengurusi pasien yang semakin banyak setiap harinya. Padahal, secara kodrati tenaga para nakes perempuan ini tidak lebih besar dibandingkan rekan-rekan nakes pria. Tenaga fisik mereka yang kurang dibanding laki-laki nampaknya mereka imbangi dengan naluri keibuan yang sangat kuat. Sebagian dari mereka pastilah seorang ibu yang harus rela meninggalkan anak-anak di rumah untuk waktu yang cukup lama.
ADVERTISEMENT
Pandemi juga memberikan peluang bagi perempuan Indonesia untuk berkontribusi lebih besar bagi bangsa, negara dan masyarakat sekitarnya. Mulai dari peran-peran kecil, seperti menyediakan makanan untuk tetangga yang sedang menjalani isolasi mandiri, hingga memimpin penelitian vaksin covid-19 seperti yang dilakukan oleh pakar vaksin Indonesia, Herawati Sudoyo. Mungkin tidak banyak masyarakat Indonesia yang mengetahui bahwa Menlu RI Retno L.P. Marsudi menjalankan peran penting sebagai Co-Chair CoVAX AMC Engagement Group (AMC EG) yang memperjuangkan kesetaraan akses vaksin bagi negara-negara miskin dan berkembang.
Sebagai perempuan Indonesia, penulis merasa sangat beruntung telah menjadi bagian dari Kementerian Luar Negeri yang sangat percaya bahwa perempuan mampu menjadi bagian dari solusi dalam mengatasi krisis. Hal ini pula lah yang senantiasa ditekankan oleh Menlu Retno kepada setiap diplomat perempuan yang dipimpinnya. Terlebih lagi karena diplomat berada di garis depan dalam perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Diplomat perempuan di garda terdepan
Dalam rangka peringatan Hari Kartini di awal masa pandemi, Kemlu menggelar bincang-bincang virtual dengan 12 duta besar perempuan Indonesia di luar negeri mengenai peranan perwakilan RI yang mereka pimpin dalam melindungi WNI di masa krisis. Jelas sekali bahwa meskipun terdapat tantangan yang begitu besar, para Duta Besar perempuan ini mampu bertindak cepat. Bahkan dalam beberapa hal, mereka mampu melakukan langkah-langkah lebih efektif dibandingkan para Duta Besar pria. Tentunya karena para Dubes perempuan ini juga digerakkan oleh naluri keibuan yang membuat mereka lebih peka terhadap kebutuhan riil para WNI.
Misi yang harus mereka lakukan sama sekali tidak bisa dikatakan mudah. Mereka harus berpacu dengan waktu untuk mengevakuasi WNI sebelum pemerintah setempat memberlakukan lockdown. WNI yang terjebak dalam kondisi sulit akan menjadi tanggung jawab mereka. Dubes RI Dhaka, Ibu Rina P. Soemarno bercerita bahwa saat itu beliau beserta tim KBRI harus membantu evakuasi WNI pendaki gunung Everest di Nepal; atau Dubes RI Buenos Aires, Ibu Ninik Kun Naryatie, yang turun tangan mengurus wisatawan WNI yang terjebak lockdown di Argentina. KBRI Roma yang separuh stafnya adalah perempuan harus mengupayakan pemulangan WNI Anak Buah Kapal (ABK) yang bekerja di kapal pesiar di Italia yang saat itu kasusnya paling banyak. Perlu diingat bahwa dalam situasi pandemi, prosedur pemulangan menjadi jauh lebih rumit. Untuk membantu sebagian WNI ABK yang karena satu dan lain hal tidak bisa dipulangkan, Dubes RI Roma, Ibu Esti Andayani beserta jajarannya berhasil memperjuangkan perpanjangan masa kerja mereka, sehingga mereka tidak terlantar di Malta.
ADVERTISEMENT
Di saat yang sama, para diplomat perempuan yang tangguh ini harus terus menerus memantau kondisi para WNI yang ada di wilayah kerja mereka, bahkan melakukan kunjungan ke rumah-rumah WNI yang terisolasi untuk menyampaikan bantuan logistik. Sama sekali tidak ada pembedaan tugas, peran maupun beban kerja antara diplomat pria dan wanita. Semua saling bahu-membahu meringankan beban saudara-saudara setanah air. Di Finlandia, Dubes RI Helsinki, Ibu Wiwiek Setyawati Firman menyadari adanya potensi besar yang dimiliki perempuan Indonesia yang bermukim di Finlandia. Dubes Wiwiek saat itu langsung menggerakkan Kartini Indonesia di Finlandia untuk membantu WNI yang terdampak covid-19, dan memasok makanan jadi untuk masyarakat yang dapat dipesan secara online. Solidaritas masyarakat Indonesia yang tinggi seringkali mengundang kekaguman warga negara setempat. Indonesia memang sehebat itu.
ADVERTISEMENT
Melalui para diplomat lah semangat Menlu Retno ditularkan kepada masyarakat Indonesia di luar negeri. Setiap orang diajak untuk berkontribusi. Meskipun kecil, setiap orang dengan caranya masing-masing harus menjadi bagian dari solusi.