Konten dari Pengguna

Saat Kantor Berubah Jadi Keluarga: Petualangan Tubing yang Tak Terlupakan

Ghailan Maulidy Azra
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta - Fakultas Ekonomi dan Bisnis Prodi Manajemen
2 Desember 2024 15:18 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ghailan Maulidy Azra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dokumentasi original dari hasil kamera HP Nida
zoom-in-whitePerbesar
Dokumentasi original dari hasil kamera HP Nida
ADVERTISEMENT
Pagi itu, langit Bangunjiwo seolah menanggung amarah. Hujan tidak sekadar turun, melainkan mencurahkan seluruh kemarahannya. Aku, Azra, baru saja melangkah keluar rumah, membawa harapan untuk sebuah petualangan yang sudah lama dinantikan bersama tim KPPU Kanwil 7.
ADVERTISEMENT
Bunyi mendengking keras membelah irama hujan. Ban mobilku pecah—bukan sekadar bocor, melainkan robek total. Sebuah pukulan pertama di pagi buta yang seolah ingin menguji tekadku. Di kawasan perbatasan Bangunjiwo menuju Kota Yogyakarta, mobil terhenti. Waktu seakan berhenti, sementara rintik hujan tak kenal ampun.
Pertama, aku mencoba dongkrak mobil. Namun, nihil. Ban baru yang kubawa dari bengkel terdekat tak kunjung muat. Celah ban dan dongkrak seolah bermain teka-teki rumit. Setiap kali mencoba memasukkan, ban hanya mentok. Keterbatasan ruang dan posisi dongkrak membuat usahaku terhalang.
Warga sekitar mulai bermunculan. Tatapan iba bercampur kagum melihat seorang mahasiswa magang berkutat dengan ban mobil di tengah hujan. Ada yang menawarkan bantuan, namun aku bersikeras. "Biar aku yang kerjakan," tekadku dalam hati.
ADVERTISEMENT
Seorang bapak tua—entah siapa namanya—meminjamkan motor tua miliknya. "Ini, gunakan untuk ke bengkel," ucapnya. Motor tua itu seperti saksi bisu perjuanganku. Dengan kondisi hujan deras, aku nekat menerobos. Namun proses penggantian memakan waktu yang seolah tidak berujung. Setiap menit terasa seperti jam, setiap jam terasa seperti abad.
Telepon demi telepon kukirimkan ke Mas Sofyan. "Mas mohon maaf ini ban saya bocor, sekarang baru ganti." Jawaban singkat dari Mas Sofyan: "Oke Santuy Zra, Disini masih Hujan, Belum pada datang juga." Tekanan waktu semakin mencekam.
Proses penggantian ban tak semudah membalikkan telapak tangan. Ban lama harus dilepas sepenuhnya, ban baru dipasang dengan tepat. Setiap gerakan membutuhkan ketelitian. Satu kesalahan bisa berarti nyawa.
ADVERTISEMENT
Jam sudah menunjukkan pukul 07.00—waktu keberangkatan sudah lewat jauh. Keringat bercampur air hujan membasahi seluruh tubuh. Baju yang kupilih pagi tadi kini basah kuyup, compang-camping.
Saat ban akhirnya terpasang, ada rasa lega yang tak terbendung. Namun, perjalanan belum berakhir. Aku harus pergi ke KPPU dengan cepat.
Mobil yang semula terhenti karena ban bocor kini kembali bergerak. Meski terlambat beberapa saat, semangatku tak tergoyahkan. Alhamdulillah, dengan perjuangan keras, akhirnya aku berhasil ke KPPU.
Tiba di kantor, kuparkir mobil dengan sisa energi. Aku tersenyum. Bukan sekadar tentang tubing atau perjalanan, melainkan tentang tekad. Tentang bagaimana sebuah hambatan tidak boleh menghalangi mimpi.
Sabtu, 30 November—bukan sekadar hari biasa. Ini adalah hari di mana 25 jiwa dari KPPU Kanwil 7 memutuskan untuk melepas penat, meninggalkan tumpukan berkas, dan menukar ruang kerja dengan alam terbuka.
ADVERTISEMENT
Rombongan kami terbagi dalam empat mobil, masing-masing penuh tawa dan antisipasi. Aku, Azra, berkesempatan berbagi perjalanan di mobil Inova bersama Cantrika, Bu Septi, Pak Hendry, putranya Mas Al, Mbak Nares, dan Mas Sofyan sang pengemudi.
Destinasi: Nevermoon Klaten—sebuah lokasi wisata air yang akan menjadi saksi transformasi kami dari rekan kerja menjadi keluarga petualang.
Setibanya di lokasi, koordinasi berjalan mulus. Tas-tas ditaruh di area makan yang telah dipesan, pakaian diganti dengan kostum petualangan. Helm pengaman dan rompi pelampung—armor kami menghadapi tantangan sungai.
Briefing singkat dari pemandu, dan kami pun menerima senjata utama: ban pribadi. Satu ban untuk satu pejuang—konsep sederhana namun penuh makna. Kami berbaris di ujung sungai, siap menelusuri aliran sepanjang kurang lebih 2 kilometer.
ADVERTISEMENT
Derasnya arus seakan menguji mental kami. Ada yang tertawa, ada yang berteriak kaget, ada yang terpental—sebuah miniatur kehidupan kerja dalam perjalanan air. Setiap kilometer adalah metafora tentang kerja tim: kadang tenang, kadang bergolak, namun tetap bergerak maju.
Titik akhir tubing—momen untuk berbagi kegembiraan. Foto bersama menjadi dokumen abadi petualangan. Ban-ban diserahkan pada petugas, dan mobil bak terbuka menjemput kami kembali.
Namun petualangan belum usai. Di area makan yang telah dipesan, hidangan menunggu. Sop iga hangat—menu spesial yang kupilih—terasa istimewa. Bukan sekadar makanan, melainkan penanda momen tak terlupakan.
Puncak acara: tukar kado! Tradisi yang selalu menghadirkan tawa. Aku mendapatkan kotak bernomor 11, namun sebelum sempat membukanya, Pak Daris dengan sigap "merampas" kotak tersebut.
ADVERTISEMENT
"Weh, ini kan nomorku!" ucapku setengah bercanda.
Pak Daris tersenyum jenaka. Aku pun mengambil nomor ulang, dan dengan sikap santai khas Jawa, aku berkata, "Yowes rapopo, tapi bagi loro yo!" Sindiran halus yang langsung dibalas tawa seisi ruangan.
"Sumpah jane aku sek entuk lo, sampean ki," candaku, membuat suasana semakin cair. Pembagian hadiah pun dilakukan dengan setengah-setengah, menciptakan momen kebersamaan yang tak terlupakan.
Perjalanan pulang terasa berbeda. Bukan sekadar rekan kerja, kami kini adalah keluarga. Sebuah keluarga yang terbentuk bukan karena ikatan darah, melainkan pengalaman bersama.
Tubing di Nevermoon Klaten tak sekadar aktivitas outbound. Ia adalah momen transformasi. Di mana hierarki pekerjaan luruh, di mana tawa menggantikan ketegangan, dan di mana kebersamaan menemukan wujud nyatanya.
ADVERTISEMENT